PKS dan Dilema Presiden
"Tidak ada kawan sejati, yang ada kepentingan sejati". Begitulah hukum yang berlaku dalam dunia politik sekular. Hal ini juga tampak terjadi pada koalisi "gendut" pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono kali ini.
PKS yang dikenal sebagai "anak bandel" dalam koalisi diisukan bakal dipecat dari keanggotaan Setgab (Sekretariat Gabungan).
PKS dinilai telah melanggar butir-butir kontrak koalisi. Sebagaimana diketahui, partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini beberapa kali berseberangan pendapat dengan anggota koalisi menyangkut sikapnya dengan kebijakan pemerintah.
Seperti halnya soal Century, dan yang terakhir soal sikapnya terhadap kebijakan menaikkan harga BBM oleh pemerintah.
Entah masih ragu atau berhati-hati, sampai detik ini SBY belum juga mengeluarkan sikap resminya soal keanggotaan PKS dikoalisi. Sementara dari PKS sendiri, masih bersikeras ingin bertahan dikoalisi tersebut.
Dilematis, tersirat ada beberapa perihal kenapa presiden layak untuk ragu. Pertama: Jasa politik. PKS memiliki kontribusi saat terpilihnya SBY menjadi presiden RI.
Dalam ranah kehidupan politik sekular, bagi-bagi kekuasaan atau dikenal dengan istilah politik dagang sapi adalah sudah menjadi kemakluman. Keluarnya PKS dari koalisi berarti habis pula jatah mentri untuk PKS. Padahal SBY memiliki hutang budi politik.
Kedua: Golkar bisa berkibar. Partai penguasa orde baru yang sarat pengalaman bergelut dalam perpolitikan nasional ini bukan tidak mungkin bakal memainkan peranan penting dalam menyetir kebijakan pemerintah kedepan untuk kepntingan partai Golkar pada pemilu 2014 pasca dikeluarkannya PKS. Sebagai partai dengan basis massa hampir sama, maka demokrat bisa turun pamor jika Golkar naik.
Ketiga: Berbahaya bagi jalannya pemerintahan. Sengaja koalisi pemerintahan SBY ini dibentuk dengan merangkul sekitar 75 persen komposisi di parlemen dengan tujuan agar jalannya pemerintahan berlangsung mulus.
Kita tahu, meski prosentase pihak oposisi hanya sekitar 25 persen di parlemen, namun ternyata manuver-manuver politik oleh lawan-lawan politik SBY cukup merepotkan pemerintah, apalagi ditambah PKS.
Pada pihak PKS sendiri meski mendapat tekanan yang cukup hebat supaya keluar dari koalisi, namun para elit PKS tetap bergeming ingin bertahan di koalisi. Hal itu juga terjadi pada saat kasus Century yang akhirnya burkurang satu jatah menterinya.
Secara de facto sejatinya PKS sudah keluar koalisi karena melanggar kontrak koalisi.
Berikut beberapa petikkan butir koalisi yang dilanggar PKS:
Butir kedua: Keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden, (yang dalam hal ini dibantu oleh Wakil Presiden) menyangkut kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, setelah mempertimbangkan pandangan dan rekomendasi pimpinan partai koalisi pada rapat yang dipimpin oleh ketua setgab, wajib didukung dan diimplementasikan baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR.
Menteri-menteri dari partai politik koalisi adalah merupakan perwakilan resmi partai politik koalisi, karena itu wajib menjelaskan dan mensosialisasikan segala kebijakan maupun keputusan yang telah ditetapkan oleh presiden kepada partainya.
Butir kelima: Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakjuakn komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik.
Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi. Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri pada hakikatnya kebersamaannya dalam koalisi partai telah berakhir.
Selanjutnya presiden mengambil keputusan dan tindakan menyangkut keberadaan parpol dalam koalisi dan perwakilan partai yang berada dalam kabinet. (detik.com 05/04)
Jika sampai dikeluarkan dari koalisi, maka hal itu sejatinya bisa menjadi kartu As bagi PKS karena dengan begitu kedepan partai ini dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri guna memikat hati masyarakat menjelang ajang 2014 tanpa diikat kontrak koalisi.
Namun sekali lagi, PKS tak ingin tidak berkontibusi, bahasa halus dari habis jatah menteri.
Menjelang berlangsungnya pemilu 2014, konstelasi politik nasional semakin memanas. Ekspektasi berlebih diberikan pada parpol-parpol peserta pemilu tersebut hanyalah akan menimbulkan kekecewaan, karena mereka cenderung mementingkan partainya sendiri ketimbang kepentingan rakyat.
Secara imani, tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem sumber kerusakan seperti sistem sekulerisme.
Dahulunya umat berharap banyak dengan partai Islam untuk mengibarkan bendera Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menuju Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur. Namun dengan berjalannya waktu, partai Islam justru terwarnai dengan noktah hitam sekularisme.
Bagi mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, jelas tidak ada tolelir bagi sistem yang menyerahkan kedaulatan pembuat hukum adalah manusia, direpresentasikan pada wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif.
Sebab dalam Islam, kedaulatan berada ditangan hukum syara'.
Secara realitas, demokrasi justru membawa negri ini menuju ke jurang kehancuran. Terbukti krisis multidimensi menjadi tak terelakkan. Oleh karena itu, bukankah saatnya bagi semua komponen bangsa termasuk presiden maupun pejabat negara untuk melirik sedikit saja pada sistem Islam.
Untuk menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, bagi muslim maupun non muslim. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Ali Mustofa
Gang Nusa Indah, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo
bengawanrise@gmail.com
02717021603
[detiknews/al-khilafah.org]
PKS yang dikenal sebagai "anak bandel" dalam koalisi diisukan bakal dipecat dari keanggotaan Setgab (Sekretariat Gabungan).
PKS dinilai telah melanggar butir-butir kontrak koalisi. Sebagaimana diketahui, partai yang sebelumnya bernama Partai Keadilan (PK) ini beberapa kali berseberangan pendapat dengan anggota koalisi menyangkut sikapnya dengan kebijakan pemerintah.
Seperti halnya soal Century, dan yang terakhir soal sikapnya terhadap kebijakan menaikkan harga BBM oleh pemerintah.
Entah masih ragu atau berhati-hati, sampai detik ini SBY belum juga mengeluarkan sikap resminya soal keanggotaan PKS dikoalisi. Sementara dari PKS sendiri, masih bersikeras ingin bertahan dikoalisi tersebut.
Dilematis, tersirat ada beberapa perihal kenapa presiden layak untuk ragu. Pertama: Jasa politik. PKS memiliki kontribusi saat terpilihnya SBY menjadi presiden RI.
Dalam ranah kehidupan politik sekular, bagi-bagi kekuasaan atau dikenal dengan istilah politik dagang sapi adalah sudah menjadi kemakluman. Keluarnya PKS dari koalisi berarti habis pula jatah mentri untuk PKS. Padahal SBY memiliki hutang budi politik.
Kedua: Golkar bisa berkibar. Partai penguasa orde baru yang sarat pengalaman bergelut dalam perpolitikan nasional ini bukan tidak mungkin bakal memainkan peranan penting dalam menyetir kebijakan pemerintah kedepan untuk kepntingan partai Golkar pada pemilu 2014 pasca dikeluarkannya PKS. Sebagai partai dengan basis massa hampir sama, maka demokrat bisa turun pamor jika Golkar naik.
Ketiga: Berbahaya bagi jalannya pemerintahan. Sengaja koalisi pemerintahan SBY ini dibentuk dengan merangkul sekitar 75 persen komposisi di parlemen dengan tujuan agar jalannya pemerintahan berlangsung mulus.
Kita tahu, meski prosentase pihak oposisi hanya sekitar 25 persen di parlemen, namun ternyata manuver-manuver politik oleh lawan-lawan politik SBY cukup merepotkan pemerintah, apalagi ditambah PKS.
Pada pihak PKS sendiri meski mendapat tekanan yang cukup hebat supaya keluar dari koalisi, namun para elit PKS tetap bergeming ingin bertahan di koalisi. Hal itu juga terjadi pada saat kasus Century yang akhirnya burkurang satu jatah menterinya.
Secara de facto sejatinya PKS sudah keluar koalisi karena melanggar kontrak koalisi.
Berikut beberapa petikkan butir koalisi yang dilanggar PKS:
Butir kedua: Keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Presiden, (yang dalam hal ini dibantu oleh Wakil Presiden) menyangkut kebijakan-kebijakan politik yang strategis dan posisi-posisi politik yang penting, setelah mempertimbangkan pandangan dan rekomendasi pimpinan partai koalisi pada rapat yang dipimpin oleh ketua setgab, wajib didukung dan diimplementasikan baik di pemerintahan maupun melalui fraksi-fraksi di DPR.
Menteri-menteri dari partai politik koalisi adalah merupakan perwakilan resmi partai politik koalisi, karena itu wajib menjelaskan dan mensosialisasikan segala kebijakan maupun keputusan yang telah ditetapkan oleh presiden kepada partainya.
Butir kelima: Bilamana terjadi ketidaksepakatan terhadap posisi bersama koalisi, terlebih menyangkut isu yang vital dan strategis, seperti yang tercantum dalam butir 2 tersebut di atas yang justru dituntut kebersamaan dalam koalisi, semaksimal mungkin tetap dilakjuakn komunikasi politik untuk menemukan solusi yang terbaik.
Apabila pada akhirnya tidak ditemukan solusi yang disepakati bersama, maka parpol peserta koalisi yang bersangkutan dapat mengundurkan diri dari koalisi. Manakala parpol yang bersangkutan tidak mengundurkan diri pada hakikatnya kebersamaannya dalam koalisi partai telah berakhir.
Selanjutnya presiden mengambil keputusan dan tindakan menyangkut keberadaan parpol dalam koalisi dan perwakilan partai yang berada dalam kabinet. (detik.com 05/04)
Jika sampai dikeluarkan dari koalisi, maka hal itu sejatinya bisa menjadi kartu As bagi PKS karena dengan begitu kedepan partai ini dapat mengekspresikan sikap politiknya secara mandiri guna memikat hati masyarakat menjelang ajang 2014 tanpa diikat kontrak koalisi.
Namun sekali lagi, PKS tak ingin tidak berkontibusi, bahasa halus dari habis jatah menteri.
Menjelang berlangsungnya pemilu 2014, konstelasi politik nasional semakin memanas. Ekspektasi berlebih diberikan pada parpol-parpol peserta pemilu tersebut hanyalah akan menimbulkan kekecewaan, karena mereka cenderung mementingkan partainya sendiri ketimbang kepentingan rakyat.
Secara imani, tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem sumber kerusakan seperti sistem sekulerisme.
Dahulunya umat berharap banyak dengan partai Islam untuk mengibarkan bendera Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk menuju Baldatun Thoyyibatun Wa Robbun Ghofur. Namun dengan berjalannya waktu, partai Islam justru terwarnai dengan noktah hitam sekularisme.
Bagi mayoritas berpenduduk muslim seperti Indonesia, jelas tidak ada tolelir bagi sistem yang menyerahkan kedaulatan pembuat hukum adalah manusia, direpresentasikan pada wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif.
Sebab dalam Islam, kedaulatan berada ditangan hukum syara'.
Secara realitas, demokrasi justru membawa negri ini menuju ke jurang kehancuran. Terbukti krisis multidimensi menjadi tak terelakkan. Oleh karena itu, bukankah saatnya bagi semua komponen bangsa termasuk presiden maupun pejabat negara untuk melirik sedikit saja pada sistem Islam.
Untuk menuju kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik, bagi muslim maupun non muslim. Wallahu a'lam.
Penulis adalah Analis CIIA (The Community Of Ideological Islamic Analyst)
Ali Mustofa
Gang Nusa Indah, Ngruki, Cemani, Grogol, Sukoharjo
bengawanrise@gmail.com
02717021603
[detiknews/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar