Habis Gelap Terbitlah Terang
Tanggal 21 April bagi wanita Indonesia,
adalah hari yang khusus untuk memperingati perjuangan RA Kartini.
Sebagian banyak masyarakat beranggapan, Kartini memperjuangkan
Emansipasi, Feminisme, Liberalisme, dll. Nama Kartini mereka jadikan
legalisasi atas apa yang mereka lakukan. Benarkah Kartini pejuang
emansipasi dan feminisme? Atau tidak ada hubungannya sama sekali? Maka kita perlu meninjau kembali perjuangan Beliau.
Kartini besar dan belajar di lingkungan
adat istiadat serta tata cara ningrat jawa, feodalisme, ia hanya boleh
bergaul dengan orang-orang Belanda atau orang-orang yang terhormat dan
tidak boleh bergaul dengan rakyat. Kartini tidak menyukai lingkungan
yang demikian, ini terlihat dari isi suratnya yang ditujukan kepada
Stella, tanggal 18 Agustus 1899 diantaranya: “Peduli apa aku dengan
segala tata cara itu, segala peraturan-peraturan, semua itu bikinan
manusia dan menyiksa diriku saja”
Kartini mendobrak adat keningratan,
karena menurutnya setiap manusia sederajat dan mereka berhak untuk
mendapat perlakuan sama. Itu beliau lakukan pada masa dimana seseorang
diukur dengan darah keningratan. Semakin biru darah ningratnya semakin
tinggi kedudukannya. Ini terlihat dalam suratnya pada Stella pada
tanggal 18 Agustus 1899: “Bagi saya hanya ada dua macam keningratan:
Keningratan Pikiran (fikrah) dan Keningratan Budi (akhlak). Tidak ada
yang lebih gila dan bodoh menurut persepsi saya daripada melihat orang
yang membanggakan asal keturunannya. Apakah berarti sudah beramal
sholeh, orang yang bergelar Graaf atau Baron!”
Kartini berupaya untuk memajukan kaum
wanita dimasanya (masa penjajahan). Pada saat itu wanita tidak
mendapatkan hak pendidikan yang sama dengan laki-laki, mereka dinomor
duakan, bahkan dalam segala aspek kehidupan. Perjuangan Kartini tidaklah
berarti untuk menyaingi laki-laki, namun memberi kontribusi bagi
perbaikan masyarakat Cita-citanya ini diungkapkan melalui suratnya
kepada Prof Anton dan Nyonya, pada tanggal 4 Oktober 1902: “Kami disini
memohon diusahakan pengajaran dan pendidikan anak-anak perempuan. Bukan
sekali-sekali karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi
saingan laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tetapi, karena kami yakin
akan pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih
cakap melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam
(sunnatullah) sendiri ke dalam tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia
yang pertama-tama.”
Selain itu juga dapat di lihat dari
suratnya kepada Nyonya Abendanon, 4 September 1901: “Pergilah!
Laksanakan cita-citamu. Bekerjalah untuk hari depan. Bekerjalah untuk
kebahagiaan beribu-ribu orang yang tertindas di bawah hukum yang tidak
adil dan paham-paham palsu tentang mana yang baik (haq) dan mana yang
jahat (bathil). Pergi! Pergilah! Berjuang dan menderitalah, tetapi
bekerjalah untuk kepentingan yang abadi”. Dengan demikian, perjuangan
Kartini bukan hanya untuk kepentingan wanita, namun jauh lebih luhur
lagi adalah bagi perbaikan tatanan kehidupan.
Pada awalnya, perjuangan Kartini banyak
dipengaruhi oleh pemikiran-pemikiran yang berasal dari luar Islam, namun
pada dasarnya ia tidak memperjuangkan dan tidak menginginkan emansipasi
dan feminisme. Keterpengaruhannya oleh pemikiran-pemikiran yang berasal
dari luar Islam, dikarenakan ia belum memahami Islam secara benar. Ia
mengaji dan membaca Alqur’an tetapi tidak dapat memahai isinya, sehingga
ia tidak bisa merealisasikan di dalam kehidupannya. Kartini merasa
kecewa dan ini diungkapkan pada suratnya yang ditujukan kepada
Abendanon, tertanggal 15 Agustus 1902 : “Dan waktu itu aku tidak mau
lagi melakukan hal-hal yang aku tidak tahu apa perlunya dan apa
manfatnya. Aku tidak mau lagi membaca Al qur’an, belajar menghafalkan
perumpamaan-perumpamaan dengan bahasa asing yang tidak aku mengerti
artinya. Dan jangan-jangan ustadz dan ustadzahku pun tidak mengerti
artinya. Katakanlah apa artinya, nanti aku akan mempelajari apa saja.
Aku berdosa, kitab yang mulia itu terlalu suci sehingga kami tidak
boleh mengerti apa artinya”.
Selain itu Kartini memang banyak bergaul
dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani, seakan-akan mereka adalah orang
yang ingin menolong Kartini, namun sebenarnya mereka adalah musuh dalam
selimut. Mereka adalah Mr.J.H. Abendanon (memperalat Kartini untuk
membaratkan gadis-gadis bumiputera saat itu, ia adalah teman Snouck
Hurgronye, (orientalis Yahudi) dan istrinya; Dr. Adriani (sahabat pena
Kartini, seorang ahli bahasa dan pendeta yang misinya menyebarkan agama
Kristen di suku Toraja), Anni Glasser (Pengajar privat Kartini yang
dikirim Abendanon untuk memata-matai dan mengikuti perkembangan Kartini,
Stella (sahabat pena Kartini, wanita Yahudi, anggota militan Pergerakan
Feminisme di Belanda), Ir. H. Van Kol (seorang insinyur, ahli dalam
masalah-masalah kolonial, ia mendukung Kartini sekolah ke Belanda untuk
menjadikannya saksi hidup akan kebobrokan pemerintahan Hindia Belanda
di tanah jajahan hingga dapat memenangkan partainya (Sosialis) di
Parlemen), dan Ny. Van Kol (yang berusaha mengkristenkan Kartini).
Tetapi, Kartini diberi kesempatan oleh
Allah SWT untuk memperbaiki dirinya, Ia bertemu dengan K.H. Muhammad
Sholeh bin Umar, seorang ulama besar dari Darat, Semarang. Lewat Kyai
ini, Kartini terbuka pikirannya dan meminta diajarkan agama dengan
mempelajari Al Qur’an dengan cara yang dapat ia mengerti. Kemudian Kyai
Sholeh Darat memberikan Al Qur’an yang diterjemahkan ke dalam bahasa
Jawa pada hari pernikahannya (Faizhur Rohman Fit Tafsiril Qur’an) jilid I
yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat Al-Fatihah sampai dengan
surat Ibrahim. Mulailah saat itu, Kartini mempelajari Islam dalam arti
yang sesungguhnya. Namun tidak berlangsung lama, karena Kyai Sholeh
Darat meninggal dunia sebelum ia menyelesaikan terjemahan Alqur’an
tersebut.
Pengaruh agama Islam ternyata sangat
kuat membentuk dirinya dan merubah cara pandangnya kepada Barat, ini
dapat terlihat pada surat-suratnya: “Astaghfirullah, alangkah jauhnya
saya menyimpang” (Ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 5 maret 1902).
“Kami sekali-kali tidak hendak
menjadikan murid-murid kami menjadi orang-orang setengah Eropa atau
orang-orang Jawa yang kebarat-baratan” (Ditujukan kepada Ny Abendanon,
10 Juni 1902).
“Moga-moga Kami mendapat rahmat, dapat
bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut di sukai”
(ditujukan kepada Ny Van Kol, tgl 21 juli 1902).
“Dan saya menjawab, Tidak ada Tuhan
kecuali Allah. Kami mengatakan bahwa kami beriman kepada Allah dan kami
tetap beriman kepada-Nya. Kami ingin mengabdi kepada Allah dan bukan
kepada manusia. Jika sebaliknya tentulah kami sudah memuja orang dan
bukan Allah” (ditujukan kepada Nyonya Abendanon, 12 Oktober 1902).
“Sudah lewat masanya, tadinya kami
mengira bahwa masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling
baik, tiada taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap
masyarakat Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik
hal yang indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama
sekali tidak patut disebut sebagai peradaban?” (ditujukan kepada Ny.
Abendanon, 27 Oktober 1902).
“Bagaimana pendapatmu tentang Zending,
jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat Jawa semata-mata atas dasar
cinta kasih, bukan dalam rangka Kristenisasi????. Bagi orang Islam,
melepaskan keyakinan sendiri memeluk agama lain, merupakan dosa yang
sebesar-besarnya“ (ditujukan kepada Abendanon, 31 Januari 1903).
“Kesusahan kami hanya dapat kami
keluhkan kepada Allah, tidak ada yang dapat membantu kami dan hanya
Dialah yang dapat menyembuhkannya” (Ditujukan kepada Abendanon, 1
Agustus 1903).
“Ingin benar, saya menggunakan gelar
tertinggi, yaitu: hamba Allah (Abdullah)” (ditujukan kepada Nyonya
Abendanon, 1 Agustus 1903).
Pada saat Kartini mempelajari Al Qur’an
melalui terjemahan berbahasa jawa, Kartini menemukan dalam surat Al
Baqarah:257, Firman Allah SWT yang artinya:
“Allah Pemimpin orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya. Dan orang-orang kafir pemimpin-pemimpin mereka ialah Thaghut, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan. Mereka itu adalah penghuni neraka, mereka kekal didalamnya”.
Maknanya: bahwa Allah lah yang telah
membimbing orang-orang yang beriman dari kegelapan kepada cahaya (Min
adz-Dzulumâti ila an-Nûr). Kartini sangat terkesan dengan ayat ini.
Dalam banyak suratnya sebelum wafat, Kartini banyak mengulang kata-kata
Dari Gelap Kepada Cahaya, yang olehnya ditulis dalam bahasa Belanda
dengan Door Duisternis tot Licht. Kemudian makna ini bergeser tatkala
Armijn Pane menerjemahkan kata Door Duisternis tot Licht dengan kalimat
“Habis Gelap Terbitlah Terang”. Kalimat ini sedikit demi sedikit telah
menghilangkan makna yang dalam, karena diambil Kartini dari
pemahamannya akan ayat Al qur’an, menjadi sesuatu yang puitis namun
tidak memilik arti ruhiyyah.
Selanjutnya perjuangan Kartini, banyak
disalahartikan oleh wanita-wanita Indonesia, dan telah dimanfaatkan oleh
pejuang-pejuang Feminisme untuk menipu para wanita, agar mereka
beranggapan bahwa perjuangan Feminisme memiliki akar di negerinya
sendiri, yaitu perjuangan Kartini. Sehingga, muncul persepsi bahwa
kebangkitan wanita perlu dilakukan dan ditingkatkan dengan menggunakan
nama Kartini. Namun sayang, perjuangan wanita Indonesia kebanyakan telah
menyimpang dari perjuangan Kartini, mereka berusaha menyaingi laki-laki
dalam berbagai hal, yang kadangkala sampai di luar batas kodrat mereka
sebagai wanita. Tanpa mereka sadari, wanita-wanita Indonesia telah
diarahkan kepada perjuangan Feminisme dengan membawa ide-ide
Kapitalisme–Sosialisme, yang pada akhirnya menjerumuskan wanita-wanita
itu sendiri, bahkan membawa kehancuran bagi masyarakat dan negaranya.
Hal ini disebabkan, mereka meninggalkan tugas utama sebagai ummun wa
robbatul bait (ibu dan pengatur Rumah tangga) dan posisi mereka sebagai
muslimah yang harus terikat dengan hukum-hukum syara’. Mereka telah
terbelenggu kepada perjuangan yang bersifat individual dan semata-mata
mendapatkan kemaslahatan.
Disinilah menjadi suatu keharusan, untuk
meluruskan peran wanita (khususnya muslimah) dalam usaha untuk
mengembalikan kehidupan yang hakiki yang didasarkan kepada Islam sebagai
dîn yang Syamil dan Kamil. Perjuangan muslimah untuk kebangkitan ummat
yang hakiki tidak bisa dilepaskan dari perjuangan dengan laki-laki,
karena untuk mewujudkan masyarakat Islam, dimana di dalam masyarakat itu
terdiri dari laki-laki dan perempuan, mengharuskannya berjuang
bersama-sama, tidak terpisah-pisah dan bersaing satu sama lain.
Selain itu, perjuangan muslimah tidak
hanya untuk skala Indonesia saja, karena umat Islam itu satu tubuh dan
syari’atnya satu, nabinya satu dan Tuhannya satu. Sehingga, seharusnya
target penegakan masyarakat yang Hakiki, adalah untuk seluruh ummat di
dunia. Indonesia adalah salah satu tempat untuk mewujudkan terjadinya
kebangkitan ummat yang hakiki, dengan didasarkan kepada apa yang
diperintahkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW. Sehingga menjadi suatu
hal yang penting, muslimah bersama dengan laki-laki muslim bergerak
dalam satu gerakan, yang memilik kejelasan pemahaman tentang
pemikiran-pemikiran Islam (fikrah) dan metode (thariqah) untuk
mewujudkan kebangkitan ummat yang hakiki yaitu kebangkitan Islam untuk
diterapkan hukum-hukum Allah di muka bumi ini. Selain itu, aktivitas
muslimah untuk terlibat mewujudkan kebangkitan yang hakiki jangan sampai
meninggalkan kodratnya sebagai wanita dan fungsi utamanya sebagai ummun
wa robbatul bait. Disinilah dituntut bagi muslimah, untuk mampu
mengatur diri dan melaksanakan konsep aulawiyyat (prioritas) dalam
aktivitasnya, sehingga tidak membawa kemudhorotan bagi diri, keluarga,
masyarakat dan negaranya. Semoga tulisan ini dapat membantu para
muslimah untuk dapat ikut berjuang mewujudkan kebangkitan ummat yang
hakiki, tentu bersama dengan keyakinan akan pertolongan Allah SWT. Amîn.[al-khilafah.org]
Tidak ada komentar