Haram, Ikut Natal Bersama!
Apabila
ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka,
maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan terpengaruh dengan kemunkaran itu.
Setiap
bulan Desember umat Islam selalu dihadapkan fitnah yan bisa mengancam
aqidahnya. Dengan dalih toleransi dan kerukunan beragama, umat Islam
diseret turut serta terlibat dalam perayaan Natal bersama. Bahkan seolah
menjadi ritual wajib, pejabat yang menduduki jabatan publik harus ikut
hadir. Ironisnya, ada saja di antara tokoh umat yang menyerukan
kebolehan terlibat dalam perayaan Natal. Bahkan beberapa tahun lalu,
ketua sebuah ormas Islam mempersilakan semua fasilitas organisasinya
minus masjid digunakan sebagai perayaan Natal.
Haram Terlibat dalam Perayaan Kufur
Bagi
kaum Muslim seharusnya senantiasa mengikatkan dirinya dengan hukum
syara’. Dan hukum syara’ mengenai persoalan tersebut sesungguhnya telah
jelas: haram. Kaum muslim diharamkan melibatkan diri di dalam perayaan
hari raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini
mencakup aktivitas: mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk
menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat,
dan lain sebagainya. Sedangkan perayaan hari raya orang kafir di sini
mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan
semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Ketentuan tersebut didasarkan pada firman Allah swt: al-ladzîna lâ yasyhadûna al-zûr (QS al-Furqan [25]: 72). Ayat ini menjelaskan tentang salah satu dari sifat ‘ibâd al-Rahmân. Menurut sebagian besar mufassir, makna kata al-zûr (kepalsuan) di sini adalah syirik. Demikian papar al-Syaukani dalam kitab tafsirnay, Fath al-Qadîr.. Ibnu Katsir dalam tafsirnya Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm menyitir
pendapat beberapa mufassir seperti Abu ‘Aliyah, Thawus, Muhammad bin
Sirrin, al-Dhahhak, al-Rabi’ bin Anas, dan lainnya, memaknai al-zûr di sini adalah hari raya kaum Musyrik. Lebih luas, Amru bin Qays menafsirkannya sebagai majelis-majelis yang buruk dan kotor.
Sedangkan kata lâ yasyhadûna, menurut jumhur ulama’ bermakna lâ yahdhurûna al-zûr, tidak menghadirinya. Demikian penjelasan al-Syaukani dalam Fath al-Qadîr. Memang ada yang memahami ayat ini berkenaan dengan pemberian kesaksian palsu (syahâdah al-zûr) yang di dalam Hadits Shahih dikategorikan sebagai dosa besar. Akan tetapi, dari konteks kalimatnya, lebih tepat jika dimaknai lâ yahdhurûnahu, tidak menghadirinya. Sebab, dalam frasa berikutnya disebutkan:
“Dan apabila mereka melewati (orang-orang) yang mengerjakan
perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan
menjaga kehormatan dirinya” (TQS al-Furqan [25]: 72).
Dengan demikian, keseluruhan ayat ini memberikan pengertian bahwa mereka tidak menghadiri al-zûr. Dan jika mereka melewatinya, maka mereka segera melaluinya, dan tidak mau terkotori sedikit pun olehnya (lihat Imam Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, juz 3, hal. 1346).
Berdasarkan ayat ini pula, banyak fuqaha’ yang menyatakan haramnya menghadiri menghadiri perayaan hari raya kaum kafir. Ibnu Taimiyyah menyitir penjelasan beberapa ulama terkemuka mengenai persoalan ini. Ahmad bin Hanbal berkata: “Kaum Muslim telah diharamkan untuk merayakan hari raya orang-orang Yahudi dan Nasrani.“ (lihat Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201). Imam Baihaqi menyatakan, “Jika kaum Muslim diharamkan memasuki gereja, apalagi merayakan hari raya mereka.” (lihat Iqtidhâ’ al-Shirâth al-Mustaqîm, hal.201).
Sedangkan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah dalam Ahkâm Ahl al-Dzimmah menyitir penjelasan yang dikemukakan Abu al-Qasim al-Thabari. Beliau berkata, “Tidak diperbolehkan bagi kaum Muslim menghadiri hari raya mereka karena mereka berada dalam kemunkaran dan kedustaan (zawr). Apabila
ahli ma’ruf bercampur dengan ahli munkar, tanpa mengingkari mereka,
maka ahli ma’ruf itu sebagaimana halnya orang yang meridlai dan
terpengaruh dengan kemunkaran itu. Maka kita takut akan turunnya murka
Allah atas jama’ah mereka, yang meliputi secara umum. Kita berlindung
kepada Allah dari murka-Nya, juz 1. hal. 235).
Pada
masa-masa kejayaan Islam, pemerintahan Islam saat itu –sejak masa
Rasulullah SAW –, kaum muslim tidak diperbolehkan merayakan hari raya
ahlul Kitab dan kaum musyrik. Dari Anas ra bahwa ketika Rasulullah SAW
datang ke Madinah, mereka memiliki dua hari raya yang mereka rayakan,
beliau pun bersabda:
“Sungguh Allah swt telah mengganti dua hari itu dengan dua hari yang
yang lebih baik daripada keduanya, yaitu Idul Adha dan idul Fitri.” (HR. Abu Dawud dan al-Nasa’i dengan sanad yang shahih).
Pada masa pemerintahan Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab, beliau juga telah melarang kaum Muslim
merayakan hari raya orang-orang kafir. Imam Baihaqiy telah menuturkan
sebuah riwayat dengan sanad shahih dari ‘Atha’ bin Dinar, bahwa Umar ra
pernah berkata, “Janganlah
kalian menmempelajari bahasa-bahasa orang-orang Ajam. Janganlah kalian
memasuki kaum Musyrik di gereja-gereja pada hari raya mereka.
Sesungguhnya murka Allah SWT akan turun kepada mereka pada hari itu.” (HR. Baihaqi). Beliau juga mengatakan: “Jauhilah musuh-musuh Allah pada di hari raya mereka.”
Jelaslah,
Islam telah melarang umatnya melibatkan diri di dalam perayaan hari
raya orang-orang kafir, apapun bentuknya. Melibatkan diri di sini
mencakup perbuatan; mengucapkan selamat, hadir di jalan-jalan untuk
menyaksikan atau melihat perayaan orang kafir, mengirim kartu selamat,
dan lain sebagainya. Adapun perayaan hari raya orang kafir di sini
mencakup seluruh perayaan hari raya, perayaan orang suci mereka, dan
semua hal yang berkaitan dengan hari perayaan orang-orang kafir (musyrik maupun ahlul kitab).
Melenyapkan Syubhat
Di antara ayat sering digunakan untuk melegitimasi bolehnya mengucapkan selamat natal adalah firman Allah Swt: “Dan
kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan,
pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (TQS Maryam [19]: 33).
Ayat
ini sama sekali tidak menunjukkan kebolehan mengucapkan selamat natal
kepada kaum Nasrani. Di dalam ayat ini memang disebutkan tentang
keselamatan pada hari kelahiran Isa. Akan tetapi, itu memberitakan
keselamatan Nabi
Isa ketika beliau dilahirkan, diwafatkan dan dibangkitkan. Tidak ada
kaitannya dengan ucapan selamat Natal. Sebab, Natal adalah perayaan
dalam rangka memperingati kelahiran Yesus di Bethlehem. Sejak abad
keempat Masehi, pesta atau perayaan natal ditetapkan tanggal 25
Desember, menggantikan perayaan Natalis Solis Invioti (kelahiran matahari yang yang tak terkalahkan).
Telah
maklum, bahwa keyakinan Nasrani terhadap Isa as –yang mereka sebut
Yesus– adalah sebagai Tuhan. Dan keyakinan ini menjadi salah satu
penyebab kekufuran mereka. Banyak sekali ayat menegaskan hal ini,
seperti firman QS al-Maidah [5]: 72, QS al-Maidah [5]: 73-74).
Bertolak
dari fakta tersebut, perayaan Natal yang merayakan ‘kelahiran Tuhan’
merupakan sebuah kemunkaran besar. Sikap yang seharusnya dilakukan kaum
Muslim terhadap pelakunya adalah menjelaskan kesesatan mereka dan
mengajak mereka ke jalan yang benar, Islam. Bukan malah mengucapkan
selamat terhadap mereka. Tindakan tersebut dapat dimaknai sebagai sikap
ridha dan cenderung terhadap kemunkaran besar yang mereka lakukan.
Padahal Allah Swt berfirman:“Dan
janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim yang menyebabkan
kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang
penolong pun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi
pertolongan.” (TQS Hud [11]: 113).
Menurut Abu al-Aliyah, makna kata al-rukûn adalah ridla. Artinya ridla terhadap perbuatan orang-orang zhalim. Ibnu Abbas memaknainya al-mayl (cenderung). Sedangkan menurut al-Zamakhsyari, al-rukûn tak sekadar al-mayl, namun al-mayl al-yasîr (kecenderungan
ringan). Ini berarti, setiap Muslim wajib membebaskan dirinya dari
kezahliman. Bukan hanya dalam praktik, namun sekadar kecenderungan
sedikit saja sudah tidak diperbolehkan.
Jelaslah, haram hukumnya kaum Muslim terlibat dalam perayaan hari raya kaum kaum kafir, baik Musyrik maupun Ahli Kitab. Wal-Lâh a’lam bi al-Shawâb. (Abu Burhan dan Abu Said)
Tidak ada komentar