Header Ads

Badai Pasti Berlalu

Oleh: Ali Mustofa Akbar

Permisalan orang yang mangingkari sebuah kemungkaran dan orang yang jatuh padanya, seperti suatu kaum yang berlayar di atas sebuah kapal. Maka sebagian mereka berada di (lantai) atas dan sebagian berada di bawah. Jika orang yang berada di bawah ingin mengambil air, mereka (mesti) melewati orang yang berada di atas mereka. Maka mereka berkata: "Seandainya kita membuat lubang di tempat kita, kita tidak akan mengganggu orang-orang yang di atas kita". Apabila mereka membiarkan orang-orang tersebut melakukan apa yang mereka inginkan maka mereka semua akan celaka. Namun jika mereka bisa menahan tangan-tangan orang-orang tersebut maka mereka semua akan selamat. (HR. Bukhari)

Problematika bangsa ini begitu pelik. Mulai dari permasalahan korupsi  kemiskinan, hingga dekadensi moral. Keadilan sudah menjadi barang langka di negri ini. Kejujuran pun seperti barang mainan. Bila diibaratkan sebuah kapal, maka negri ini seperti kapal yang sedang diterjang badai di tengah samudra.

Kasus korupsi terus menggerogoti Indonesia. Hampir setiap hari kita selalu disuguhi pemberitaan media yang menunjukkan begitu maraknya korupsi di negri ini. Sedangkan kasus korupsi yang masih tersembunyi bisa saja lebih “menggila” lagi. Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah menerima 78.000 laporan transaksi mencurigakan terkait Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) sejak tahun 2002 hingga 2011. Dari jumlah itu, sebanyak 1.600 dari laporan tersebut berhubungan dengan korupsi. (detik.com 29/07/11). Tak heran manakala “Political & Economic Risk Consultancy” (PERC) pada periode 2008-2010, menobatkan Indonesia sebagai negara terkorup seAsia-Fasifik.

Kampanye perang melawan korupsi, “katakan tidak pada korupsi” ternyata serasa jauh panggang dari api. Akhir-akhir ini masyarakat sedang dihebohkan dengan dugaan kasus korupsi Nazzarudin, kasus Kemenakertrans, dan lain sebagainya. Semangat pemberantasan korupsi di negri ini tampak semakin pudar dimana pemerintah ternyata malah memberikan obral remisi kepada para koruptor.

Sedangkan indikator sulitnya masyarakat untuk memperoleh kesejahteraan setidaknya dapat dicermati dari data statistik resmi (official stastistic) BPS (Badan Pusat Statistik). Data kemiskinan yang dirilis BPS per Juli 2010 menunjukkan presentase penduduk miskin masih sangat tinggi. 31,02 juta jiwa penduduk Indonesia masih dibawah garis kemiskinan. Padahal itu masih menggunakan standard tak berkeprimanusiaan, batas miskin adalah yang berpendapatan dibawah Rp. 211. 726.

Fakta empirik juga menunjukkan bahwa negri ini sedang dilanda dekadensi moral. Budaya barat yang cenderung hedonistik tampak sudah menjadi kiblat kehidupan sebagian besar masyarakat dewasa ini. Munculah kenakalan remaja, tindak asusila, hingga tingginya angka kriminalitas. Tempointeraktif.com pernah merilis bahwasanya kejahatan pada tahun 2005 diperkirakan sekitar 209.673 kasus, meningkat dari tahun sebelumnya yang sebanyak 196.931 kasus.

Empat Unsur


Bak sebuah kapal, maka dapat dilihat bahwa negri ini memiliki 4 unsur penting yang mempengaruhi berjalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Ke-Empat unsur tersebut ialah, Pertama: Nahkoda. Di dalam sebuah negara maka yang bertindak sebagai Nahkoda adalah pemimpin negara. Kedua: awak kapal. Mereka adalah para pejabat negara dan unsur-unsur penting dalam pemerintahan.

Ketiga: penumpang kapal secara umum, yang disini adalah masyarakat. Serta yang keempat: ialah mesin kapal, sama halnya dengan sistem kenegaraan yang digunakan.

Badai itu kini telah mengombang-ambing kapal tersebut dan tampaknya kapal itu semakin oling dan nyaris tenggelam. Maka yang harus dilakukan adalah bagaimana untuk menyelamatkan kapal agar tak hanyut ke dalam samudra. Sebagaimana dengan Indonesia, maka protecting (perlindungan) terhadap negara ini harus segera dilakukan dengan cermat. Pertama-tama harus dianalisa faktor-faktor penyebab ketidakmampuan negara dalam mengatasi segala problematika.

Bukan langkah tepat manakala upaya penyelamatan hanya dilakukan dengan cara mengganti nahkoda, padahal mesin kapalnya sudah rusak parah. Hal inilah yang selama ini dilakukan oleh Indonesia, pemimpin silih berganti, permasalahan bangsa juga tak kunjung tertangani. Sudah enam kali sang nahkoda mencoba mengendarai kapal Indonesia, akan tetapi apa yang dicita-citakan menjadi negara baldatun thoyibatun ghofur belum juga tercapai.

Pemilu dan pemilukada selalu digelar, partai-partai politik saling unjuk gigi dalam percaturan demokrasi. Di tahun 2010 tidak kurang dari 227 pilkada berlangsung di tingkat provinsi maupun kabupaten dan walikota, plus pilkada yang harus diulang disebabkan terjadi sengketa. Lahirlah wajah-wajah baru para pemimpin dan wakil rakyat, namun hasilnya Indonesia juga masih terpuruk. Jelaslah bilamana hal ini hanyalah sebuah bentuk penghambur-hamburan uang negara karena sistem kenegaraan ternyata tidak dirubah.

Protecting

Akar permasalahan adalah penerapan sistem sekularisme. Namun sayang, Indonesia masih saja memelihara pangkal kemunkaran tersebut. Sistem inilah yang telah melahirkan penguasa bertindak dzalim seperti menaikkan harga BBM, penetapan UU Ketenagalistrikan, UU Penanaman Modal, UU Minerba, UU Sumber Daya Air, dan sejenisnya. Semua itu adalah bentuk penyelewengan terhadap aturan yang telah diturunkan oleh Alah SWT, demikian halnya dengan privatisasi BUMN, dsb.

Sistem ini terbukti tidak mampu mencegah perampokan sumber daya alam, tak berdaya memberantas korupsi, tak mempan dalam menekan angka kejahatan, dan tak sanggup untuk bertindak tegas terhadap aliran-aliran sesat, dan seterusnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa sistem inilah yang menjadi penyebab maraknya kemunkaran.

Dari situ, sudah sepantasnya negri ini segera melakukan pembenahan. Seluruh elemen bangsa mesti segera menyadari bahwa akar masalah negara ini adalah diterapkannya sistem sekularisme yang telah mencampakkan hukum-hukum Allah SWT.

Kita harus optimis, badai pasti berlalu, sesudah kesulitan itu pasti ada kemudahan, dengan catatan kita mau untuk mengikuti aturan-Nya. Hal penting, orientasi kehidupan orang yang beriman adalah dunia dan akhirat, maka tak perlu silau dengan kehidupan orang kafir yang terkesan wah padahal sejatinya keropos didalamnya, karena orientasi orang kafir hanyalah dunia.

Belum tibakah saatnya kita untuk berjuang, berusaha menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai negara khilafah? Maka, sungguh sudah ketinggalan zaman pihak-pihak yang masih berharap pada demokrasi. Wallahu a’lam

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.