Header Ads

Sikap Seorang Muslim Terhadap Banyaknya Wanita Yang Menampakkan Aurat di Tempat-tempat Umum

Sikap Seorang Muslim Terhadap Banyaknya Wanita Yang Menampakkan Aurat di Tempat-tempat Umum

Melihat aurat wanita asing itu haram secara mutlak. Lantas bagaimana kita mensikapi tempat-tempat umum di sekitar kita yang penuh dengan aurat wanita asing? Berikut ini adalah penjelasan yang diberikan oleh Al Marhum Syaikh Taqiyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, terkait dengan masalah ini. Beliau berkata:

"... Sejak peradaban Barat menyerang kita dan negeri-negeri kaum Muslim diperintah dengan aturan-aturan (sistem) kufur, para wanita non-Muslim akhirnya keluar dari rumahnya dalam keadaan nyaris telanjang: tersingkap dada, punggung, rambut, lengan, atau betis mereka. Akhirnya sebagian dari wanita Muslimah pun meniru wanita-wanita non Muslim itu. Sebagian dari wanita Muslimah itu pun akhirnya keluar rumah menuju pasar dalam keadaan seperti itu. Pada akhirnya, orang tidak bisa lagi membedakan wanita Muslimah dari wanita non-Muslim, sementara wanita itu sedang berjalan di pasar-pasar atau sedang berdiri di toko melakukan tawar-menawar dalam suatu jual beli. Kaum pria Muslim yang hidup di kota-kota tersebut dengan keindividualannya saat ini tidak mampu untuk mengenyahkan kemungkaran semacam itu. Mereka bahkan tidak mampu lagi hidup di kota-kota itu tanpa melihat aurat wanita. Hal itu karena karakter kehidupan yang mereka jalani dan bentuk (konfigurasi) bangunan yang mereka tinggali meniscayakan kaum pria untuk memandang aurat wanita. Tidak seorang pria pun yang bisa menjaga diri untuk tidak memandang aurat wanita; entah itu lengan, dada, punggung, betis atau rambut mereka. Tidak seorang pria pun yang mampu menjaga dirinya dari hal itu bagaimanapun ia berusaha melakukannya, kecuali pada saat ia duduk-duduk di dalam rumahnya dan tidak keluar rumah. Padahal, sama sekali tidak mungkin pria itu terus-menerus tinggal di dalam rumahnya. Hal itu karena ia sudah pasti perlu melakukan interaksi dengan orang lain; baik dalam aktivitas jual-beli, sewa menyewa, bekerja, dan aktivitas lainnya yang termasuk sesuatu yang urgen (dharûrî) bagi kehidupannya. Padahal, mereka tidak mampu melakukan berbagai aktivitas semacam itu di tempat yang terus terjaga dari pandangan terhadap aurat-aurat para wanita itu. Sementara di sisi lain, haramnya memandang aurat wanita itu sudah demikian jelas di dalam al-Quran dan as-Sunnah. Jika demikian, lalu apa yang harus dilakukan?

Jalan keluar dari masalah terjadi dalam dua kondisi: Kondisi pertama, pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja).

Dalam hal ini pandangan pertama dimaafkan. Namun seorang pria wajib untuk tidak mengulanginya dengan padangan kedua. Hal itu sesuai hadits yang telah diriwayatkan dari Jarîr ibn ‘Abdillâh RA, ia berkata:
Aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW mengenai pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja). Maka Beliau menyuruhku untuk memalingkan pandanganku.” (HR Muslim)

Dan dari ‘Alî ibn Abî Thâlib RA, ia berkata: Rasulullah SAW pernah bersabda kepadaku:
Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan berikutnya. Karena pandangan pertama adalah untukmu, sedangkan pandangan berikutnya bukanlah untukmu” (HR Ahmad, dari jalur Buraidah)

Kondisi kedua, bercakap-cakap dengan wanita yang tersingkap (tampak) rambut, kedua lengan, atau bagian aurat lain yang biasa ditampakkan. Dalam keadaan seperti ini, seorang pria wajib memalingkan pandangannya dari wanita tersebut dan wajib menundukkan pandangan dari melihat wanita itu. Hal itu sesuai hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Bukhârî dari Abdullâh ibn ’Abbâs RA, ia berkata:

"Suatu ketika, al-Fadhl ibn ‘Abbâs membonceng Nabi SAW, lalu datang seorang wanita dari Khats‘am. Al-Fadhl lantas memandang wanita itu dan wanita itu pun memandangnya. Maka Rasulullah memalingkan wajah Fadhl ke arah yang lain".

Allah SWT juga berfirman:
Katakanlah kepada laki-Iaki yang beriman, hendaklah mereka menahan pandangannya.” (TQS an-Nûr [24]: 30)

Makna ghadhdh al-bashar (menahan pandangan) adalah khafadhahu (menundukkan pandangan).

Dengan demikian, solusi praktis atas persoalan ini adalah pria menundukkan pandangannya, seraya terus melakukan aktivitas yang sedang ia lakukan, baik membicarakan sesuatu yang penting dengan seorang wanita, naik kendaraan, duduk di balkon karena kegerahan, atau aktivitas lainnya. Keperluan-keperluan itu merupakan keniscayaan kehidupan umum bagi seorang pria. Ia tidak mungkin menghindarinya. Pada saat yang sama, ia pun tidak mampu menolak bencana tersingkapnya aurat-aurat wanita. Maka, ia harus menundukkan pandangannya dalam rangka melaksanakan perintah Allah yang dinyatakan dalam ayat di atas. Ia tidak boleh sama sekali melakukan hal lain selain menundukkan pandangan.

Dalam konteks ini, tidak bisa dikatakan bahwa hal itu sudah menjadi bencana yang merata sulit untuk dihindari. Prinsip seperti ini jelas bertentangan dengan syara’. Sesuatu yang haram tidak bisa berubah menjadi halal hanya karena telah menjadi bencana yang merata. Begitu pula sebaliknya, sesuatu yang halal tidak bisa menjadi haram hanya karena telah meratanya bencana yang ada. Juga tidak bisa dikatakan bahwa mereka adalah wanita kafir yang bisa diperlakukan sama seperti para budak, sehingga aurat mereka sama dengan aurat para budak. Tidak bisa dikatakan demikian karena hadits yang ada datang bersifat umum mencakup semua wanita. Hadits itu tidak mengatakan “wanita Muslimah”. Rasulullah SAW bersabda:

Sesungguhnya seorang anak perempuan jika telah haid (baligh), tidak boleh terlihat dari dirinya kecuali wajah dan kedua tangannya hingga pergelangan tangan.” (HR Abû Dâwud)

Hadits ini secara gamblang menyatakan haramnya memandang wanita, baik wanita Muslimah ataupun wanita non-Muslimah. Hadits di atas berlaku umum dalam seluruh keadaan, termasuk dalam kondisi di atas. Dalam konteks ini, wanita kafir tidak bisa dianalogikan (diqiyaskan) dengan budak wanita, karena tidak ada sesuatu pun yang dapat dianalogikan.

Berdasarkan paparan di atas, siapa saja yang berkunjung ke rumah orang lain, sementara di dalamnya terdapat wanita yang bukan mahram-nya, ia wajib menundukkan pandangannya dari memandang lebih dari wajah dan kedua telapak tangan wanita itu. Begitu pula, mereka yang hidup di suatu wilayah dan terpaksa harus hidup di tengahtengah masyarakat atau berinteraksi dengan wanita-wanita kafir yang menampakkan aurat mereka, seperti membeli sesuatu dari mereka, membicarakan sesuatu yang penting dengan mereka, bekerja kepada mereka, mempekerjakan mereka, atau menjual sesuatu kepada mereka, atau aktivitas lainnya, maka wajib bagi para pria menundukkan pandangan mereka pada saat melakukan semua itu. Mereka harus membatasi aktivitas mereka sebatas kadar yang mereka perlukan dan yang memang harus (terpaksa) mereka lakukan..".
[Diambil dari kitab An Nidhom Al Ijtima'iy halaman 50 – 52]

Oleh Titok Priastomo

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.