Mengajak Anak Dalam Aksi Unjuk Rasa, Mengapa Tidak?
Oleh Wiwing
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
“Ibu-ibu Unjuk Rasa Dengan Membawa Anak-anak.” Topik ini tiba-tiba menjadi berita hangat di berbagai media online (kamis 22/3). Unjuk rasa yang dilakukan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia serentak di 30 kota besar di Indonesia ini memang terasa “istimewa” . Karena unjuk rasa menolak kenaikan BBM ini melibatkan ibu-ibu dengan membawa anak-anak , dan dilakukan dengan sangat tertib, santun juga sangat jauh dari aroma kekerasan. Berbeda sekali dengan unjuk rasa serupa yang marak di berbagai daerah, yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa, didominasi kaum pria dan tak jarang diwarnai dengan kekerasan, bentrokan, penangkapan aktivis mahasiswa dan lain-lain.
Banyak ibu yang akan menjadi korban dari rencana pemerintah menaikkan harga BBM 1 April mendatang. Merekalah yang paling bingung bagaimana mengatur agar semua kebutuhan rumah tangga terbeli sementara penghasilan pas-pasan, sedangkan harga-harga pasti akan membumbung tinggi dengan naiknya harga BBM. Karena itu, sah-sah saja jika kaum ibu ini menuntut haknya, dan mengingatkan para penguasa agar kembali ke jalan Allah, mau mengatur urusan rakyatnya dengan hukum-hukum Allah dan membatalkan rencana menaikkan harga BBM yang jelas-jelas merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Mengapa para ibu ini membawa anak-anak mereka bahkan ada yang masih balita? Tentu ini memiliki maksud. Bukan mengajarkan kebencian dan kemarahan kepada penguasa, tetapi memberikan pengajaran kepada anak sejak dini untuk peduli dengan kondisi kaum muslimin. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Dan barang siapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR. Ath-Thabari). Kaum muslimin negeri ini sedang dalam keadaan terdzalimi karena kebijakan penguasa yang akan menaikkan harga BBM. Keadaan inilah yang harus diubah dan menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin negeri ini untuk mengubahnya. Menyeru penguasa untuk menerapkan syariat dan menegakkan khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi berbagai masalah negeri ini bukanlah karena kebencian ataupu kemarahan, melainkan sebagai bentuk kepedulian dan amar ma’ruf nahi munkar
Melibatkan anak dalam aksi peduli umat dan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa adalah sebuah proses membentuk generasi pejuang Islam. Yaitu generasi yang tak hanya kokoh akidah dan taat syariat, tapi juga generasi yang senantiasa memperjuangkan tegaknya hukum-hukum (syariat) Allah di muka bumi ini. Kita bisa berkaca pada sejarah. Pemuda-pemuda Islam di masa kejayaan Islam dahulu adalah para pemuda yang menghabiskan waktu, tenaga , pikiran dan semuanya hanya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Lihatlah Ali bin Abi Thalib yang masuk Islam dan berjuang bersama Rasulullah dalam usianya yang sangat muda yaitu 8 (delapan) tahun. Di masa itu, berislam tak semudah sekarang. Ali masuk Islam harus dengan sembunyi-sembunyi. Demikian juga untuk menjalankan syariat dan berdakwah bersama Rasul saw, berbagai ancaman harus dihadapinya bahkan terkadang nyawa menjadi taruhannya.
Sejarah juga mencatat, sosok pemuda yang sangat gagah berani yaitu Usamah bin Zaid, yang menjadi pemimpin pasukan di usianya yang masih sangat belia yaitu 18 tahun. Ketika itu banyak shahabat Rasul SAW yang jauh lebih senior mempermasalahkan kepemimpinannya mengingat usianya yang masih sangat muda. Tapi Rasul SAW tetap menunjuknya sebagai pemimpin pasukan. Subhanallah. Sejarah juga mengajak kita merenungkan, bagaimana caranya mencetak anak menjadi sosok pemimpin seperti Muhammad Al Fatih. Di usianya yang baru berusia 24 tahun, telah memimpin 250.000 pasukan menaklukkan benteng Konstantinopel, padahal benteng ini tak pernah bisa ditaklukkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun. Keberhasilan para pemuda ini adalah buah dari pendidikan orang tuanya yang tentu dilakukan sejak mereka masih anak-anak. Bagaimana dengan kondisi para pemuda saat ini? Apa yang sudah mereka raih di usia 18 tahun? Mungkin di antara mereka hanya sibuk belajar, sibuk mengikuti lomba sana sini, bahkan banyak yang hanya nongkrong di mall-mall, nonton bioskop atau sibuk pacaran, main game on line dan lain-lain? Adakah di antara mereka yang peduli dengan kondisi kaum muslimin? Mungkin ada…tapi hanya SEDIKIT. Inilah buah dari pendidikan sekuler dan kapilatistik yang diajarkan kepada mereka sejak kecil.
Mengajak anak ikut aktivitas fisik semisal unjuk rasa, sama sekali tidak mengeksploitasi anak. Mengikuti sebuah aksi unjuk rasa non kekerasan adalah momen penting untuk pembelajaran anak. Mereka bisa melihat secara langsung dan juga merasakan bagaimana sulitnya berjuang itu. Sejak dari rumah, anak sudah melihat bagaimana ibunya sibuk mempersiapkan bekal untuk ikut aksi. Kemudian ketika aksi, sang ibu rela berpanas-panasan dan berjalan kaki menggendongnya mengikuti barisan para pejuang Islam lainnya, bahkan terkadang harus setengah berlari ketika tertinggal dari barisan. Anak akan melihat dan membandingkan bahwa ibunya telah mencurahkan tenaga, pikiran, waktu juga harta untuk memperjuangkan nasib kaum muslimin dan tegaknya hukum-hukum Allah, sedangkan mungkin ibu dan anak-anak yang lainnya sibuk jalan-jalan ke tempat-tempat rekreasi, belanja dan bersenang-senang. Ini adalah bekal berharga yang akan membentuk pola pikir dan perilaku anak kelak ketika sudah dewasa. Membentuknya menjadi sosok pribadi yang kokoh iman, taat syariah, dan pejuang islam.
Mengikuti aksi unjuk rasa bersama ibu, sama sekali tidak membahayakan anak karena sang ibu pasti sudah mempertimbangkan kondisi fisik anak. Ibu akan membawa anak jika kondisi badan mereka sehat. Ibu juga akan mempersiapkan segala sesuatu dengan matang misalnya membawa payung atau topi, bekal makanan dan mninuman yang cukup, selalu memperhatikan dan mengawasi anak selama aksi, tidak memaksakan diri jika ternyata kondisi fisik anak tak memungkinkan dan lain-lain. Dan memang faktanya kita pun bisa melihat, bahwa dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, anak-anak terlihat sangat ceria. Satu dua mungkin ada yang menangis tapi wajar namanya juga anak-anak. Mereka tampak sangat bersemangat sebagaimana ibunya. Sangat jauh dari praduga sebagian orang yang mengklaim bahwa unjuk rasa membawa anak adalah mengeksploitasi anak. Dan yang harus digaris bawahi, unjuk rasa yang dilakukan oleh kaum ibu dan anak ini sangat jauh dari bayangan sebagian besar orang yang mengidentikkan unjuk rasa dengan aksi kekerasan. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa aksi ini mengajarkan kekerasan kepada anak? Dari pada menghujat kaum ibu yang sudah bersusah payah membawa anaknya demi memperjuangkan nasib rakyat negeri ini, mengapa tidak menghujat saja para penguasa yang telah menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mengajak anak dalam aksi unjuk rasa, mengapa tidak?(WN) [HTIPress/al-khilafah.org]
(Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia)
“Ibu-ibu Unjuk Rasa Dengan Membawa Anak-anak.” Topik ini tiba-tiba menjadi berita hangat di berbagai media online (kamis 22/3). Unjuk rasa yang dilakukan oleh Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia serentak di 30 kota besar di Indonesia ini memang terasa “istimewa” . Karena unjuk rasa menolak kenaikan BBM ini melibatkan ibu-ibu dengan membawa anak-anak , dan dilakukan dengan sangat tertib, santun juga sangat jauh dari aroma kekerasan. Berbeda sekali dengan unjuk rasa serupa yang marak di berbagai daerah, yang umumnya dilakukan oleh mahasiswa, didominasi kaum pria dan tak jarang diwarnai dengan kekerasan, bentrokan, penangkapan aktivis mahasiswa dan lain-lain.
Banyak ibu yang akan menjadi korban dari rencana pemerintah menaikkan harga BBM 1 April mendatang. Merekalah yang paling bingung bagaimana mengatur agar semua kebutuhan rumah tangga terbeli sementara penghasilan pas-pasan, sedangkan harga-harga pasti akan membumbung tinggi dengan naiknya harga BBM. Karena itu, sah-sah saja jika kaum ibu ini menuntut haknya, dan mengingatkan para penguasa agar kembali ke jalan Allah, mau mengatur urusan rakyatnya dengan hukum-hukum Allah dan membatalkan rencana menaikkan harga BBM yang jelas-jelas merugikan dan menyengsarakan rakyat.
Mengapa para ibu ini membawa anak-anak mereka bahkan ada yang masih balita? Tentu ini memiliki maksud. Bukan mengajarkan kebencian dan kemarahan kepada penguasa, tetapi memberikan pengajaran kepada anak sejak dini untuk peduli dengan kondisi kaum muslimin. Sebagaimana disebutkan dalam sebuah riwayat bahwasanya Rasulullah SAW bersabda “Dan barang siapa bangun pada pagi hari tidak memperhatikan urusan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk golongan mereka (kaum muslimin)” (HR. Ath-Thabari). Kaum muslimin negeri ini sedang dalam keadaan terdzalimi karena kebijakan penguasa yang akan menaikkan harga BBM. Keadaan inilah yang harus diubah dan menjadi tanggung jawab seluruh kaum muslimin negeri ini untuk mengubahnya. Menyeru penguasa untuk menerapkan syariat dan menegakkan khilafah sebagai satu-satunya solusi bagi berbagai masalah negeri ini bukanlah karena kebencian ataupu kemarahan, melainkan sebagai bentuk kepedulian dan amar ma’ruf nahi munkar
Melibatkan anak dalam aksi peduli umat dan amar ma’ruf nahi munkar kepada penguasa adalah sebuah proses membentuk generasi pejuang Islam. Yaitu generasi yang tak hanya kokoh akidah dan taat syariat, tapi juga generasi yang senantiasa memperjuangkan tegaknya hukum-hukum (syariat) Allah di muka bumi ini. Kita bisa berkaca pada sejarah. Pemuda-pemuda Islam di masa kejayaan Islam dahulu adalah para pemuda yang menghabiskan waktu, tenaga , pikiran dan semuanya hanya untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin. Lihatlah Ali bin Abi Thalib yang masuk Islam dan berjuang bersama Rasulullah dalam usianya yang sangat muda yaitu 8 (delapan) tahun. Di masa itu, berislam tak semudah sekarang. Ali masuk Islam harus dengan sembunyi-sembunyi. Demikian juga untuk menjalankan syariat dan berdakwah bersama Rasul saw, berbagai ancaman harus dihadapinya bahkan terkadang nyawa menjadi taruhannya.
Sejarah juga mencatat, sosok pemuda yang sangat gagah berani yaitu Usamah bin Zaid, yang menjadi pemimpin pasukan di usianya yang masih sangat belia yaitu 18 tahun. Ketika itu banyak shahabat Rasul SAW yang jauh lebih senior mempermasalahkan kepemimpinannya mengingat usianya yang masih sangat muda. Tapi Rasul SAW tetap menunjuknya sebagai pemimpin pasukan. Subhanallah. Sejarah juga mengajak kita merenungkan, bagaimana caranya mencetak anak menjadi sosok pemimpin seperti Muhammad Al Fatih. Di usianya yang baru berusia 24 tahun, telah memimpin 250.000 pasukan menaklukkan benteng Konstantinopel, padahal benteng ini tak pernah bisa ditaklukkan oleh kaum muslimin selama ratusan tahun. Keberhasilan para pemuda ini adalah buah dari pendidikan orang tuanya yang tentu dilakukan sejak mereka masih anak-anak. Bagaimana dengan kondisi para pemuda saat ini? Apa yang sudah mereka raih di usia 18 tahun? Mungkin di antara mereka hanya sibuk belajar, sibuk mengikuti lomba sana sini, bahkan banyak yang hanya nongkrong di mall-mall, nonton bioskop atau sibuk pacaran, main game on line dan lain-lain? Adakah di antara mereka yang peduli dengan kondisi kaum muslimin? Mungkin ada…tapi hanya SEDIKIT. Inilah buah dari pendidikan sekuler dan kapilatistik yang diajarkan kepada mereka sejak kecil.
Mengajak anak ikut aktivitas fisik semisal unjuk rasa, sama sekali tidak mengeksploitasi anak. Mengikuti sebuah aksi unjuk rasa non kekerasan adalah momen penting untuk pembelajaran anak. Mereka bisa melihat secara langsung dan juga merasakan bagaimana sulitnya berjuang itu. Sejak dari rumah, anak sudah melihat bagaimana ibunya sibuk mempersiapkan bekal untuk ikut aksi. Kemudian ketika aksi, sang ibu rela berpanas-panasan dan berjalan kaki menggendongnya mengikuti barisan para pejuang Islam lainnya, bahkan terkadang harus setengah berlari ketika tertinggal dari barisan. Anak akan melihat dan membandingkan bahwa ibunya telah mencurahkan tenaga, pikiran, waktu juga harta untuk memperjuangkan nasib kaum muslimin dan tegaknya hukum-hukum Allah, sedangkan mungkin ibu dan anak-anak yang lainnya sibuk jalan-jalan ke tempat-tempat rekreasi, belanja dan bersenang-senang. Ini adalah bekal berharga yang akan membentuk pola pikir dan perilaku anak kelak ketika sudah dewasa. Membentuknya menjadi sosok pribadi yang kokoh iman, taat syariah, dan pejuang islam.
Mengikuti aksi unjuk rasa bersama ibu, sama sekali tidak membahayakan anak karena sang ibu pasti sudah mempertimbangkan kondisi fisik anak. Ibu akan membawa anak jika kondisi badan mereka sehat. Ibu juga akan mempersiapkan segala sesuatu dengan matang misalnya membawa payung atau topi, bekal makanan dan mninuman yang cukup, selalu memperhatikan dan mengawasi anak selama aksi, tidak memaksakan diri jika ternyata kondisi fisik anak tak memungkinkan dan lain-lain. Dan memang faktanya kita pun bisa melihat, bahwa dalam berbagai aksi yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, anak-anak terlihat sangat ceria. Satu dua mungkin ada yang menangis tapi wajar namanya juga anak-anak. Mereka tampak sangat bersemangat sebagaimana ibunya. Sangat jauh dari praduga sebagian orang yang mengklaim bahwa unjuk rasa membawa anak adalah mengeksploitasi anak. Dan yang harus digaris bawahi, unjuk rasa yang dilakukan oleh kaum ibu dan anak ini sangat jauh dari bayangan sebagian besar orang yang mengidentikkan unjuk rasa dengan aksi kekerasan. Lalu bagaimana bisa dikatakan bahwa aksi ini mengajarkan kekerasan kepada anak? Dari pada menghujat kaum ibu yang sudah bersusah payah membawa anaknya demi memperjuangkan nasib rakyat negeri ini, mengapa tidak menghujat saja para penguasa yang telah menyengsarakan rakyatnya sendiri. Mengajak anak dalam aksi unjuk rasa, mengapa tidak?(WN) [HTIPress/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar