Header Ads

Busyro: Banyak Politikus Dasa Muka

Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Busyro Muqoddas mengkritik langkah sejumlah politikus yang kerap memberikan komentar yang menyerang lembaganya. Ia menganggap bahwa politikus tersebut masuk dalam kategori dasa muka alias memiliki karakter yang bisa diubah-ubah.



“Inilah karakter esuk dele, sore tempe, malam onde-onde,” kata Busyro pada pidato kebudayaan bertajuk “Paguyuban Kumuh Koruptor dan Polusi Kebudayaan” di Taman Ismail Marzuki, Cikini, Jakarta, Kamis, 10 November 2011 malam.

Busyro mengatakan karakter dasa muka ini bisa memperlihatkan bermacam wajah. Pada pagi hari berwajah lembut, tetapi siang hari muram, egois, dan mudah tersinggung.

Sifat ini, lanjut Busyro, kemudian menjelma menjadi caci-maki yang menganggap lembaga antikorupsi adalah sarang teroris. “Menuduh alat politik penguasa, sarang mafia, loyo, sudah dibeli, pembohong, dan perampok,” katanya.

Tidak hanya itu, kata Busyro, mereka bahkan meminta hak penuntutan KPK dicabut, memaksakan kewenangan penghentian penyidikan, bahkan mendesak pembubaran KPK. “Mereka umbar sepuas nafsu dan hasrat hewaniah,” ujarnya.

Busyro mengatakan, kondisi ini berbanding terbalik pada malam hari, mereka mendorong agar kasus korupsi dipusatkan pada lembaga antikorupsi. Mereka juga mengumbar janji akan menguatkan dan menghalau pelemahan KPK.

Tak hanya itu, budaya kumuh dalam politik kontemporer juga sudah mendominasi entitas politikus Tanah Air belakangan ini. “Karakter mencla-mencle dalam mengemban amanat publik di lembaga negara,” ucapnya lantang.

Penyebabnya, kata Busyro, adanya lembaga negara yang kini dihuni oleh orang-orang yang tidak jelas rekam jejaknya. Akibatnya, tidak diketahui apakah mereka pernah membela atau malah memangsa rakyat.
“Banyak terindikasi lembu peteng atau anak yang lahir tak jelas bapak-ibunya,” ujarnya.

Yang jelas, lanjut Busyro, mereka tampil perlente dengan lambang burung garuda keemasan dan safari bersaku enam. Serta memiliki selusin BlackBerry. “Inilah partai politik kita yang dihuni mayoritas politisi pragmatis hedonis. Ini tragis sekaligus tragedi budaya,” katanya. (tempointeraktif.com, 11/11/2011)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.