Header Ads

Badan Anggaran (Banggar) DPR: Sarang Koruptor

Akhir-akhir ini ramai pemberitaan seputar pro-kontra Badan Anggaran (Banggar) DPR sebagai sarang koruptor. KPK memanggil Pimpinan Banggar DPR. Mereka pun bereaksi. Karena pimpinannya dipanggil KPK, mereka ngambek tidak mau melanjutkan pembahasan RAPBN 2012 yang sedang mereka bahas. Mogoknya sejumlah elit politik di lingkungan Banggar DPR, jika terus berlanjut, bisa berdampak pada kondisi darurat anggaran negara karena terjadinya kebuntuan dalam perumusan APBN yang menjadi sumber pembiayaan bagi pelaksanaan tugas-tugas negara. Untuk menghadapi pembangkangan politik di tubuh Parlemen yang membahayakan anggaran negara, tentu harus segera dicarikan kebijakan bersama yang bersifat luar biasa antara DPR dan Pemerintah. Namun demikian, pemberantasan korupsi tetap harus jalan.
Ada desakan dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) agar DPR mencopot pimpinan Banggar. Soalnya, mereka telah melanggar UU dengan memboikot pembahasan APBN 2012 (Tempointeraktif.com, 24/9/2011).

Adanya kemelut  Banggar DPR tidak terlepas dari rapuhnya teori maupun praktik penerapan sistem demokrasi. Demokrasilah yang telah mengakibatkan negara rusak dan bangkrut.

Salah Satu Sarang Korupsi

Secara normatif peran Banggar DPR tertuang dalam UU Nomor 27/2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal 107 ayat 2 menyebutkan Banggar hanya berwenang membahas alokasi anggaran yang sudah diputuskan oleh Komisi. Karena itu, penetapan anggaran proyek transmigrasi di Kemenakertrans, misalnya-yang  akhir-akhir ini diramaikan-tanpa  lewat pembahasan di Komisi jelas sebuah pelanggaran. Celakanya, baik pimpinan Banggar, pimpinan DPR, maupun pimpinan fraksi tak menganggap kebijakan itu sebagai pelanggaran. Otoritas penentuan kebijakan fiskal yang dimiliki Badan Anggaran, yang dikukuhkan UU No 27/2009, ternyata tak berjalan seiring dengan upaya membangun checks and balances, akuntabilitas dan keterbukaan di lingkungan alat perlengkapan DPR tersebut. Tentu, penguatan kedudukan Badan Anggaran, yang dari semula hanya merupakan sebuah panitia anggaran dalam UU No 22/2003, dimaksudkan meningkatkan posisi tawar DPR terhadap Pemerintah. Padahal dalam sistem demokrasi, DPR seharusnya mencerminkan kedudukan rakyat dalam menentukan anggaran negara. Namun, justru sejumlah elit di lingkungan Banggar DPR diindikasikan turut bermain dalam sejumlah proyek penting Pemerintah yang sumber pendanaannya berasal dari APBN. Kini, Banggar DPR menjadi sorotan publik. Pasalnya, Banggar DPR diduga menjadi sarangnya mafia anggaran untuk ‘merampok’ uang negara yang dilakukan oknum DPR yang kongkalikong dengan pejabat Kementerian dan pengusaha ‘hitam’. Alat kelengkapan DPR yang dianggap tempat ‘basah’ ini menjadi sasaran para ‘bandit‘ dalam melakukan korupsi berjamaah. Misalnya adalah kasus dugaan korupsi pembangunan Wisma Atlet di Palembang yang melibatkan Nazaruddin. Mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang sebelumnya juga anggota Banggar itu menuding anggota Banggar lain ikut menikmati uang korupsi. Pengakuan para tersangka kasus korupsi di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi juga menyebutkan adanya commitment fee 10% (penyuapan, pen.) untuk dana percepatan pembangunan infrastruktur daerah transmigrasi senilai Rp 500 miliar kepada Banggar. Kewenagan Banggar sangat besar untuk menentukan anggaran Kementerian sehingga bisa dimanfaatkan menjadi mesin ATM bagi partai. Banggar memiliki kekuasaan untuk menentukan ke mana alokasi dan berapa besar anggaran dikucurkan. Yang lebih konyol, Banggar ikut menentukan perusahaan-perusahaan mana yang menjadi pelaksana proyek yang dibiayai APBN itu.

Bahaya Politik Uang dalam Demokrasi

Menurut Direktur Pascasarjana FH Universitas Atma Jaya Yogyakarta, korupsi politik merupakan tindakan yang dilakukan oleh sekelompok elit atau pejabat publik yang berdampak terhadap kondisi politik dan perekonomian negara. Jahatnya sebuah korupsi politik karena di dalamnya dilakukan penyelewengan kekuasaan atas jabatan politik, yang sejatinya merupakan amanat atau kepercayaan yang dimandatkan oleh rakyat (Kompas, 24/9/2011). Tatanan sosial, politik dan ekonomi yang keropos, ditambah lemahnya mentalitas atau cacat karakter pejabat dan elit politik, semua itu meniscayakan terjadinya korupsi politik dan kleptokrasi. Seharusnya, pemberantasan korupsi dimulai dari pembenahan mendasar pada tatanan sistem dan mentalitas pejabat di kalangan DPR dan Pemerintah.

Entah berapa banyak dana APBN yang bocor. Satu demi satu kejahatan atas nama penyusun anggaran mulai terkuak. Pelan tapi pasti, para mafia anggaran yang ada di Senayan mulai tersingkap. Negara ini kaya sumberdaya alam melimpah.  Anehnya, masih banyak rakyat yang miskin dan jadi pengemis serta pengangguran melimpah ruah. Semua ini sebagai akibat manajemen pengelolaan yang keliru oleh negara. Kebijakan impor terus menerus dilakukan hanya mencari jalan pintas dan instan untuk mencari komisi. Yang menyebabkan impor ini adalah moral tidak beres. Para pemimpin lebih enak bisnis fee, dapat uang kontan, daripada mengurus susah-susah pembangunan di sektor awal. Akibat mental pejabat korup, dana pembangunan habis dikorup mereka! Inilah pelanggaran konstitusional yang dilakukan oleh sebagian elit pemimpin kita.


Solusi Islam

Praktik politik uang (money politic) berkembang dan marak dalam sistem politik oportunistis, seperti dalam era demokrasi sekarang ini. Korupsi terjadi merata di lembaga eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Persoalan money politics harus dilihat dari segi unsur-unsur yang melingkupinya. Dalam hal ini money politics mengandung dua unsur: Pertama, unsur sebab, yakni ada maksud dan tujuan untuk mempengaruhi aspirasi dan pandangan politik seseorang/masyarakat. Kedua, unsur akibat, yakni akibat dari tindakan pemberian uang atau barang tertentu. Jika demikian adanya maka mempengaruhi massa pada saat pemilu sama dengan rishwah (suap), karena money politics secara umum sering dinilai dengan uang bujuk atau uang suap atau sogok. Dengan mengaitkan penelusuran money politics dan mengidentifikasikanya dengan rishwah (suap), maka pengertian rishwah (suap) menurut tinjauan fikih, seperti dinyatakan para ulama, adalah: suatu pemberian yang diberikan guna membatalkan yang benar atau membenarkan yang salah. Dengan kata lain, rishwah (suap) adalah suatu pemberian kepada seorang penguasa atau yang lainnya agar memberi hukum/keputusan menurut kehendak orang yang memberikan sesuatu itu.

Allah SWT berfirman di antaranya:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ

Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sebagian di antara kalian dengan batil, kecuali itu adalah perniagaan yang telah disepakati bersama (QS an-Nisa’ [4]:  29).

وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُم بَيْنَكُم بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِّنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنتُمْ تَعْلَمُونَ

Janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain di antara kalian dengan jalan yang batil dan (janganlah) kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim (penguasa) supaya kalian dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kalian mengetahuinya (QS al-Baqarah [2]: 188).

Rasulullah saw. pun secara tegas memberi peringatan untuk menjauhi praktik rishwah (suap). Beliau antara lain bersabda, sebagaimana dituturkan oleh Tsauban ra., “Rasulullah saw. telah melaknat tukang suap, penerima suap dan yang menjadi perantara dari kedua belah pihak (calo).” (HR Ahmad).

Larangan dalam ayat dan hadis di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta orang lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak, hukumnya haram. Pelakunya diancam dengan dosa. Suap-menyuap dan korupsi termasuk di dalamnya.

Korupsi ialah menyalahgunakan atau menggelapkan uang/harta kekayaan umum (negara, rakyat atau orang banyak) untuk kepentingan pribadi. Praktik korupsi biasanya dilakukan oleh pejabat yang memegang suatu jabatan pemerintah. Dalam istilah politik bahasa Arab, korupsi sering disebut ‘al-fasad’, atau ‘risywah’; tetapi yang lebih spesifik, ialah “ikhtilas” atau “nahb al-amwal al-`ammah“. Korupsi adalah suatu jenis perampasan harta kekayaan rakyat dan negara dengan cara memanfaatkan jabatan demi memperkaya diri. Dibantah atau tidak, korupsi memang dirasakan keberadaannya oleh masyarakat. Ibarat penyakit, korupsi dikatakan telah menyebar luas ke seantero negeri. Terlepas dari itu semua, korupsi apa pun jenisnya merupakan perbuatan yang haram.  Nabi saw. menegaskan, “Siapa saja yang merampok dan merampas, atau mendorong perampasan, bukanlah dari golongan kami (yakni bukan dari umat Muhammad saw.).” (HR Thabrani dan al- Hakim).

Adanya kata-kata laysa minna (bukan dari golongan kami) dalam hadis di atas menunjukkan keharaman seluruh bentuk perampasan harta orang lain, termasuk melalui korupsi.

Lebih jauh lagi, Abu Dawud meriwayatkan sebuah hadis yang berasal dari Adi bin Umairah al-Kindi yang bunyinya, “Hai kaum Muslim, siapa saja di antara kalian yang melakukan pekerjaan untuk kami (menjadi pejabat/pegawai negara), kemudian ia menyembunyikan sesuatu terhadap kami walaupun sekecil jarum, berarti ia telah berbuat curang. Lalu, kecurangannya itu akan ia bawa pada Hari Kiamat nanti…Siapa yang kami beri tugas hendaknya ia menyampaikan hasilnya, sedikit atau banyak. Apa yang diberikan kepadanya dari hasil itu hendaknya ia terima, dan apa yang tidak diberikan janganlah diambil.” 

Sabda beliaua lagi, “Siapa saja yang mengambil harta saudaranya (tanpa izin) dengan tangan kanannya (kekuasaan), ia akan dimasukkan ke dalam neraka, dan diharamkan masuk surga.” Seorang sahabat bertanya, “Wahai Rasul, bagaimana kalau hanya sedikit saja?’ Rasulullah saw. menjawab, “Walaupun sekecil kayu siwak.” (HR Muslim, an-Nasai dan Malik).

Salah satu aturan Islam yang bersifat global adalah mencari kehidupan dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji dalam pandangan syariah. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa pada zaman demokrasi  ini pintu rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pesimistik. Tidak masuk akal jika Allah memerintahkan hamba-Nya mencari jalan hidup yang halal, sementara pintu halal itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan dalih untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang jauh dan menghalalkan segala cara.

Catatan Akhir

Bila menelaah korupsi di Banggar DPR seyogyanya  yang duduk di DPR menyadari bahwa mereka memegang amanah rakyat untuk mengawasi Pemerintah dalam mengelola APBN. Kenyataannya, mereka malah ikut bersama kementerian tertentu untuk bagi-bagi fee atau korupsi. Padahal Banggar DPR mayoritas Muslim. Harusnya mereka melakukan perbuatan terpuji dan tidak malah melakukan perbuatan tercela seperti korupsi.

Lebh dari itu, dalam menentukan arah pemerintahan yang akan datang yang bebas dari korupsi seharusnya umat ini kembali ke syariah dan sistem Khilafah untuk menjamin aparatur negara yang memiliki kepribadian islami, amanah dan jujur dalam mengelolah Negara menuju kesejahteraan yang beradab. WalLahu a’lam bi ash-shawab. [Alimuddin Yasir/Lajnah Siyasah DPP HTI]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.