Header Ads

Polri Langgar Konstitusi dalam Tragedi Bima

DARAH anak bangsa terus tumpah. Ironisnya, nyawa mereka melayang di tangan aparat yang mestinya mengayomi rakyat.

Hingga kemarin, empat orang tewas dan puluhan lainnya luka-luka setelah aparat Polres Bima yang didukung Satuan Brimob Polda Nusa Tenggara Barat (NTB), Sabtu (24/12) pagi, membubarkan paksa unjuk rasa ribuan warga disertai blokade ruas jalan menuju Pelabuhan Sape, Kabupaten Bima, NTB.


Ribuan petani dan pemuda yang marah itu memblokade jalan dan menuntut Bupati Bima Ferry Zulkarnaen mencabut Surat Keputusan Nomor 188/45/357/004/2010 yang berisi pemberian izin kepada PT Sumber Mineral Nusantara (SMN) dan PT Indo Mineral Persada untuk mengeksplorasi lahan di Bima seluas 24.980 hektare.

Warga khawatir aktivitas pertambangan itu mengganggu mata pencarian mereka yang sebagian besar petani dan nelayan. Mereka khawatir mata air terbesar yang mengairi sawah dan menjadi sumber kehidupan masyarakat akan rusak oleh eksploitasi tambang.

Kadiv Humas Polri Irjen Saud Usman Nasution mengatakan Polri sudah bernegosiasi agar blokade jalan satu-satunya keluar-masuk menuju penyeberangan feri dari NTB ke Nusa Tenggara Timur sejak 19 Desember itu diakhiri karena mengganggu. “Tapi mereka berusaha melawan aparat. Tembakan peringatan tidak diindahkan maka digunakan Protap-01 penanganan unjuk rasa anarkistis,” kata Saud, kemarin.

Polisi pun mengepung, menembaki, dan membubarkan unjuk rasa. Versi polisi, dua orang tewas, yakni Arif Rahman, 18, dan Syaiful, 17. Namun, menurut Wakil Ketua DPRD Bima H Najib, korban tewas empat orang, yakni Arif, Syaiful, Alamsyah, dan Ismail.

Berbagai kalangan mengecam aksi brutal itu. Wakil Ketua MPR Hajriyanto Tohari menilai tindakan itu menunjukkan Polri sengaja melecehkan UUD 1945.

“Polisi benar-benar mengangkangi konstitusi. Dalam UUD ‘45 dinyatakan tugas Polri mewujudkan keamanan dan ketertiban serta mengayomi masyarakat. Namun bukannya mengayomi, polisi malah menembaki rakyat,” tuturnya di Jakarta, kemarin.

Tindakan itu, sambung dia, merupakan bukti Polri bukan sekadar masih menjadi alat kekuasaan, melainkan juga alat pemodal besar.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim menyebut polisi dan pemerintah telah mengabaikan peringatan dini Komnas HAM. “Kami sudah memperingatkan mengenai potensi konflik warga dengan perusahaan tambang,” kata Ifdhal.

Rekomendasi kepada Pemerintah Kabupaten Bima, Gubernur NTB, dan Polda NTB itu dikeluarkan pascapenembakan polisi terhadap warga Bima terkait dengan penolakan perusahaan tambang pada April 2011. Komnas HAM meminta pemerintah mempertimbangkan kembali pemberian izin dua perusahaan tambang.

Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam (PB HMI) menduga telah terjadi pergeseran nilai di Polri. “Terjadi disorientasi peran polisi sebagai pengayom dan pelindung masyarakat,” kata Ketua Umum PB HMI Noer Fajrieansyah di Kantor PB HMI, Jakarta.

Hajriyanto menegaskan Kapolri harus bertanggung jawab dengan menindak anak buahnya dan menyeretnya ke pengadilan. (mediaindonesia/HTIPress)


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.