Header Ads

John Key dan Pandemi Premanisme di Indonesia

Oleh: Ali Mustofa
Penulis adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)

Akhirnya John Key sang Gengster harus menerima pil pahit ketika kaki kanannya disasar peluru dari moncong senapan seorang aparat kepolisian. Polisi menangkap John Key karena terkait kasus pembunuhan bos PT Sanex Steel Indonesia, Tan Harry Tantono di sebuah sofa kamar Hotel Swiss-belhotel, Sawah Besar, Jakarta Pusat, pada Kamis 26 Januari 2012 malam. (vivanews 18/02). Selain terjerat kasus pembunuhan, salah satu penguasa bawah tanah di Jakarata ini juga terjerat kasus Narkoba.


Kajadian ini kembali membuka mata publik akan pandemi premanisme di Indonesia. Premanisme memang acapkali menimbulkan keresahan ditengah-tengah masyarakat. Suatu hal yang sejatinya tidak hanya terjadi di kota besar seperti di Jakarta, melainkan marak pula di pelosok-pelosok desa. Namun bedanya kalau di Jakarta kasus premanisme telah memiliki nilai historis yang begitu panjang dan tampak lebih dahsyat.

Perhatian utama dari sejarah sosial ini ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungannya (alamiah atau sosial) dan dengan tetangga.(Agus Mulyana, Suatu Tinjauan Historiografi).

Menurut E.J Habsbown, kelahiran kelompok bandit (preman. pen) ini, khususnya di Jakarta tidak lepas dari proses sejarah kota Jakarta itu sendiri sebagai kotanya kaum pendatang. (Gejolak Revolusi di Jakarta 1945-1949 Pergulatan Antara Otonomi dan Hegemon, penerbit Grafiti).

Peta Premanisme sendiri sebagaimana di tulis Jerome Tedie (2009), dibagi menjadi sekitar 15 etnik kesukuan, diantaranya ialah Batak, Palembang, Padang, Banten, Demak, Jepara, Surabaya, Madura, Makasar, Maluku, dan Papua. Pun memiliki spesialisasi masing-masing yakni ada yang spesialis pencuri atau pencopet, menodong dan menjambret, menipu, dan tukang pukul. (Wilayah kekerasan di Jakarta, Jerome Tedie)

Secara definitif, preman memiliki beberapa arti, dalam kamus Wikipedia, kata preman berasal dari bahasa Belanda vrijman = orang bebas, merdeka dan isme = aliran. sebutan pejoratif yang sering digunakan untuk merujuk kepada kegiatan sekelompok orang yang mendapatkan penghasilannya terutama dari pemerasan kelompok masyarakat lain. Di dalam kamus Bahasa Indonesia, preman salah satunya diartikan sebagai orang jahat (yang suka memeras dan melakukan kejahatan).

Terminologi Premanisme sendiri pada dewasa ini semakin komplek, seperti halnya premanisme hukum yakni orang yang memperalat atau mempermainkan hukum, premanisme politik yakni pihak yang memperalat atau melakukan kejahatan politik untuk kepentingan dirinya atau golongannya, dll.

Olehnya dapat disimpulkan bahwa preman telah memiliki definisi yang khas sebagaimana pemaparan di atas. Pelaku kekerasan tidak semuanya bisa disebut preman, sehingga jelas tidak tepat semisal teman-teman di FPI ada yang memberi label sebagai preman berkalung surban.

Penyebab

Setidaknya ada beberapa penyebab kenapa premanisme begitu marak, diantaranya ialah: Pertama: Minim Iman. Ketika manusia Imannya lemah, maka sudah otomatis membuatnya merasa bebas tanpa aturan, sehingga sangat tipis sekali benteng pelindung dalam dirinya untuk tidak berbuat kejahatan.

Kedua: Faktor Ekonomi. Tersirat bahwasanya faktor ini menjadi salah satu pemicu utama kenapa orang memilih menjadi preman. Sulitnya mencari lapangan perkerjaan karena gagalnya pemerintah menciptakan lapangan pekerjaan yang merata seringkali menjadi dalih kenapa dirinya harus menjadi preman. Begitulah, jalan pintas luar track akhirnya menjadi pilihan mereka.

Ketiga: Ketidaksigapan penguasa. Sebagaimana menurut Kartodirdjo (1984), Bandit sosial (preman. pen) adalah sebagai suatu struktur tipe kepemimpinan sosial yang secara wajar muncul dalam celah-celah ruang sosial dimana penguasa tidak dapat melakukan pengawasan.

Padahal Rasul Saw telah bersabda: “Seorang imam adalah penggembala dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Keempat: Lemahnya sistem negara. Sistem sekulerisme-demokrasi yang diterapkan di negri ini benar-benar telah menumbuh suburkan premanisme. Tercermin dari data naiknya angka kriminalitas dan menjamurnya kelompok-kelompok preman yang ada, baik kelompok yang terdata atau tidak, di desa maupun di kota.

Di Jakarta, data per September 2011 menunjukkan tindak pencurian dengan pemberatan terjadi sebanyak 5.211 kali. Berarti 19 kasus terjadi dalam sehari, lebih banyak ketimbang 2010 yang dalam sehari bisa terjadi 16-17 kasus (kabarjakarta.com, 02/11/11). Sementara di Jateng, sebagaimana dikutip tvku.tv, Kapolda Jawa Tengah mengungkapkan terjadi 19 Ribu 662 Kasus Kejahatan di tahun 2011. Angka tersebut naik sebesar 15 persen dari Tahun 2010. Sistem ini tidak mampu memberikan efek jera bagi pelaku kriminal.

Butuh Syariah

Karena itu, problem premanisme harus mendapat perhatian serius dari seluruh stakeholder. Preman juga manusia yang tentu menjadi bagian obyek dakwah. Di era sekarang ini, dakwh dapat ditempuh dengan menggunakan banyak cara dan wasilah. Dakwah dapat dilakukan oleh Individu, kelompok, maupun Negara.

Sekeras apapun mereka, bukan mustahil hatinya niscaya dapat tersentuh apabila disentuh dengan akidah Islam, dengan ijin Allah. Sebagai misal di zaman Nabi, adalah mantan preman Arab sekaliber Umar Bin Al-Khatab pun akhirnya menjadi pribadi mulia ketika menerima bimbingan Islam. Pun demikian di zaman sekarang ini, seperti halnya Anton Medan, saat mengisi sebuah acara bertajuk “neo demokrazi” di metrotv, Kamis malam (24/02), mantan preman ini mengungkapkan akhirnya ia memilih jalan hidup baru setelah mendapat teguran dari istrinya supaya bertobat saat di Nusa Kambangan. Pula beberapa teman dari penulis yang Alhamdulillah telah meninggalkan dunia hitam tersebut.

Namun, sejatinya negaralah yang memiliki peran sentral dalam menanggulangi premanisme. Sistem sekulerisme-demokrasi seharusnya sudah tidak dijadikan lagi sebagai pedoman. Premanisme merupakan problem sistemik, maka perlu solusi sistemik yakni bagaimana Negara harus menciptakan situasi politik, ekonomi, sosial, budaya yang kondusif, yang tidak memicu lahirnya premanisme.

Diantaranya ialah menciptakan lapangan pekerjaan yang merata, membangun sistem pendidikan yang berbasis keimanan, menerapkan sistem peradilan peradilan yang eleghant agar dapat menekan angka kejahatan dan premanisme, dst. Semua itu dapat terlaksana jika negara mau untuk untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam bingkai khilafah. Jika tidak mau, maka harus ganti rezim dan ganti sistem. Wallahu a’lam.


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.