Header Ads

UU Pengadaan Lahan, Cara Konstitusionil Merampas Lahan Warga? (Kritik dan Pandangan Komprehensif Syariah Syariah Islam tentang Lahan)

Hanya dalam waktu singkat, DPR mengesahkan RUU Pengadaaan Lahan Untuk Pembangunan menjadi Undang-Undang. Alasan yang dikemukakan anggota dewan, undang-undang ini memberikan perlindungan kepada pemilik lahan dari pengambilalihan yang sewenang-wenang. Karena sebagaimana diketahui, konflik kepemilikan dan pengambilalihan lahan untuk pembangunan masih menjadi persoalan besar di tengah-tengah masyarakat. Dalam konflik lahan warga lebih sering menjadi korban seperti pada kasus Mesuji di Lampung dan Sumatera Selatan. Meski tidak jarang juga warga melakukan penyerobotan lahan milik pemerintah atau perusahaan.
Akan tetapi spirit membela kepentingan warga dalam UU Pengadaan Lahan patut dipertanyakan. Memang, pada bagian awal undang-undang itu disebutkan ; untuk menjamin terselenggaranya pembangunan untuk kepentingan umum, diperlukan tanah yang pengadaannya dilaksanakan dengan mengedepankan prinsip kemanusiaan, demokratis, dan adil.
Kemudian pada bagian C disebutkan: bahwa peraturan perundang-undangan di bidang pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum belum dapat menjamin perolehan tanah untuk pelaksanaan pembangunan.
Tapi semangat utama Undang-Undang ini adalah untuk kepentingan pertumbuhan ekonomi sebagaimana dinyatakan Menteri Keuangan Agus Martowardojo yang mengharapkan UU Pengadaan Tanah dapat melancarkan pembangunan proyek infrastruktur untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang direncanakan mencapai tujuh hingga 7,7 persen pada 2014 mendatang. UU tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam pembangunan sarana infrastruktur yang saat ini masih sering dipersulit karena ketiadaan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pemerintah (kompas.com, 16/12). Persoalan lahan memang dianggap pemerintah sebagai bottle neck, atau penghambat utama pembangunan infrastruktur nasional.
Lalu bagaimana dengan warga pemilik lahan? Menkeu berkilah lahan mereka akan diganti dengan harga yang wajar (idem). Benarkah demikian?
Sejumlah Pertanyaan
Siapapun yang kerap mengikuti persoalan lahan patut mencurigai keluarnya undang-undang ini. Kepada siapa undang-undang ini berpihak? Bila kita mengikuti proses penggodogan hingga lahirnya RUU ini maka jawabannya akan jelas. RUU melibatkan ADB (Asian Development Bank). Kepentingan ADB terlibat dalam perancangan UU ini jelas bisa terbaca. ADB memang secara konsisten mendorong pemerintah melakukan berbagai reformasi kebijakan untuk menguatkan peran swasta melalui skema Public Private Partnership (PPP) dan kebijakan liberalisasi, yang berdampak pada peminggiran peran masyarakat dalam pembangunan. Semangat menguntungkan swasta inilah yang tampak jelas pada UU ini.
Oleh karena itu ada sejumlah persoalan krusial yang memperlihatkan bahwa Undang-Undang ini justru ditujukan untuk membebaskan lahan milik warga dengan paksa tapi konstitusionil dan amat berpihak pada swasta.
Pertama, absurdnya pengertian kepentingan umum. Dengan UU ini pemerintah dapat lebih leluasa melakukan pengambilalihan lahan warga dengan dalih ‘kepentingan umum’ sebagaimana tercantum dalam pasal 5, 6, 7 dan 8. Dalam pasal 5 dikatakan bahwa pemilik lahan ‘berkewajiban’ melepaskan kepemilikannya untuk kepentingan umum.
Kepentingan umum itu disebutkan dalam pasal 7 mengikuti Rencana Tata Ruang Wilayah, Rencana Pembangunan Nasional/Daerah, Rencana Strategis dan Rencana Kerja setiap Instansi yang memerlukan tanah.
Unsur pemaksaan itu terasa lebih kuat lagi dalam pasal 8 yang berbunyi “Pihak yang Berhak dan pihak yang menguasai Objek Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum wajib mematuhi ketentuan dalam Undang-Undang ini.”
Kedua, menampung aspirasi swasta. Kepentingan swasta sebagai operator pembangunan infrastruktur dan pengelola bahkan pemilik fasilitas umum lebih menonjol. Misalnya, dalam pasal 10 ayat b tentang jalan tol dan ayat r mengenai lapangan parkir dan pasar umum dapat diberikan pembangunannya, pengelolaanya dan kepemilikannya kepada swasta.
Lebih jelas lagi betapa UU ini menguntungkan swasta tercantum dalam pasal 12 yang mengatakan bahwa pembangunan kepentingan umum “wajib diselenggarakan Pemerintah dan dapat bekerja sama dengan Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau Badan Usaha Swasta”.
Tidak heran keluarnya undang-undang ini disambut antusias kalangan swasta, khususnya perusahaan konstruksi yang bergerak di bidang pembangunan jalan tol. Perusahaan Bakrie melalui anak perusahaannya Bakrid Toll Road segera memulai pembangunan ruas tol seksi I Bogor-Sukabumi. Selama ini pembangunan tol Bogor-Sukabumi terkatung-katung akibat kesulitan pembebasan lahan. Keluarnya UU ini jelas memuluskan langkah mereka. Saham tol tersebut, dimiliki PT Bakrie Toll Road (60 persen), BUMD Jawa Barat PT Jasa Sarana (25 persen), dan PT Bukaka Teknik Utama (15 persen). Total investasi untuk seluruh ruas Ciawi-Sukabumi diperkirakan Rp 7,8 trilhun (kompas.com, 16/12).
Demikian pula pembangunan pasar modern/mall dapat dengan mudah direalisasikan dengan dalih nilai strategisnya bagi umum. Padahal kita tahu siapa sebenarnya yang lebih diuntungkan dengan berdirinya mall. Yang jelas dimatikan adalah pasar-pasar tradisional.
Wajar bila pemerintah dan kalangan swasta terkait amat berkepentingan menggolkan RUU ini. Kedua pihak itulah yang sejauh ini sering merugikan warga dalam kasus pengalihan kepemilikan lahan. Berdasarkan catatan akhir tahun YLBHI di 15 kantor Lembaga Bantuan Hukum pada 2010, YLBHI telah menangani 3.406 kasus konflik agraria yang melibatkan pemegang tampuk kekuasaan (negara) dan pemilik modal (swasta).
Ketiga, ganti rugi yang berpotensi benar-benar merugikan pemilik lahan. Bila pemerintah berkilah bahwa UU Pengadaan Lahan ini dapat melindungi lahan miliki warga, hal yang sebaliknya justru dapat terjadi. Dengan UU ini pemerintah dapat mengambil alih lahan warga secara ‘paksa’, karena UU ini mengikat dan menuntut siapa saja yang tidak mau melepas tanahnya.
Berdasarkan pasal 31 yang membahas penilaian kerugian maka Lembaga Pertanahan menetapkan Penilai untuk menetapkan nilai ganti rugi atas lahan. Selanjutnya dalam pasal 34 dinyatakan bahwa Penilaian atas ganti rugi itu menjadi dasar penetapan musyawarah pemberian ganti rugi. Dan bila terjadi perselisihan maka pengadilan yang akan memutuskan nilai ganti rugi tersebut. Hal ini menunjukkan pemilik lahan tidak memiliki posisi tawar dikarenakan ketetapan harga lahan telah diputuskan oleh Penilai. Apakah ada jaminan bahwa Penilai ini akan independen?
Hal ini rawan merugikan pemilik lahan. Sebagaimana kita ketahui, kasus konflik lahan antar warga dengan pemerintah ataupun dengan swasta jarang dimenangkan oleh warga. Ditambah lagi sebagaimana tercantum dalam pasal 41 penerima ganti rugi disyaratkan memiliki bukti kepemilikan. Padahal saat ini warga masih kesulitan untuk mendapatkan surat kepemilikan lahan akibat birokrasi agraria yang memang menyulitkan warga. Ditambah lagi banyak ditemui sertifikat ganda dalam kepemilikan lahan. Bila terjadi seperti ini maka bagaimana nasib rakyat?
Lebih unik lagi, pemerintah dan swasta bisa menghindar dari pemberian ganti rugi berupa uang atau lahan lain. Karena UU ini juga menetapkan ganti rugi bisa dalam bentuk lain seperti kepemilikan saham. Maka semakin lengkaplah potensi kerugian yang bakal diderita rakyat bila lahannya akan diambil alih untuk ‘kepentingan umum’.
Mengancam Ketahanan Pangan
Selain persoalan ganti rugi dan kepemilikan lahan yang terancam, UU Pengadaan Lahan juga mengancam kelangsungan masa depan bangsa ini, yakni ketahanan pangan. Dengan dalih Kepentingan Umum pemerintah dapat mengubah lahan pertanian menjadi berbagai bangunan pemerintah ataupun swasta. Padahal, negeri ini hingga sekarang masih menjadi importir beras terbesar ketiga di dunia.
Akibatnya pemerintah akan menyediakan beras dengan cara mengimpornya atau membelinya dari perkebunan perusahaan besar. Kedua cara ini mengancam ketahanan pangan masyarakat. Karena swasta yang kemudian menguasai perkebunan besar ataupun para importir beras akan menekan pemerintah untuk membeli beras dengan harga semau mereka.
Hal ini sudah terbukti pada kasus perkebunan kelapa sawit dan pabrik minyaknya. Banyaknya perusahaan perkebunan kelapa sawit dan pabrik CPO tidak membuat harga minyak goreng menjadi murah. Justru sebaliknya, mereka menekan pemerintah untuk membeli CPO dengan harga semau mereka. Bila tidak, swasta memilih untuk mengekspor CPO ketimbang menjual ke dalam negeri.
Pandangan Islam
Tanah adalah termasuk harta yang boleh dimiliki individu dalam pandangan Islam. Kepemilikannya juga terbilang mudah. Siapa saja yang mematok lahan tak bertuan (tanah mati) lalu menghidupkannya maka serta merta tanah itu menjadi miliknya. Sabda Nabi saw.:
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ
“Siapa yang mematok sebidang tanah maka tanah itu miliknya,”(HR. Ahmad, Thabrani, Abu Daud, Bayhaqi)
Juga sabdanya yang lain:
مَنْ أَعْمَرَ أَرْضًا لَيْسَتْ لِأَحَدٍ ، فَهُوَ أَحَقُّ
“Siapa yang mengelola sebidang tanah yang tidak ada pemiliknya seorangpun, maka ia lebih berhak (memilikinya)”(HR. Bukhari).
Kepemilikan lahan itu juga disyaratkan adanya pengelolaan seperti menanaminya, membersihkan lahannya, membangun bangunan di atasnya seperti rumah, kantor, peternakan, dsb. Bila dalam jangka waktu 3 tahun tidak dikelola, maka berarti ia telah menelantarkan tanah tersebut dan negara berhak mengalihkan kepemilikannya kepada orang lain yang sanggup mengelolanya.
Amirul mukminin Umar bin Khaththab ra. Pernah mengalihkan kepemilikan lahan milik Bilal al-Muzni yang mendapatkan pemberian lahan dari Rasulullah saw. Umar melihat Bilal tidak menggarap tanah tersebut. Maka beliau menegurnya, “Sesungguhnya Rasulullah tidak memberimu tanah sekedar untuk kau pagari sehingga mencegah orang lain (untuk mengelolanya)….Karena itu ambil saja bagian yang dapat kau garap, dan kembalikanlah sisanya.”
Khalifah Umar juga berkata kepada kaum muslimin, “tidak ada hak setelah (menelantarkannya) selama tiga tahun.” Ini menjadi ijma sahabat sehingga hukum syara dalam kepemilikan lahan. Dalam Islam, patok tanah dan pengelolaannya yang menjadi bukti kepemilikan tanah. Adapun dalam hal pembuktian di pengadilan dibuktikan dengan adanya saksi-saksi layaknya muamalah dalam Islam.
Meski demikian bisa saja Daulah Khilafah mengambil alih kepemilikan lahan pribadi menjadi kepemilikan umum maupun negara bila ada alasan syar’iy untuk mengambilnya. Misalnya ditemukannya deposit tambang dalam jumlah besar yang membuat status tanah itu menjadi lahan pertambangan, sedangkan lahan pertambangan adalah milik umum. Hanya saja tambang ini adalah milik rakyat, tidak diberikan kepada swasta. Harus dikelola dengan baik oleh negara dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat , seperti pendidikan dan kesehatan gratis.
Demikian juga kalau masyarakat membutuhkan jalan baru yang mau tidak mau harus melewati kawasan tersebut, atau perlu waduk untuk penampungan air. Karena jalan umum dan waduk adalah hajat hidup masyarakat, maka lahan tersebut akan dialihkan kepemilikannya menjadi milik umum.
Negara juga bisa juga mengambil alih tanah tersebut untuk pembangunan sarana pemerintah seperti instansi pemerintah, laboratorium penelitian, markas militer, bila dirasa lahan tersebut memang layak dijadikan instansi pemerintah.
Tentu saja Daulah Khilafah wajib memberi kompensasi atas pengambilalihan lahan tersebut dengan harga sebagaimana kelaziman harga tanah di wilayah tersebut. Haram bagi negara membeli tanah warga dengan harga di bawah kelaziman.
Pembangunan sarana umum tersebut juga harus dikelola oleh pemerintah dan akses pemanfaataannya juga terbuka bagi umum. Bila dibangun jalan umum maka tidak boleh dikuasai swasta lalu warga harus membayar jika melewatinya, sebagaimana konsep jalan tol yang sekarang digunakan di tanah air. Bila dibangun rumah sakit maka setiap warga punya hak untuk berobat secara gratis di sana karena memang menjaga kesehatan masyarakat adalah kewajiban negara dengan tanpa memungut bayaran. Bila dibangun pertambangan maka hasil tambangnya harus diberikan kepada masyarakat; apakah dalam bentuk langsung seperti BBM dan gas atau air, atau bisa pula dalam bentuk kompensasi yang lain seperti untuk ongkos pendidikan dan kesehatan bagi seluruh warga tanpa kecuali.
Kisruh kepemilikan lahan di tanah air adalah ekses sistem kapitalisme yang melegalkan kebebasana kepemilikan. Dalam sistem ini berlaku prinsip survival of the fittest atau the might is right. Siapa yang kuat dia bertahan dan siapa yang kuat dialah yang benar. Untuk itu penguasa dan pengusaha dapat berkelindan untuk menguasai harta negara dan masyarakat. Agar terlihat elegan dan konstitusional, tidak segan-segan mereka membuat undang-undang yang melegalkan kezaliman mereka. Na’uzubillahi min dzalik. Hanya dalam naungan syariat Islam dan khilafah Islamiyah harta pribadi, umum dan negara akan terjaga dengan adil.
Hukum Komprehensif Seputar Lahan Pertanian
Syaikh Abdurrahman al-Maliki dalam As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla telah menerangkan 3 (tiga) hukum syariah terpenting yang menyangkut lahan pertanian:
(1) hukum kepemilikan lahan (milkiyah al-ardh);
(2) hukum mengelola lahan pertanian (istighlal al-ardh); dan
(3) hukum menyewakan lahan pertanian (ta‘jir al-ardh) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 59-69).
Hukum Kepemilikan Lahan
Syariah Islam telah menetapkan hukum-hukum khusus terkait lahan pertanian. Yang terpenting adalah hukum kepemilikan lahan. Bagaimanakah seorang petani dapat memiliki lahan?
Syariah Islam menjelaskan bahwa ada 6 (enam) mekanisme hukum untuk memiliki lahan:
(1) melalui jual-beli;
(2) melalui waris;
(3) melalui hibah;
(4) melalui ihya’ al-mawat (menghidupkan tanah mati);
(5) melalui tahjir (membuat batas pada suatu lahan);
(6) melalui iqtha’ (pemberian negara kepada rakyat). (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 59).
Mengenai mekanisme jual beli, waris, dan hibah, sudah jelas. Adapun Ihya’ al-Mawat adalah upaya seseorang untuk menghidupkan tanah mati (al-ardhu al-maytah). Tanah mati adalah tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh seorang pun. Upaya seseorang menghidupkan tanah mati menjadi sebab bagi dirinya untuk memiliki tanah tersebut. Menghidupkan tanah mati artinya melakukan upaya untuk menjadikan tanah itu menghasilkan manfaat seperti bercocok tanam, menanam pohon, membangun bangunan dan sebagainya di atas tanah itu. Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya (HR al-Bukhari).
Tahjir artinya adalah membuat batas pada suatu bidang tanah dengan batas-batas tertentu, misalnya dengan meletakkan batu, membangun pagar, dan yang semisalnya di atas tanah tersebut. Sama dengan Ihya’ al-Mawat, aktivitas Tahjir juga dilakukan pada tanah mati. Aktivitas Tahjir menjadikan tanah yang dibatasi/dipagari itu sebagai hak milik bagi yang melakukan Tahjir. Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
مَنْ أَحَاطَ حَائِطًا عَلَى أَرْضٍ فَهِيَ لَهُ
Siapa saja memasang batas pada suatu tanah maka tanah itu menjadi miliknya (HR Ahmad, Thabrani, dan Abu Dawud). (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm. 72).
Adapun Iqtha’ adalah kebijakan Khilafah memberikan tanah milik negara kepada rakyat secara gratis. Tanah ini merupakan tanah yang sudah pernah dihidupkan, misalnya pernah ditanami, tetapi karena suatu hal tanah itu tidak ada lagi pemiliknya. Tanah seperti ini menjadi tanah milik negara (milkiyah al-dawlah), bukan tanah mati (al-ardhu al-maytah) sehingga tidak dapat dimiliki dengan cara Ihya’ al-Mawat atau Tahjir. Tanah seperti ini tidak dapat dimiliki individu rakyat, kecuali melalui mekanisme pemberian (Iqtha’) oleh negara. Rasulullah saw. pernah memberikan sebidang tanah kepada Abu Bakar dan Umar. Ini menunjukkan negara boleh dan mempunyai hak untuk memberikan tanah milik negara kepada rakyatnya. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 60).
Hukum Mengelola Lahan Pertanian
Syariah Islam mewajibkan para pemilik lahan untuk mengelola tanah mereka agar produktif. Artinya, kepemilikan identik dengan produktivitas. Prinsipnya, memiliki berarti berproduksi (man yamliku yuntiju). Jadi, pengelolaan lahan adalah bagian integral dari kepemilikan lahan itu sendiri (Abdurrahman al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 61).
Maka dari itu, syariah Islam tidak membenarkan orang memiliki lahan tetapi lahannya tidak produktif. Islam menetapkan siapa saja yang menelantarkan lahan pertanian miliknya selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, maka hak kepemilikannya gugur. Pada suatu saat Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. berbicara di atas mimbar:
مَنْ أَحْيَا أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ، وَلَيْسَ لِمُحْتَجِرٍ حَقٌ بَعْدَ ثَلاَثَ سِنِيْنَ
Siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka tanah itu menjadi miliknya. Orang yang melakukan tahjir tidak mempunyai hak lagi atas tanahnya setelah tiga tahun (tanah itu terlantar) (Disebut oleh Abu Yusuf dalam kitab Al-Kharaj. Lihat Muqaddimah Al-Dustur, II/45).
Pidato Umar bin al-Khaththab itu didengar oleh para Sahabat dan tidak ada seorang pun dari mereka yang mengingkarinya. Maka dari itu, terdapat Ijmak Sahabat bahwa hak milik orang yang melakukan Tahjir (memasang batas pada sebidang tanah) gugur jika dia menelantarkan tanahnya tiga tahun.
Tanah yang ditelantarkan tiga tahun itu selanjutnya akan diambil-alih secara paksa oleh negara untuk diberikan kepada orang lain yang mampu mengelola tanah itu. Dalam kitab Al-Amwal, Imam Abu Ubaid menuturkan riwayat dari Bilal bin Al-Haris Al-Muzni, yang berkata: Rasulullah saw. pernah memberikan kepada dirinya [Bilal] tanah di wilayah Al-Aqiq semuanya. Dia berkata, “Lalu pada masa Umar, berkatalah Umar kepada Bilal, ‘Sesungguhnya Rasulullah saw. tidak memberikan tanah itu agar kamu membatasinya dari orang-orang. Namun, Rasulullah saw. memberikan tanah itu untuk kamu kelola. Maka dari itu, ambillah dari tanah itu yang mampu kamu kelola dan kembalikan sisanya.’” (Lihat Athif Abu Zaid Sulaiman Ali, Ihya’ al-Aradhi al-Mawat fi al-Islam, hlm. 73).
Gugurnya hak milik ini tidak terbatas pada tanah yang dimiliki lewat Tahjir, tapi dapat di-qiyas-kan juga pada tanah-tanah yang dimiliki melalui cara-cara lain, seperti jual-beli atau waris. Hal itu karena gugurnya hak milik orang yang melakukan Tahjir didasarkan pada suatu ‘illat (alasan hukum), yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). Maka dari itu, berdasarkan Qiyas, tanah-tanah pertanian yang dimiliki dengan cara lain seperti jual beli dan waris, juga gugur hak miliknya selama terdapat ‘illat yang sama pada tanah itu, yaitu penelantaran tanah (ta’thil al-ardh). (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 140).
Hukum Menyewakan Lahan Pertanian
Akad mdnyewakan lahan pertanian (ta‘jir al-ardh) dalam fikih disebut dengan istilah Muzara’ah atau Mukhabarah. Para ulama berbeda pendapat mengenai boleh-tidaknya akad tersebut. Namun, pendapat yang rajih (kuat) adalah yang mengharamkannya (Pen-tarjih-an dalil yang rinci dapat dilihat dalam kitab Muqaddimah ad-Dustur, II/46-63).
Dalam hadis sahih riwayat Imam Muslim disebutkan:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُؤْخَذَ ِللأَرْضِ أَجْرٌ أَوْ حَظٌّ
Rasulullah saw. telah melarang untuk mengambil upah atau bagi hasil dari lahan pertanian (HR Muslim).

Hadis ini dengan jelas mengharamkan akad menyewakan lahan pertanian secara mutlak, baik tanah ‘Usyriyah maupun tanah Kharajiyah, baik tanah itu disewakan dengan imbalan uang, imbalan barang, atau dengan cara bagi hasil (Jawa: maro) (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 68).
Namun, yang diharamkan adalah menyewakan lahan pertanian untuk keperluan bercocok tanam saja (li az-zira’ah), misalnya untuk ditanami padi atau jagung. Adapun jika menyewakan lahan pertanian bukan untuk bercocok tanam, hukumnya boleh, misalnya untuk dijadikan kandang ternak, gudang, tempat peristirahatan, dan sebagainya. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm.143).
Kebijakan Pertanian dalam Islam
Selain hukum-hukum seputar lahan di atas, Islam juga telah menggariskan kebijakan pertanian (as-siyasah az-zira’iyyah), yaitu sekumpulan kebijakan negara yang bertujuan untuk meningkatkan produktivitas pertanian (al-intaj az-zira’i) dan meningkatkan kualitas produksi pertanian. (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 185-190).
Kebijakan pertanian ini secara garis besar ditempuh dengan dua metode.Pertama: intensifikasi (at-ta’miq), misalnya dengan menggunakan pembasmi hama, teknologi pertanian modern, atau bibit unggul. Intensifikasi ini sepenuhnya akan dibantu oleh negara. Negara akan memberikan (bukan meminjamkan) hartanya kepada para petani yang tidak mampu agar petani mampu membeli segala sarana dan teknologi pertanian untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Ini sebagaimana yang pernah dilakukan Khalifah Umar bin al-Khaththab ra. yang memberikan sarana produksi pertanian kepada para petani Irak untuk mengelola tanah pertanian mereka. (Taqiyuddin An-Nabhani, An-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 119).
Kedua: ekstensifikasi (at-tawsi’). Ini ditempuh antara lain dengan menerapkan Ihya’ al-Mawat, Tahjir dan Iqtha’ (memberikan tanah milik negara). Negara juga akan mengambil alih secara paksa lahan-lahan pertanian yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun.
Syaikh Abdurrahman al-Maliki juga menegaskan, selain dengan intensifikasi dan ekstensifikasi di atas, kebijakan pertanian juga harus bebas dari segala intervensi dan dominasi asing, khususnya dominasi negara-negara Barat imperialis (Abdurrahman Al-Maliki, As-Siyasah al-Iqtishadiyah al-Mutsla, hlm. 187).
Penutup
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian di atas diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, misalnya, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum Ihya’ al-Mawat. Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme Ihya’ al-Mawat; atau dapat pula dengan menerapkan hukum Iqtha’, yaitu negara memberikan tanah miliknya kepada rakyat. Dari mana negara memperoleh lahan ini? Negara memiliki tanah dari lahan-lahan tidur yang ditelantarkan pemiliknya selama tiga tahun berturut-turut. Negara akan mengambil-alih lahan-lahan tidur yang terlantar itu secara paksa, lalu lahan-lahan itu diberikan secara gratis kepada petani yang mampu mengelolanya. Negara pun akan membantu petani jika mereka tidak mampu mengelolanya.
Penting untuk mengatasi cengkeraman asing dalam dunia pertanian di Indonesia. Selama 20 tahun terakhir (sejak 1990-an), pemerintah RI telah mengadopsi kebijakan pangan ala neo-liberal yang sangat pro pasar bebas (free-market). Dengan kata lain, kebijakan itu tidak pro-petani atau pro-rakyat, melainkan pro-kapitalis (imperialis). Kebijakan yang didiktekan IMF dan Bank Dunia itu pada faktanya sangat destruktif; antara lain: penghapusan dan atau pengurangan subsidi, penurunan tarif impor komoditi pangan yang merupakan bahan pokok (beras, terigu, gula, dll.)+ dan pengurangan peran Pemerintah dalam perdagangan bahan pangan (contohnya mengubah BULOG dari lembaga pemerintah non-departemen menjadi perusahaan umum yang dimiliki pemerintah).
Cengkeraman asing ini harus disikapi dengan tegas berdasarkan kebijakan pertanian dalam Islam di atas. Kebijakan pertanian yang pro-kapitalis itu wajib dihentikan secara total, untuk selanjutnya diganti dengan kebijakan pertanian islami berdasarkan syariah Islam semata. WalLahu a’lam. (Iwan Januar-LS HTI)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.