Header Ads

Mengapa Ambon Jadi Incaran Konflik

Sejumlah pengamat intelijen di antaranya AC Manullang dengan tegas menyatakan sinyalemen keterlibatan asing, khususnya Amerika, dalam konflik Ambon. Kepentingan Amerika menurut Manullang untuk memperlihatkan kepada dunia bahwa Indonesia memang sarang teroris. Karena serangan kelompok kristen akan dibalas oleh kelompok Islam. Dan saat itulah, kelompok Islam mendapatkan stigma teroris.

Sinyalemen ini memang cukup kuat. Terlebih momen meletusnya konflik yang bertepatan dengan kampanye anti teroris (atau Islam) Amerika pada 11 September. Tapi pertanyaannya, kenapa Ambon? Tidak Bali, Manado, Papua, atau lainnya yang sama-sama memiliki potensi konflik Islam dan non Islam.

Ada sejumlah kondisi sosio-kultural Ambon yang memang mempunyai potensi konflik Islam Kristen yang lebih besar daripada daerah lain di Indonesia.

Pertama adalah jumlah warga muslim dan kristen protestan bisa dibilang fifty-fifty, atau hampir sama. Tempat ibadah di Provinsi Maluku pada tahun 2008 adalah Gereja Protestan 1.188 buah, Mesjid 780 buah, Gereja Katolik 442 buah, Pura 14 buah dan Wihara 8 buah. Dan dari tahun ke tahun, jumlah umat Islam terus bertambah.

Selain itu, persoalan friksi sosial karena agama di Ambon dan Maluku memang bukan hal baru. Jauh sebelum ini, di masa kolonial Belanda yang beragama kristen protestan, kerap memanfaatkan agama untuk ekspansi kolonialisasi ke berbagai daerah di sekitar Maluku. Bahkan, Belanda memanfaatkan kristen protestan Maluku untuk dijadikan tentara resmi kolonial.

Sejarah mencatat, untuk memukul mundur Portugis dari tanah Maluku, Belanda memanfaatkan sentimen konflik Protestan Katolik. Pada tahun 1605, Belanda yang menganut Kristen Protestan merebut benteng Portugis dan mengusirnya. Ketika terjadi perang reformasi di Eropa, orang Belanda yang Protestan memerangi dan membasmi orang-orang Portugis yang Katolik.

Kedua, adanya hubungan dekat antara warga Ambon yang beragama Protestan dengan negara asing, khususnya Belanda. Kedekatan ini bahkan sudah menjadi hubungan darah dengan perkawinan lintas negara yang terjadi sudah sekian lama. Dan kedekatan inilah, sejarah memperlihatkan, bahwa secara emosional, warga Ambon Protestan umumnya lebih dekat dengan Belanda daripada Indonesia.

Hal ini ditandai dengan sambutan proklamasi kemerdekaan RI tahun 1945. Waktu itu, warga Maluku khususnya Ambon Protestan umumnya tidak menyambut dengan sukacita. Justru, pada tanggal 24 April 1950, Dr. Soumokil memproklamirkan Republik Maluku Selatan (RMS) di wilayah Ambon saat ini.

Boleh jadi, para aktivis RMS belajar dari konflik Timor timur. Dengan terjadinya konflik antar agama yang terus-menerus, mereka bisa mengambil dua keuntungan. Pertama, pengurangan warga muslim yang sudah pasti non RMS dari wilayah mereka, baik status kewargaan dan akses ekonomi. Kedua, menjadi sorotan internasional yang memperlihatkan bahwa orang-orang Protestan yang menjadi warga minoritas, jika dilihat dari cakupan Indonesia, ditekan oleh warga mayoritas Indonesia yang berarti muslim.

Dari sinilah, tuntutan merdeka akan punya nilai jual yang sangat tinggi dari sudut pandang emosi dunia internasional. Dan pada titik ini, posisi tawar pemerintah pusat menjadi begitu lemah jika berhadapan dengan tekanan luar negeri.

Pertanyaannya, seberapa seriuskah pemerintah melakukan pemberantasan terhadap aktivis-aktivis RMS yang terus bergerak di Ambon. Karena RMS-lah yang menjadi pangkal persoalan konflik yang akan terus menjadi bom waktu di negeri kaya rempah-rempah dan objek wisata itu. (mnh/eramuslim)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.