Header Ads

Pencabutan Subsidi BBM dan Perundingan G20

Subsidi Energi Negara-negara Non-OECD
Hari ini media massa dan juga jalanan ramai dengan pemberitaan mengenai kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) serta demonstrasi yang berusaha menggagalkan kenaikan BBM tersebut. Rencananya, pemerintah akan menaikkan harga BBM sebesar Rp 1.500,00 per tanggal 1 April 2012. Banyak analisis yang berkembang di berbagai tempat diskusi, media massa, maupun jaringan sosial mengenai rasionalitas kebijakan tersebut. Salah satu analisis menarik adalah pernyataan Kwik Kian Gie, ekonom dari PDI-Perjuangan, mengenai ambigunya angka yang dinyatakan sebagai subsidi oleh pemerintah. Sebaliknya, argumen mereka yang mendukung kenaikan BBM banyak berasal dari masalah subsidi yang tak tepat guna. Dalam tulisan ini, sesuai dengan latar belakang saya, saya akan lebih menyoroti mengenai bagaimana keterlibatan sistem internasional bekerja untuk mempengaruhi kebijakan di Indonesia, khususnya lewat Forum G20. Sistem internasional terlibat bukan serta-merta dalam arti terlibat secara langsung, namun melalui berbagai arahan kebijakan yang mereka lakukan.



G20 adalah sebuah forum diplomasi ekonomi dan pembangunan internasional yang bersifat loose namun eksklusif, karena hanya beranggotakan 19 negara dan 1 kawasan, yakni Uni Eropa. G20 awalnya merupakan inisiatif negara-negara anggota G7/G8, yakni delapan negara dan satu kawasan kaya yang mempunyai peran yang tinggi dalam perekonomian. Delapan negara itu adalah : Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Prancis, Jerman, Italia, Jepang, Rusia, dan Uni Eropa sebagai sebuah kawasan. Awalnya, kelompok G8 ini adalah kelompok ‘Atlantik’ yang secara militer terikat dengan Amerika Serikat. Kanada kemudian banyak memberikan tawaran untuk memperluas kelompok itu dengan merangkul beberapa negara lain. Pada tahun 2008, Presiden Bush Jr. memanggil 20 negara untuk merespon masalah krisis finansial. [i] Kemudian, pada tahun 2009 dilaksanakan pertemuan G20 di London dan Pittsburgh. Pada tahun 2010, Pertemuan G20 dilaksanakan di Toronto lalu Seoul. Dan terakhir, Pertemuan G20 dilaksanakan di Cannes, Prancis. Indonesia menjadi anggota G20 dalam pertemuan tahun 2009 di Pittsburgh, Amerika Serikat.


Menurut saya, G20 ini banyak digerakkan oleh Kanada secara intelektual, walaupun juga diisi dengan berbagai agenda dari kekuatan dunia, khususnya Amerika Serikat dan Uni Eropa. Sejak pertemuan Pittsburgh, keterlibatan Kanada siginifikan, khususnya dalam mengawinkan konsep ‘economic grouping’ dengan bumbu-bumbu ‘development agenda’. Dalam pengamatan saya ketika berkesempatan menghadiri Pertemuan G20 di Cannes tahun lalu sebagai Pengamat dari Organisasi Masyarakat Sipil, publikasi dan hasil kajian dari Munk School of Global Affairs Universitas Toronto dan lembaga nirlaba dari Kanada lainnya membanjiri konferensi pers dan sudut-sudut media hall. Politik luar negeri Kanada, sebagaimana diutarakan oleh Gordon S. Smith, mantan Deputi Luar Negeri dan perwakilan Sherpa dari Kanada, negeri itu tidak mengandalkan hard power, namun lebih mempengaruhi melalui soft power.[ii] Dalam era globalisasi, Smith mengatakan, hanya ada pembuatan aturan dan mereka yang harus mematuhi aturan.[iii] Agar kepentingan Kanada tidak abai di tengah hiruk-pikuk Amerika Serikat, Eropa, Jepang, China, dan India, Kanada ambil bagian.


Sejak Pertemuan G20 di Pittsburgh, rekomendasi untuk mengurangi subsidi BBM dan juga subsidi listrik menjadi salah satu agenda yang dibicarakan. Setelah selesai mengikuti Pertemuan G20 di Pittsburgh, beberapa bulan kemudian pemerintah mencabut subsidi listrik sebesar 10-15%. Hal ini juga dimuat dalam dokumen persiapan Pertemuan G20 di Seoul yang ditulis oleh Bank Dunia, OECD, dan IEA sebagai 'langkah baik untuk mengurangi beban pemerintah Indonesia'. [iv] Pada pertemuan G20 di Seoul, dalam Deklarasi Pembangunan Seoul, komitmen nomer 127 berbunyi : “We reaffirm our commitment to rationalize and phase-out over the medium term inefficient fossil fuel subsidies that encourage wasteful consumption, with timing based on national circumstances, while providing targeted support for the poorest.”


Beberapa pengamat menyangsikan daya ikat G20 karena forum ini bersifat loose, tapi nyatanya G20 melakukan pemantauan soal pencabutan subsidi BBM ini terhadap anggotanya. Dalam dokumen G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011, Indonesia dimasukkan sebagai negara yang kemajuan pencabutan subsidi BBM-nya 0 atau masih dalam proses. Beberapa negara mendapatkan penilaian negatif (-1) dalam hal pencabutan subsidi BBM, yakni Jerman, China, dan Turki. Beberapa negara digolongkan kemajuan dalam proses dengan skor (0), termasuk Indonesia, dan beberapa lainnya dikategorikan negara yang menurunkan subsidi BBM dengan baik dengan skor (+1). [v] Jika negara lain berkomitmen untuk menurunkan subsidi batubara, gas, kerosin, dan bahan bakar lainnya, Indonesia berkomitmen menurunkan subsidi BBM.


Mengapa G20 begitu getol merekomendasikan pencabutan subsidi BBM ? Dalam politik internasional, terdapat pemikiran neo-realisme, yang merupakan pengembangan dari realisme tradisional, yang berpandangan bahwa keterlibatan negara dalam kerjasama internasional tidak lebih merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan nasional negara tersebut. Oleh karena itu, untuk mengoptimalkan kepentingan nasionalnya, negara perlu beraliansi atau membentuk kerjasama. Akan tetapi, Waltz mengatakan bahwa dalam kerjasama tersebut terdapat perbedaan kapasitas negara untuk memfungsikan kepentingannya. G20 sejatinya merupakan rancangan G8 yang mengajak emerging market bergabung untuk mengatasi krisis di negara mereka. Kekuatan utama di dalam G8 adalah Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang. Kebijakan di masing-masing negara/kawasan mereka menentukan posisi mereka dalam forum internasional. Dan energi adalah sektor yang merupakan sektor yang sangat vital untuk mereka karena menyangkut keberlanjutan industri dan kompevitititas mereka di pasar global.


Ada beberapa konteks global yang juga ikut menentukan dinamika hubungan internasional, khususnya dalam pengelolaan energi. Pertama, naiknya kekuatan India dan China sebagai salah satu kekuatan ekonomi utama dunia. Naiknya kekuatan India dan China ini dibarengi dengan makin tidak kompetitifnya produk, terutama industri dasar, Eropa, Amerika Serikat, dan Jepang dalam pasar global. Kedua, perkembangan di Uni Eropa pada tahun 2009 Uni Eropa memulai pemberlakuan Traktat Lisbon yang mana Uni Eropa dapat menempatkan satu perwakilan atas nama Komisi Eropa di berbagai forum kerjasama internasional. Sebelumnya, setiap negara di Uni Eropa mewakili atas dirinya sendiri, tanpa disertai perwakilan dari Komisi Eropa. Ketiga, terdapatnya krisis finansial yang menghantam Amerika Serikat dan Eropa pada tahun 2008. Keempat, makin berkurangnya sumber-sumber daya energi di seluruh dunia.


Pada bulan November 2010, Dewan Eropa mengeluarkan Komunikasi yang berjudul Energy 2020 : Strategy for Competitive, Sustainable and Secure Energy. Dalam dokumen tersebut, disebutkan bahwa Uni Eropa ke depan akan menghadapi tantangan besar dalam penyediaan energi. Saat ini, negara-negara Eropa tergantung dari Rusia dalam hal penyediaan energi. Negara-negara seperti Finlandia dan Estonia bahkan 100% tergantung impor energi dan 100% tergantung dari Rusia. Prancis tergantung 98% dari pasokan impor, dan Jerman juga tergantung 81% dari pasokan impor[vi] Energi bagi Eropa sangat vital karena menyangkut pelayanan publik, pertumbuhan ekonomi dan kepentingan industri mereka. Tanpa suplai energi yang memadai, Eropa akan kehilangan kompetitivitasnya dalam pasar global. Naiknya China dan India juga menyebabkan komplikasi dalam industri di Eropa karena untuk industri dasar, misalnya industri kimia sederhana, mereka sudah tidak dapat bersaing dengan barang murah dari China. Negara Eropa adalah pengkonsumsi 17% energi dunia, dan prediksi Komisi Eropa pada tahun 2030, Eropa akan mengimpor 65% kebutuhan energinya, terutama gas, dari luar Eropa.


Dalam dokumen Komisi Eropa ini disebutkan bahwa Perundingan Iklim menjadi alat bagi Uni Eropa untuk mengatasi masalah ketersediaan energi di masa depan. Oleh karena itu, salah satu rekomendasi kebijakan dalam Energy 2020 adalah pembatasan konsumsi secara global agar pasokan energi cukup bagi industri Eropa. Rejim lingkungan hidup global (Perundingan Iklim) menjadi kunci penting bagi Eropa untuk dapat mengendalikan konsumsi energi secara global, khususnya China.[vii]


Dokumen tersebut juga menyebutkan salah satu cara untuk mengamankan energi adalah dengan membuat perjanjian kerjasama dengan negara lain melalui kerjasama investasi, baik investasi yang konvensional maupun investasi di sektor low-carbon energy. Terkait dengan strategi ini, saat ini Uni Eropa sudah memberlakukan Traktat Lisbon, dan perjanjian perdagangan bebas yang diterapkan akan dapat menghapus Bilateral Investment Treaties (BITs) yang sudah dilakukan sebuah negara dengan anggota Uni Eropa. Dengan sistem semacam ini, terdapat kebutuhan yang lebih besar dari Eropa untuk bisa mengamankan suplai internal negara-negara Eropa yang diperoleh dari negara dunia ketiga daripada keamanan suplai negara Eropa secara satu per satu melalui BITs. Artinya, ada kebutuhan investasi yang besar dari perusahaan-perusahaan Uni Eropa untuk mendiversifikasi sumber energi (selain dari Rusia) dan juga pengamanan stok internal ke depan.


Bagaimana dengan Amerika Serikat ? Garis kebijakan Amerika Serikat hampir mirip dengan Uni Eropa, yakni melalui stockpilling dan mendorong kebijakan yang ramah lingkungan. Sedikit berbeda dengan Eropa, Amerika Serikat mengandalkan sebagian besar suplai energi mereka dari negara-negara Timur Tengah. Pendekatan Amerika Serikat, khususnya Republikan, sedikit berbeda yakni dengan melakukan upaya regime change dan intervensi politik langsung pada negara target kebijakan. Obama juga menginginkan adanya penghapusan subsidi BBM yang akan menghemat belanja negara sebesar 39 miliar dollar AS, tetapi rencana ini sepertinya akan menemui penolakan yang keras dari Kongres. Lembaga riset Kongres AS pun menuliskan bahwa dalam Pertemuan G20 Obama meminta negara-negara memangkas subsidi BBM, akan tetapi wacana Obama ini mendapat tentangan yang cukup keras dari Kongres AS. [viii]

Secara politik, posisi Uni Eropa, AS, Jepang[ix], dan juga Kanada sebagai ‘begawan-begawan’ G20 mendukung pembatasan subsidi BBM. Dalam pengambilan kebijakan, walaupun pembatasan BBM juga akan mengurangi subsidi negara dan ramah lingkungan, tetapi dengan adanya pembatasan subsidi BBM juga akan memungkinkan perusahaan multinasional yang ada di Indonesia makin lama mengeksplorasi sumber daya alam, walaupun dengan perlambatan eksploitasi karena adanya tren penurunan konsumsi BBM, baik secara global maupun di tingkat nasional. Permasalahan berikutnya adalah percepatan teknologi yang telah dirancang negara maju jauh lebih cepat dibandingkan kemampuan Indonesia untuk melakukan transfer teknologi. Kemampuan untuk dapat bersaing dengan berbagai produk energi ramah lingkungan pun belum dimiliki industri di Indonesia. Padahal, tren dari penggunaan energi ke depan adalah energi dengan tingkat karbon yang rendah yang didorong melalui soft law dalam negosiasi lingkungan hidup.


Dalam peta ekonomi-politik internasional ke depan, barang-barang dari Indonesia makin tidak kompetitif dengan barang-barang China yang head to head ke pasar Indonesia. Subsidi masih diberikan oleh pemerintah China secara melimpah, sementara barang-barang sejenis yang diproduksi Indonesia mengalami kenaikan ongkos produksi. Penetrasi produk China dan India juga semakin mudah ke Indonesia dengan adanya implementasi ASEAN China FTA dan ASEAN India FTA. Permasalahannya lagi, kompensasi a la BLT tidak menjamin secara langsung naiknya produktivitas sektor ekonomi rakyat : pertanian pangan dan hortikultura, perikanan, Usaha Mikro dan Kecil, atau sektor informal. Grafik di bawah ini (Photo 2) menjelaskan mengenai bagaimana subsidi energi menjadi kebutuhan bagi negara berkembang untuk melaksanakan kepentingan industrialisasinya. Subsidi Iran adalah subsidi energi paling tinggi, disusul Rusia, China dan Arab Saudi. Karakter Indonesia dalam subsidi energi adalah tinggi dalam subsidi terhadap BBM namun rendah dalam subsdi listrik atau jenis energi lainnya.


Makna subsidi energi bagi negara berkembang juga berbeda dengan makna subsidi energi di negara maju yang telah menerapkan sistem negara kesejahteraan. Subsidi energi di negara berkembang merupakan jenis subsidi yang sifatnya mensubsidi ekonomi secara luas, bukan saja subsidi perorangan. Di negara maju, isu subsidi energi merupakan isu lingkungan, karena sistem kesejahteraan telah terbangun dengan baik : kesehatan, pendidikan, transportasi publik, bahkan tunjangan penghasilan jika tidak bekerja. Walaupun, di negara maju saat ini sistem kesejahteraan juga tergerus karena adanya krisis ekonomi.


Konsekuensi ekonomi-politik lainnya adalah semakin besarnya tingkat kredit masyarakat, yang pada bulan Juli 2011 lalu telah mencapai puncaknya dengan tingkat Loan to Deposit Ratio (LDR) perbankan yang mencapai 79,79%.[x] Rancangan kemudahan akses untuk keuangan yang juga dirancang oleh G20 Financial Inclusion Working Group memungkinkan masyarakat yang tidak memenuhi standar perbankan konvensional mendapatkan kredit. Bukan tidak mungkin, ketika sektor finansial digenjot sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, sementara sektor riil semakin rapuh karena tingkat industrialisasi yang masih rendah, banjir impor yang tinggi, serta proteksi yang sangat lemah; akan terjadi gelembung ekonomi.


Salah satu ‘peluang’ bagi korporasi multinasional yang muncul dari kenaikan BBM adalah makin kompetitifnya persaingan SPBU. Harga BBM yang makin mendekati harga internasional memungkinkan beberapa SPBU asing, seperti Shell dan Petronas bersaing dengan Pertamina, BUMN lokal yang menyediakan BBM ke masyarakat.


Bulan Juni 2012 nanti, pemimpin G20 akan melakukan pertemuan yang dibarengkan dengan Perundingan Iklim di Los Banos, Meksiko, yang disebut dengan Rio+20. Pertemuan ini menjadi momentum besar dalam diplomasi internasional setelah KTT Bumi di Rio tahun 1992. Pertemuan semacam ini akan akan menguji efektivitas penggunaan soft power dalam diplomasi internasional. Sepertinya, teknik soft power cukup membawa hasil. Penurunan subsidi BBM di Indonesia mungkin merupakan kado indah SBY bagi Obama dan Barosso dalam pertemuan tersebut, tetapi menjadi beban ekonomi yang dipanggul berat oleh pembuat tempe di Ngawi atau petani jeruk di Garut, Jawa Barat. (HNK)







[i] Gordon S. Smith, “G7 to G8 to G20”, Embassy Magazine, 8 Juni 2011, dalam http://embassymag.ca/dailyupdate/view/g7_to_g8_to_g20_06-08-2011 diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 20.40 WIB

[ii] Soft power adalah salah satu konsep yang memungkinkan aktor-aktor non negara turut berkontribusi dalam politik global. Di dalam hubungan internasional, dikenal istilah hard power dan soft power yang diperkenalkan oleh Joseph S. Nye Jr. , ilmuwan politik internasional dari Universitas Harvard sekaligus penasihat kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Soft power adalah kemampuan untuk memperoleh apa yang diinginkan melalui co-option dan penyebaran daya tarik. Ini sangat kontras dengan apa yang disebut hard power, yaitu penggunaan paksaan dan hadiah atau reward (carrot and stick).

[iii] Gordon S. Smith, “Canada’s Interest is in G20, not G8”, dalam http://www.theglobeandmail.com/news/opinions/article732295.ece diakses pada tanggal 25 Maret 2012 pukul 21.00 WIB

[iv] “The Scope of Fossil Fuel Subsidies in 2009 and a Roadmap for Phasing Out Fossil Fuel Subsidies”, An IEA, OECD, and World Bank Joint Report, Prepared for G20 Summit, Seoul, 11-12 November 2010 hlm. 24

[v] G20 Research Group: 2010 Seoul G20 Final Compliance Report, November 6, 2011, hlm,.266

[vi] Paul Belkin, “The European Union’s Energy Security Challenge”, CRS Report for Congress, 30 Januari 2008, hlm. 6

[vii] COMMUNICATION FROM THE COMMISSION TO THE EUROPEAN PARLIAMENT, THE COUNCIL, THE EUROPEAN ECONOMIC AND SOCIAL COMMITTEE AND THE COMMITTEE OF THE REGIONS Energy 2020 : A strategy for competitive, sustainable and secure energy, Brussels, 10 November 2010

[viii] Rebecca M. Nelson,”G20 and International Economic Cooperation : Background and Implications for Congress”, dalam CRS Report for Congress, 9 Desember 2009, hlm.20

[ix] Lihat dalam http://www.mofa.go.jp/policy/energy/diplomacy.html

[x] Data Laporan Bank Indonesia yang dikutip dalam penelitian saya berjudul Berburu Pundi di Negeri Selatan : Kajian Kritis atas Peran Bank Asing dan Bank Nasional dalam Pemberian Kredit Usaha Mikro dan Kecil di Indonesia.Sudah diseminarkan bulan Maret ini, akan segera terbit.

Oleh : Herjuno Ndaru

[al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.