Header Ads

Menggugat Perayaan Tahun Baru-an


Gegap gempita, desa maupun di kota semuanya merasa wajib merayakan peringatan pergantian tahun masehi itu. Layaknya perayaan pesta kemenangan, dirayakan penuh suka cita, mulai dari tiup terompet, aksi konvoi keliling kota dengan memakai kendaraan yang knalpotnya kebetulan suaranya “dipecah” sehingga memekkan telinga, berboncengan laki-perempuan dengan bebas tanpa helm, pak polisi pun tidak bisa mengatur kekacuan ini, bahkan memaklumi dengan dalih “ah, ini khan hanya setahun sekali”. Nggak cukup hanya itu, ada juga yang melakukan ritual melekkan alias tidak tidur sampai menjelang pagi yang dilakukan di perempatan atau dipinggir jalan sambil ditemani miras dan musik yang detumannya keras, layaknya diskotik yang dibeber di pinggir jalan. Televisi pun, nggak mau ketinggalan ikut memeriahkan dengan menyuguhkan acara-acara unggulan, utamanya acara musik sambil menunggu detik-detik datangnya tahun baru tiba, yang biasanya diserentaki dengan tiupan terompet.


Tidak ada yang memberi komando, hura-hura yang bisa jadi huru-hara tahun baruan hampir pasti ada di tiap tempat dan tiap tahun seperti sudah tradisi yang tidak boleh tidak untuk dirayakan. Masing-masing tempat juga punya cara sendiri untuk merayakannya. Dan kalau kita mau jujur, tidak sedikit dari mereka yang suka cita dengan pesta tahun baruan adalah saudara kita dalam agama ini. Maklum aja, karena acara tahun baruan udah menjadi hal yang lazim diperingati oleh siapa saja, termasuk oleh kaum muslimin.  

Itulah sebagian rutinitas yang dilakukan masyarakat menjelang malam tahun baru-an. Kenapa mereka merasa wajib merayakan tahu baruan itu ? Mengapa juga harus ada ritual perayaan tahun baru ? Darimana asal-muasal “kewajiban” itu ? Bagaimana dengan status kita sebagai seorang muslim ikut nimbrung merayakan tahun baruan itu. Nah, dengan tulisan di bawah ini, kita akan coba merenungi kembali pertanyaan-pertanyaan diatas dan menemukan jawabannya dengan tuntas.

Mengapa Merasa Wajib Merayakan ?

Nggak bisa kita ingkari bahwa Barat dengan Globalisasi-nya telah dengan sengaja menyebarkan way of life, tradisi, ritual, atau bahkan ideologi mereka ke dunia timur, yang notabene dihuni oleh mayoritas negeri-negeri muslim, termasuk negerinya Si Bolang ini. Disisi lain kaum muslimin, selama ini dengan terpaksa maupun sukarela, telah menjadikan Islam yang aturannya syamil dan kamil itu, dibatasi hanya mengurus dalam urusan privat. Sementara urusan publik, kaum muslimin telah mengadopsi aturan, pemikiran bahkan perasaan dari way of life-nya Barat yang telah diserangkan tadi.

 Klop sudah keterpurukan kaum muslimin. Kita bisa melihat atau membaca, sejarah ketidakberdayaan kaum muslimin menghadapi wolak-waleke (jawa : bolak-baliknya) jaman. Bahkan itu tidak terjadi di era komputer ini saja, Taqiyudin dalam kitabnya Mafahim Hizb Tahrir menyebutkan abad 12 Hijiriyah (ke-18 Masehi), secara umum kaum muslimin mengalami kemerosotan yang paling buruk, setelah sebelumnya negeri-negeri Islam yang bergabung menjadi satu negara besar menjadi negara super power. Pada saat itu pembahasan Islam sudah dipisahkan dari “ruh”nya, dan juga Islam sudah dipisahkan dari bahasa aslinya yakni bahasa Arab.

Dalam tataran realitas, salah satu dari sekian serangan Barat terhadap dunia Islam adanya ghazwul fikri (perang pemikiran) dan ghazwul tsaqofi (perang kebudayaan) (liat :Al-Wai ed. Desember 2003, Invasi Pemikiran). Misalnya, budaya hedonisme yang merupakan produk dari ideologi sekularisme telah menyeret manusia untuk menggauli “dunia binatang” dan menomor sekian kan agama. Kepuasan fisik selalu jadi tolok ukur ketika bergaul bersama manusia lain. Bahkan, menjadi suatu hal yang out to date, kurang gaul atau kuno, kalau salah satu dari kita tidak ikutan trend di tengah-tengah masyarakat.

Perayaan tahun baru merupakan sebagian kecil catatan buruk kita sekaligus menjadi bukti bahwa liberalisme alias gaya hidup permisive (serba bebas) mampu mencetak manusia yang tidak manusiawi. Kebebasan sejatinya adalah pintu gerbang budaya destruktif manusia. Salah satu bagian yang paling mencolok dari paham kebebasan adalah kebebasan bertingkah laku (huriyatus syakshiyah) (liat : Serangan Amerik terhadap dunia Islam, PTI). Kita bisa melihat, atas nama kebebasan, ketika sejumlah kalangan mengecam pornografi dan pornoaksi atau lebih pasnya, larangan goyang ngebor, ngecor dll, muncul di tengah-tengah kita. Malahan sejumlah tv swasta menayangkannya sebagai tayangan favorit pilihan pemirsa. Dan ketika ada pihak yang mencoba untuk berseberangan dengan goyangan yang telah menjadi budaya itu, malah dikasih cap tidak manusiawi, sok moralis, dll. Maka, jangan salah pada kondisi ini, kemaksiatan akan mendapatkan tempat terhormat sementara upaya untuk membumikan syariat Islam menjadi sesuatu yang asing.

Termasuk diantaranya adalah ritual tahun baruan yang telah membumi dibandingkan dengan acara yang terkait dengan agama kita, baik lingkup privat maupun publik. Perayaan tahun baruan diikuti tidak sedikit dari kaum muslimin dan menguras dana yang tidak sedikit pula, sementara ritualisme agama seperti sholat, zakat atau yang lebih dari itu, misalnya dakwah, jihad, peminatnya sangat kurang dari kaum muslimin. Bahkan mereka yang tadinya sholat, puasa, zakat, haji sekalipun ikutan latah merayakan tahun baruan. Nah, paparan diatas tadi bukti mengapa mereka merasa wajib merayakan tahun baruan, sementara tidak merasa wajib melaksanakan sholat, zakat, dakwah dan yang lebih global dari itu yakni menerapkan syariat Islam di bumi ini.

Relativitas Tahun baru

Siapa sebenarnya yang pantas merayakan perayaan tahun baru masehi ini adalah mereka yang menganut paham sekularis. Sebab, bagi umat muslim pergantian tahun itu tidak terjadi pada hitungan kalender Masehi, melainkan berdasarkan al manak tahun Hijriyah. Kalender yang biasa kita pakai dan itu sudah jadi standar dunia adalah made in orang Barat. Banyak sumber yang menyebutkan bahwa kalender yang sekarang kita pakai itu adalah bikinan Julius Caesar, Kaisar Romawi saat itu.

Kalender itu dibuat berdasarkan perputaran bumi mengelilingi matahari. Konon, kalender itu mulai dihitung berdasarkan lahirnya Kristus (nabi Isa). Walaupun oleh umat Nasrani dipercayai bahwa Kristus lahir pada tanggal 25 Desember, tapi mereka sendiri yang merubah dan baru merayakan tahun baru 6 hari setelahnya. Kerancuan atau kerusakan kalender itu semakin nampak, ketika tidak memperhitungkan seperempat hari terakhir dari waktu keliling bumi terhadap matahari, akibatnya kalender itu pernah mengalami “pemotongan” beberapa hari pada zaman Paus Gregorius.

Kalender yang jumlah harinya 365 (ada yang 366 hari) hari itu, kini telah menjadi standar dunia dan dipakai di negeri manapun. Sehingga ketika menjelang pukul 24.00 hari ke 365, sebagian besar penduduk dunia menganggapnya sakral. Dan musti diperingati sebagai peristiwa yang monumental setiap tahunnya. Tak pelak negeri ini dan negeri-negeri Islam lainnya yang disitu dihuni mayoritas muslim, yang sudah terlanjur menjadikan kalender Masehi sebagai penanggalan mereka, akhirnya ikutan hanyut pada peringatan tahun baru masehi itu.

Padahal, kalau kita mau jeli. Ternyata perayaan tahun baru itu relativ. Coba kita lihat di kalender Indonesia kita yang lengkap, disitu tercantum kelender Jawa, Cina dan Islam (biasanya terletak dibawah kalender umum). Orang cina yang banyak berimigrasi ke Indonesia pun masih memegang erat tradisi penanggalan cina tersebut, yang tentu saja berbeda dengan kalender Masehi. Kalau dihitung, orang atau kalender Cina lebih dahulu mengalami tahun baru daripada orang yang memakai penanggalan Masehi, mereka sudah melampui millieniu ke III beberapa ratusan tahun yang lalu. Bahkan di negeri ini, tahun baru Imlek boleh dirayakan.

Berbeda juga orang atau kalender Jawa yang lebih muda umurnya daripada kalender Masehi. Bahkan dalam hitungan hari, mereka tidak menggunakan 7 hari sebagaimana layaknya, tapi mereka hanya memiliki 5 hari saja (pon, pahing, wage, legi dan kliwon). Sistem penanggalan seperti ini masih banyak juga dipakai oleh masjid atau mushola di pelosok-pelosok Jawa, untuk menetapkan jadwal khotib jum’at. Sebab jika mereka menggunakan kalender Masehi, dengan mengandalkan jumat I, II, III dan IV, maka bisa jadi khotib untuk jumat ke IV bisa tidak kebagian jatah, karena bulan Februari hanya diakhiri minggu ke 3, yang artinya tidak ada jumat ke IV. Sebaliknya, kalau ada jumat minggu ke V (terutama kalender dengan jumlah hari 31 hari), maka pihak masjid juga kebingungan mencati khatib baru.

Seperti sudah disebutkan tadi bahwa kaum muslimin sebenarnya mempunyai kalender sendiri untuk penanggalannya yang disebut kalender Hijriyah. Yang dimulai hitungan tahunnya pada saat Rasulullah saw hijrah ke Madinah. Sebagaimana hadis sahih disebutkan oleh Sahal bin Sa’ad :

“Tidaklah kaum muslimin menentukan tanggal sejak diutusnya Nabi Saw, ataupun sejak wafatnya, tidaklah hal itu ditentukan, melainkan sejak kedatangan beliau di Madinah” (HR. Al-Bukhari)

Ibn Abbas juga pernah bertutur :

“Tarikh (penanggalan) dalam setahun itu dimulai sejak Rasulullah Saw, datang di Madinah dan dilahirkannya Abdullah bin Zubair di sana” (HR. Al-Hakim)
(lebih lengkap liat : al-Wai ed. Maret 2003)

Berbeda dengan kelander lain yang perhitungan tiap bulannya pasti, tidak demikian dengan kalender Hijriyah. Penentuan awal bulan dilakukan dengan melihat hilal (bulan) pada akhir hari ke-29 tiap bulannya, jika hilal terlihat pada sore hari tanggal 29, maka esok sudah bisa dipastikan tanggal 1 bulan baru. Sebaliknya, jika tidak terlihat hilal, maka berarti esok masih tanggal 30 bulan itu. Tapi ada metode lain yakni metode hisab yang dipergunakan untuk membantu saja penanggalan hijriyah, tapi penetapan bulan baru tetap menggunakan ru’yatul hilal atau melihat bulan.

Nah, apa korelasi yang kuat yang menyebabkan kita ikut memperingati tahun baru Masehi ? Dan kalaupun kaum muslimin juga mempunyai kalender Hijriyah, tidak setiap peringatan tahun barunya diperingati hal serupa, seperti yang dilakukan oleh kaum non muslim memperingati tahun barunya. Dengan pesta pora, hura-hura tanpa makna, bahkan ada pelanggaran syariat yang kita lakukan disitu, yang ujung-ujungnya bermaksiat kepada Allah SWT.

Jangan Jadi Bebek

Setiap umat atau kaum mempunyai hari raya sendiri-sendiri, dan kaum muslimin juga punya hari raya sendiri. Yakni hari raya Idul Fitri dan Idul Adha, yang disitu kaum muslimin boleh bersuka ria, bergembira senyampang tidak meninggalkan identitas atau kepribadian Islam. Jika kita mengikuti ritual, kepercayaan, adat istiadat, cara ibadah bahkan kepribadian suatu kaum, maka apa bedanya kita dengan kaum tersebut.

Merayakan tahun baru artinya kita meniru tingkah laku kaum yang bukan kaum muslimin. Artinya kita tasyabuh (meniru-niru) kaum kafir, sedangkan Rasulullah Saw melarang hal itu :

“Barangsiapa yang meniru-niru suatu kaum maka ia termasuk kaum tersebut” (Riwayat Abu Dawud)

Aktivitas meniru ini, tidak terkait dengan hal masalah teknologi tapi terkait dengan way of life-nya suatu kaum diluar Islam. Sebab Allah SWT sendiri sudah memperingatkan kepada kita tentang perilaku orang-orang kafir itu terhadap kita :

“Dan tidak akan pernah rela orang-orang Yahudi dan Nasrani, sampai kalian mengikuti millah (way of life) mereka” (TQS. Al-Baqaroh    )

Niat jahat kaum kuffar untuk menjerumuskan kita, semakin kentara kalau kita renungi sabda Rasulullah Saw :

“Kamu akan mengikuti perilaku orang-orang sebelum kamu sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga kalau mereka masuk ke lubang biawak pun kamu ikut memasukinya. Para sahabat bertanya : “Siapa mereka yang baginda maksudkan itu, ya Rasulullah ?” Beliau menjawab : “Orang-orang Yahudi dan Nasrani” (HR. Bukhari)

Hadits diatas Rasulullah mengambil ibarat lubang biawak. Karena lubang biawak itu terkenal sempit dan baunya tidak sedap. Ini sebuah indikasi (qorinah) yang menyatakan bahwa aktivitas meniru itu dilarang keras alias haram.

Siapa yang membuat kalender Masehi, siapa yang membuat peringatan tahun baru Masehi ? Tentu orang diluar Islam bukan ? Nah, kalau kita mengikuti ritualisme mereka, apa nggak pantas kalau kita disebut membebek pada mereka ? (diskripsi lengkap tentang bebek, liat : jangan jadi bebek, Oleh Solihin, GIP)

Membebek tidak hanya membuat kita tidak mandiri, tetapi ternyata merupakan bentuk kemaksiatan yang nyata. Sebab bisa jadi kita menimbulkan syariat baru di agama ini, yang tidak pernah Rasulullah Saw, contohkan kepada kita. Jika itu masalahnya, maka ingatlah hadis nabi berikut ini :

“Barang siapa menimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak” (HR. Bukhari)

Alasan ‘sejuk’ bagi mereka yang merayakan tahun baru adalah sebagai sarana koreksi (muhasabah). Ini sebuah alasan yang terlalu dicari-cari, sebab jikalau memang harus mengoreksi diri kita, mustinya dilakukan tiap hari, karena tiap hari kita hidup dan tiap hari pula kita mengantongi dosa. Nah, dengan merenung atau menghizab diri kita tiap hari, itu sudah merupakan bekal kita untuk lebih baik di hari esok. Bukannya malah tiap hari kita berdosa, ditambah dengan aktivitas ‘ngawur’ berupa tahun baruan, ini jelas sesuatu yang absurd.

Seperti layaknya Hari Raya Idul Fitri, yang artinya kita disitu kembali kepada fitrah. Karena sebulan sebelumnya kita diganjar sama Allah dengan melatih diri kita berpuasa, mulai dari menahan makan-minum, nafsu, sabar dll. Nah, hari raya idul fitri adalah tempat kaum muslimin yang berhasil puasanya untuk bersuka ria, bergembira. Maka dari itu, tidak layak bagi kita ikutan merayakan tahun baru, natalan, imlek-kan, suro-an, dll yang itu semua tidak pernah dan dilarang oleh syariat Islam untuk diikutinya.

Khatimah (solusi)

Barat telah melancarkan serangannya di arena perang pemikiran dengan ideologi sekularnya, maka tidaklah seimbang jika kita tidak melawannya dengan pemikiran atau ideologi Islam pula. Islam merupakan dien yang dilandasi dengan aqidah fikriyah (asas pemikiran) yang diatasnya berpancar nidhzam (syariat) (liat : Nidzomul Islam, HTI). Jika kita tidak lagi jadi bebek, yang terus membebek kepada Barat dalam soal gaya hidup, maka saatnya kita bangun dan jadikan aqidah Islam sebagai pembangun ketakwaan kita dan syariat Islam sebagai pengikat aktivitas kita tiap harinya. Tidak ada waktu untuk bermaksiat kepada Allah dan menyimpang dari sunnah Rasul-Nya. Sebab dengan membekali takwa pada individu, kita sudah memberi kontribusi bagi kelayakan umat ini disebut dengan khairuh umat.

Namun itu saja tidak cukup, sebab ketakwaan individu itu membutuhkan tempat di masyarakat. Ibarat makanan, dia butuh wadah yang sesuai. Jika kita punya makanan yang ada sayur dan kuahnya, tidak mungkin kita bungkus dengan daun atau kertas, tapi kita butuh wadah yang pas buatnya. Demikian pula, ketakwaan individu membutuhkan tempat di masyarakat yang disitu perasaan, pemikiran dan aturannya distandari dengan syariat Islam. Keridloaan atau kebencian masyarakat terhadap suatu aktivitas didasarkan pada bagaimana Islam mengukur keridhloan aktivitas itu.

Jikalau dua hal diatas sudah dipenuhi. Maka, negara juga ikut berperan dengan kebijakan dan aturannya. Sebab jika masyarakat secara seragam, sudah menginginkan diterapkannya syariat dan dihilangkannya kemaksiatan. Maka, tinggal negara saja yang mengetok palunya. Bukankah negara, yang mengatur kebijakan tentang boleh tidaknya prostitusi misalnya ? Bukankah negara, yang membolehkan miras beredar di tengah masyarakat ? Siapa yang bisa melarang dengan tegas, jika banyak dari kita ternyata sia-sia dan melakukan banyak pelanggaran ketika kita merayakan tahun baru ? Bukankah negara ? Nah, hanya dengan individu yang takwanya kuat, masyarakatnya yang sepakat, dan negaranya yang taat kepada aturan Islam saja, hedonisme tahun baruan bisa terhapus. Selain itu, nonsen !!! (Luky B Rouf)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.