Muslim Kamboja Mencari Keadilan Atas Genosida Rezim Khmer Merah
Zakaria Bin Ahmad tidak bisa melupakan tahun-tahun kekejaman di bawah rezim Khmer Merah yang sangat brutal bahkan ketika melaksanakan shalat harus menghadapi resiko kematian bagi minoritas Muslim Kamboja yang teraniaya.
Banyak anggota masyarakat muslim bisa tidak bertahan selama pemerintahan rezim Khmer merah di era 1970-an, di mana rezim dengan sadis mengeksekusi para ulama Islam, menghancurkan masjid, memaksa umat Islam untuk makan daging babi dan melarang pemakaian jilbab.
"Orang-orang mencoba segala macam cara untuk bisa shalat. Kadang-kadang ketika mereka sedang mengendarai sebuah gerobak sapi. Kadang-kadang di hutan ketika kami meminta izin untuk menggunakan toilet, dan kadang-kadang saat kami sedang mencuci," kenang Zakaria bin Ahmad yang saat ini berusia 61 tahun.
Tapi kebanyakan, orang-orang yang diingatnya telah menghilang dan tidak pernah terlihat lagi.
"Banyak yang terbunuh," katanya di rumahnya yang sederhana di bawah bayangan sebuah masjid modern berkubah biru, sumber kebanggaan bagi kota Chraing Chamres, yang sebelumnya tempat ibadahnya telah dihancurkan oleh Khmer Merah.
Muslim Kamboja, yang dikenal sebagai Cham, berharap mereka bisa melihat keadilan pada saat tokoh paling senior pemimpin Khmer Merah yang masih hidup diadili atas genosida, yang didukung PBB atas perlakuan kejam terhadap etnis minoritas dan agama.
"Sekarang kami dapat menceritakan kisah kami," kata seorang pedagnga Pin Apoutorliep, yang juga pemimpin agama, atau hakim, dari masjid Chraing Chamres.
"Kami sepenuhnya mendukung pengadilan agar bisa mengatakan yang sebenarnya dan untuk mengatakan apa yang terjadi di bawah rezim Pol Pot," ujarnya, mengacu pada pendiri utama rezim Khmer merah, yang meninggal pada tahun 1998 dan lolos dari pengadilan.
Sebelum tuduhan genosida yang diajukan terhadap mantan pemimpin Khmer Merah, perlakuan terhadap minoritas Muslim jarang dibahas.
"Di masa lalu, ada sedikit yang menyebutkan tentang penderitaan etnis Cham di bawah rezim Khmer Merah," kata Farina, seorang ahli di Pusat Dokumentasi Kamboja (DC-Cam), yang melakukan penelitian kekejaman Khmer merah.
"Penderitaan etnis Cham belum banyak diselidiki," tambahnya. "Mereka membutuhkan pengakuan dari orang-orang."
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak Muslim yang tewas di bawah gerakan totaliter, yang menyapu bersih hampir seperempat dari populasi mereka.
Tapi DC-Cam memperkirakan bahwa antara 100.000 hingga 500.000 dari 700.000 masyarakat Cham di negara itu tewas di tangan rezim Khmer merah.
"Ini masih segar di mata kami,"kata Pin Apoutorliep, yang kehilangan orang tuanya dan empat saudara kandungnya di bawah rezim Khmer Merah, mengatakan kepada AFP setelah menyelesaikan shalat zhuhur. "Setiap keluarga memiliki rasa sakit."
Pembunuhan massal umat Muslim, membentuk dasar dari tuduhan genosida terhadap empat terdakwa Khmer Merah, termasuk "Saudara Nomor Dua" Nuon Chea dan mantan kepala negara Khieu Samphan.
File dakwaan terhadap empat terdakwa menyatakan bahwa "Etnis Cham secara sistematis dan metodis ditargetkan dan dibunuh" dan Khmer Merah berusaha untuk menghilangkan budaya Cham, tradisi dan bahasanya.
Hari ini, ada sekitar setengah juta etnis Cham di Kamboja, mayoritas dari mereka pengikut Islam Sunni, dan mereka menikmati kebebasan penuh menjalankan agama.
Tapi seperti banyak muslim tertindas di negara Asia tenggara, mereka tetap dihantui oleh masa lalu.
"Mereka merekonstruksi masjid, mereka menghidupkan kembali identitas agama dan etnis mereka, mereka membuka sekolah-sekolah Islam dan mengajarkan Islam," kata Farina. "Mereka mencoba untuk pulih dari trauma ini, tapi langkah itu adalah proses yang lambat."(fq/afp/eramuslim/al-khilafah.org)
Banyak anggota masyarakat muslim bisa tidak bertahan selama pemerintahan rezim Khmer merah di era 1970-an, di mana rezim dengan sadis mengeksekusi para ulama Islam, menghancurkan masjid, memaksa umat Islam untuk makan daging babi dan melarang pemakaian jilbab.
"Orang-orang mencoba segala macam cara untuk bisa shalat. Kadang-kadang ketika mereka sedang mengendarai sebuah gerobak sapi. Kadang-kadang di hutan ketika kami meminta izin untuk menggunakan toilet, dan kadang-kadang saat kami sedang mencuci," kenang Zakaria bin Ahmad yang saat ini berusia 61 tahun.
Tapi kebanyakan, orang-orang yang diingatnya telah menghilang dan tidak pernah terlihat lagi.
"Banyak yang terbunuh," katanya di rumahnya yang sederhana di bawah bayangan sebuah masjid modern berkubah biru, sumber kebanggaan bagi kota Chraing Chamres, yang sebelumnya tempat ibadahnya telah dihancurkan oleh Khmer Merah.
Muslim Kamboja, yang dikenal sebagai Cham, berharap mereka bisa melihat keadilan pada saat tokoh paling senior pemimpin Khmer Merah yang masih hidup diadili atas genosida, yang didukung PBB atas perlakuan kejam terhadap etnis minoritas dan agama.
"Sekarang kami dapat menceritakan kisah kami," kata seorang pedagnga Pin Apoutorliep, yang juga pemimpin agama, atau hakim, dari masjid Chraing Chamres.
"Kami sepenuhnya mendukung pengadilan agar bisa mengatakan yang sebenarnya dan untuk mengatakan apa yang terjadi di bawah rezim Pol Pot," ujarnya, mengacu pada pendiri utama rezim Khmer merah, yang meninggal pada tahun 1998 dan lolos dari pengadilan.
Sebelum tuduhan genosida yang diajukan terhadap mantan pemimpin Khmer Merah, perlakuan terhadap minoritas Muslim jarang dibahas.
"Di masa lalu, ada sedikit yang menyebutkan tentang penderitaan etnis Cham di bawah rezim Khmer Merah," kata Farina, seorang ahli di Pusat Dokumentasi Kamboja (DC-Cam), yang melakukan penelitian kekejaman Khmer merah.
"Penderitaan etnis Cham belum banyak diselidiki," tambahnya. "Mereka membutuhkan pengakuan dari orang-orang."
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak Muslim yang tewas di bawah gerakan totaliter, yang menyapu bersih hampir seperempat dari populasi mereka.
Tapi DC-Cam memperkirakan bahwa antara 100.000 hingga 500.000 dari 700.000 masyarakat Cham di negara itu tewas di tangan rezim Khmer merah.
"Ini masih segar di mata kami,"kata Pin Apoutorliep, yang kehilangan orang tuanya dan empat saudara kandungnya di bawah rezim Khmer Merah, mengatakan kepada AFP setelah menyelesaikan shalat zhuhur. "Setiap keluarga memiliki rasa sakit."
Pembunuhan massal umat Muslim, membentuk dasar dari tuduhan genosida terhadap empat terdakwa Khmer Merah, termasuk "Saudara Nomor Dua" Nuon Chea dan mantan kepala negara Khieu Samphan.
File dakwaan terhadap empat terdakwa menyatakan bahwa "Etnis Cham secara sistematis dan metodis ditargetkan dan dibunuh" dan Khmer Merah berusaha untuk menghilangkan budaya Cham, tradisi dan bahasanya.
Hari ini, ada sekitar setengah juta etnis Cham di Kamboja, mayoritas dari mereka pengikut Islam Sunni, dan mereka menikmati kebebasan penuh menjalankan agama.
Tapi seperti banyak muslim tertindas di negara Asia tenggara, mereka tetap dihantui oleh masa lalu.
"Mereka merekonstruksi masjid, mereka menghidupkan kembali identitas agama dan etnis mereka, mereka membuka sekolah-sekolah Islam dan mengajarkan Islam," kata Farina. "Mereka mencoba untuk pulih dari trauma ini, tapi langkah itu adalah proses yang lambat."(fq/afp/eramuslim/al-khilafah.org)
Tidak ada komentar