Header Ads

9 Point RUU Intelijen Berpotensi Represif

Oleh: Harits Abu Ulya
(Pemerhati Kontra-Terorisme & Direktur CIIA –The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Rancangan Undang-undang Intelijen akhirnya akan di sahkan menjadi Undang-Undang. Selama Sembilan tahun RUU ini menjadi wacana dan tidak sepi dari perdebatan dari berbagai kalangan. Hasil penggodokan DPR-RI bersama pemerintah menghasilkan draft paling terakhir pertangal 29 September 2011. Draft sebelumnya hasil finalisasi tanggal 5-6 September mengalami beberapa perubahan, baik penambahan, pengurangan, maupun pemindahan pasal dalam bab yang berbeda.

Draft terakhir (tanggal 29 September 2011) dianggap sebagai hasil kompromi, titik tengah dalam rangka memenuhi kebutuhan kewenangan yang cukup bagi intelijen dalam menjalankan tugas  dan fungsinya memberi rasa aman di masyarakat dengan  penegakan hukum, HAM, dan Demokrasi. Sekalipun demikian, apakah benar bahwa dalam draft yang hendak di sahkan itu sudah memenuhi keinginan proporsional masyarakat untuk bisa melahirkan perfoma intelijen yang tangguh dan professional? Dan steril dari potensi dan peluang melahirkan sikon kontraproduktif bagi masyarakat? Pertanyaan ini wajar masih perlu di ajukan, mengingat pengalaman dilapangan sudah membuktikan bagaimana abuse of power (penyalahgunaan kekuasaan) terjadi tanpa bisa di koreksi dan rakyat yang menjadi korban. Intelijen tidak lagi berfungsi dan berperan sebagaimana mestinya, sebagai sebuah institusi yang fokus pada bidang analisis (intelligence estimate) terhadap berbagai aspek (ekonomi, militer, sosial, budaya, hukum dan politik) untuk memberikan peringatan dini (sebagai warning system) tentang fakta ancaman yang membahayakan atau memiliki potenti yang membahayakan terhadap kepentingan mendasar sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat terhadap sepenuh tanah dah tumpah darah yang ada.

Pihak-pihak terkait (DPR-RI dan pemerintah) harus menjunjung tinggi prinsip kehati-hatian dalam penyusunan Undang-Undang. Hal ini tidak bisa diabaikan sama sekali, karena peraturan perundang-undangan  adalah peraturan yang pada umumnya langsung dapat diterapkan karena isinya lebih kongkrit dibanding UUD. Karena didalamnya mengatur ketentuan  atau kebijakan yang terkait dengan kewenangan, hak dan kewajiban asasi manusia, dan penentuan sanksi hukum. Jika gegabah produk legislasi menjadi premature, cacat dan kontraproduktif. Uang rakyat melalui APBN jelas ludesnya, tapi manfaat Undang-Undang tersebut tidak jelas jeluntrungnya.  Dalam ruang demokrasi yang perlu dicatat, bahwa proses legislasi dengan produk perundang-undangan  bukanlah proses yang  steril  dari kepentingan politik  karena ia merupakan proses politik dan produknya. Maka wajar jika produknya seringkali hasil dari berbagai kompromi, seperti dalam kasus RUU Intelijen kali ini. Bahkan implementasi dari perundang-undangan tersebut dikenal dengan sebutan “penegakkan hukum” atau “law enforcement”, juga tidaklah selalu steril dari pengaruh politik bahkan acapkali  kepentingan politik mengintervensi. Sehingga banyak peraturan hukum yang tumpul, tidak mempan memotong kesewenang-wenangan, tidak bisa menghadirkan keadilan dan tidak bisa menampilkan dirinya  sebagai pedoman yang harus diikuti dalam menyelesaikan berbagai kasus yang seharusnya bisa dijawab oleh hukum. Bahkan faktanya lebih banyak produk hukum yang diwarnai oleh kepentingan politik penguasa.

Dari focus kajian atas Draft RUU Intelijen terakhir (pertanggal 29 September 2011), berikut point-point yang potensial melahirkan problem dalam kehidupan sosial politik masyarakat Indonesia.

1)       Masih ada frase atau kalimat yang belum terdefiniskan dengan baik dan jelas tanpa memberi peluang multi tafsir. Yaitu frase “ancaman dan “keamanan Nasional” , “ancaman Nasional”,dan ketahanan nasional (hal ini bisa di lihat pada pasal 1 ayat 1,ayat 8, di pasal-4 ,6 ayat 3,4, dan pasal 31 huruf a). Ada pertanyaan yang harus di jawab; bagaimana jika pemerintah sendiri yang melahirkan ancaman terhadap ketahanan nasional dan lainya. Karena sangat mungkin pemerintah membuat kebijakan yang mengancam keamanan negara baik pada aspek ekonomi, politik, dan militer. Rakyat bisa lihat hari ini; banyak regulasi yang menguntungkan pihak asing.Maka masih sangat urgen untuk hadirnya rumusan yang kongkrit dan terukur tentang hakikat ancaman dan ketahanan nasional serta keamanan nasional, jika tidak maka ini pasal karet dan ambigu. Implementasi dilapangan bisa bias dan subyektif.

2)       Tentang kedudukan BIN juga masih rancu, potensi melahirkan tafsir bias, karena kontradiktif. Satu sisi  “Intelijen Negara adalah penyelenggara Intelijen” (pasal 1 ayat 2). Disi lain BIN adalah alat negara dan bekerja di bawah dan bertanggungjawab kepada Presiden (pasal 10 ayat 1 dan pasal 27 yang mengacu pada pasal 9 huruf a). Seharusnya Intelijen sebagai lembaga Negara” yang mengabdi kepada negara, dan loyalitasnya tidak kepada Prsiden. Ini point bisa menjadi pintu masuk “abuse of power

3)       Rehabilitasi, kompensasi dan restitusi masih belum ada mekanisme yang kongkrit, masih membutuhkan peraturan perundang-undangan (Lihat pasal 15 ayat 1,2). Demikian juga, belum ada mekanisme gugatan rakyat terhadap pemerintah sebagai institusi jika terbukti melahirkan ancaman terhadap ketahanan nasional dengansegala variannya.

4)       “Badan hukum”  seperti dalam pasal 1 point ke 5, serta didalam pasal 26 yang berbicara masalah membocorkan rahasia negara, belum terdefinisikan dengan baik. Siapakah maksud Badan hukum? Apakah pemerintah juga bisa masuk sebagai badan hukum publik dan bisa digugat jika menempuh kebijakan yang membahayakan kepentingan nasional, misalnya kebijakan ekonomi neoliberal yang tidak pro rakyat? Karena persoalanya tidak hanya membocorkan rahasia negara terkait adanya frase “badan hukum”.

5)       Kewenangan penyadapan pada pasal 32 ayat 3, kontra dengan ayat 1, 2; Penyadapan terhadap Sasaran yang telah mempunyai bukti permulaan yang cukup dilakukan dengan penetapan ketua pengadilan negeri.” Ayat 2; Penyadapan terhadap Sasaran yang mempunyai indikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31…”. Artinya, bisa jadi jika seseorang masih dalam status “di curigai” dan memiliki “indikasi” tapi belum mempunyai bukti permulaan maka bisa di sadap tanpa izin pengadilan. Dan tafsir serta keputusan subyektif kepada BIN sangat menentukan operasionalnya.

6)       Kewenangan BIN melakukan pemeriksaan terhadap aliran dana berpotensi tabrakan dengan UU kerahasiaan Bank (Perbankkan), karena didalam pasal 33 ayat 2 memuat klausul “wajib” :”dalam nelakukan pemeriksaan terhadap aliran dana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Bank Indonesia, bank, penyedia jasa keuangan, atau lembaga analisis transaksi keuangan wajib memberikan informasi kepada Badan Intelijen Negara.
 
7)       Kewenangan Penggalian informasi yang mengacu pada pasal 31, masih rancu sekalipun tidak dengan kewenangan penangkapan dan penahanan (seperti tertuang dalam pasal 34 ayat 1 huruf c), tapi dalam pasal 34 ayat 1 huruf C ini, mekanisme kerjasama tidak jelas dan bahkan di tekankan lagi kewenangan BIN yang super power didalam pasal 34 ayat 2; Dalam melakukan penggalian informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) penegak hukum terkait wajib membantu Badan Intelijen Negara”. Bisa jadi BIN ikut nimbrung dalam proses interogasi (menunggui) dan atau memerintahkan pihak aparat penegak hukum untuk melakukan introgasi dengan materi pesanan pihak BIN, dan dua perkara ini bisa mencedarai hukum dan tidak pro yustisi, penyidikan bisa bubar.

8)       Pengawasan terhadap BIN, hanya dibatasi untuk DPR komisi khusus dan tetap dari orang dewan (pasal 43 ayat 3); Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), komisi membentuk tim pengawas tetap yang terdiri atas perwakilan fraksi dan pimpinan komisi di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang khusus menangani bidang Intelijen serta keanggotaaannya disahkan dan disumpah dalam Rapat Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dengan ketentuan wajib, menjaga Rahasia Intelijen”. Artinya; partisipasi masyarakat masih di sumbat dalam proses keterlibatannya dalam pengawasan.

9)       Fungsi Badan Intelijen Negara (BIN) meluas hingga ke daerah yang memberi wewenang berlebihan. (lihat pasal 29 huruf e dan rancangan penjelasannya). Di dalam penjelasan termaktub:Yang dimaksud dengan “memberikan pertimbangan, saran, dan rekomendasi tentang pengamanan penyelenggaraan pemerintahan”  adalah yang berkaitan dengan:1.pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat eselon I;2.pemberian hak akses terhadap Rahasia Negara; dan 3.Pengamanan internal yang meliputi pengamanan informasi, Personel, dan material.”

Tidak ada negara yang tidak membutuhkan intelijen, namun keberadaan institusi intelijen itu juga tidak boleh menjadikan rakyat sendiri yang menjadi korban dan obyek sasaran kerja intelijen. Kerja mereka dibiayai oleh uang rakyat (APBN) maka tidak masuk akal kalau kemudian kesibukan mereka merugikan (potensial maupun aktualnya) rakyat. Wallahu a’lam bisshowab

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.