Header Ads

HAM Uni Eropa Bela Ahmadiyah dan GKI Yasmin , Bagaimana Hak Umat Islam ?

Terkait dialog HAM Uni Eropa dan Pemerintah kemarin, Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming menilai itu bukan dialog tetapi pendiktean. “Tetapi saya sendiri menilai itu bukan dialog tetapi semacam investigasi atau intimidasi, kalau bukan pendiktean!” ungkapnya Rabu (2/5) malam di Bogor.



Menurut Daming, dalam dialog memang harus ada agenda yang jelas tentang materi yang dibahas. “Tetapi tidak mengarah pada suatu pretensi-pretensi yang sifatnya memprovokasi keadaan, dengan dalih untuk perlindungan HAM,” ujarnya.

Agenda dialog antara Kepala Divisi HAM Dinas Luar Negeri Uni Eropa Rolf Timans dan Direktur Jenderal HAM Kementerian Hukum dan HAM Harkristuti Harkrisnowo itu secara khusus membahas tentang Ahmadiyah dan GKI Yasmin.

“Menurut saya ini sangat tendensius, karena persoalan HAM di Indonesia ini yang paling krusial justru menyangkut soal lahan!” ungkapnya. Bahkan dalam statistik Komnas HAM, yang paling tinggi pelanggaran HAM-nya adalah kinerja kepolisian, kinerja daerah, pertanahan, perkebunan, pertambangan, dan berbagai layanan publik lainnya.

“Sedangkan soal agama itu memang ada tetapi pada level yang terbilang kecil, dari data statistik kita. Tapi itulah menariknya, sekaligus menjadi ironis, karena Timans justru lebih fokus ke persoalan yang terbilang tidak begitu makro dari data statistik kita,” ujarnya.

Daming pun menuding, ada misi tertentu dari Eropa sehingga yang dipermasalahkan adalah masalah GKI Yasmin dan Ahmadiyah. “Saya fikir ini sudah ada misi-misi tertentu yang sengaja memang mereka tiupkan. Ada kemungkinan karena pertimbangan solidaritas masyarakat Eropa yang seagama dengan GKI Yasmin (Kristen–red),” ujarnya.

Mengingat, GKI Yasmin memiliki banyak sekali jaringan di tingkat internasional kemudian menggunakan jaringan-jaringan itu untuk mendesakan beberapa agenda kepentingan mereka serta melakukan berbagai propaganda, tergantung dengan setting yang mereka mainkan.

Sehingga pembangunan gereja GKI Yasmin yang berbasis penipuan kepada warga setempat tersebut— yang merupakan pelanggaran HAM pihak minoritas GKI Yasmin kepada pihak mayoritas warga Muslim di Yasmin— diputarbalikan oleh mereka seolah warga tidak toleran terhadap minoritas Kristen yang ingin membangun gereja.

Seperti halnya GKI Yasmin, Ahmadiyah pun diposisikan seolah sebagai korban, sehingga Timans jauh-jauh dari Eropa datang untuk membela kelompok yang mengaku Muslim tetapi meyakini ada nabi baru setelah Nabi Muhammad SAW. Daming mengingatkan, HAM, selain untuk menjaga kebebasan tetapi juga harus menjaga kesucian agama dari penodaan dan penistaan.

“Yang dilakukan Ahmadiyah itu penistaan, bukan kebebasan. Dan itu sudah menjadi hukum positif yakni UU No 1 PNPS Thn 1965 dan sudah lulus uji oleh MK. Itu berarti persoalan Ahmadiyah sesuatu yang sudah final dan seharusnya tidak boleh lagi menjadi sebuah basis penilaian, apalagi dilakukan oleh negara lain,” tegasnya.

Munafik

Daming pun menilai HAM yang diterapkan Barat dan juga diusuh para pembebeknya di Indonesia sangat hipokrit (munafik).

“Bukti konkrit ambigu dan hipokrisi Barat terhadap konservasi lingkungan sebagai bagian dari HAM adalah kinerja perusahaan Barat yang beroperasi di Indonesia justru sebagai perusak lingkungan (Newmont), eksploitasi kekayaan alam dan tenaga kerja (Freeport), menggusur dan merampas hak rakyat untuk perluasan investasi (perusahaan tambang, perkebunan, dll),” ujarnya.

Ia menyebut , letter of intent Bank Dunia dan IMF dengan pemerintah RI yang menghapus subsidi dan proteksi produk domestik sebagai salah satu pelanggaran HAM pula.

Begitu juga dengan pelestarian adat istiadat. “Yang paling parah itu misalnya, dalam berbagai instrumen HAM disebutkan bahwa setiap peradaban manapun wajib memelihara kelestarian adat istiadat!” paparnya.

Artinya, pihak manapun tidak boleh melakukan segala sesuatu yang merusak nilai-nilai tradisi masyarat adat.

“Tetapi di sinilah menurut saya ambigunya, karena kalau berbicara tentang nilai-nilai agama itu boleh dirusak (terbukti dengan pembelaannya terhadap Ahmadiyah—red), tetapi kalau adat harus dipertahankan nilai-nilai kesucian tradisionalnya. Tetapi kalau agama kok tidak seperti itu pengaturannya? Boleh dirubah-rubah, boleh dirusak-rusak, dihilangkan malah kalau boleh,” ungkapnya.

Di situlah menurut Daming timpang dan subjektifnya, HAM yang dikembangkan oleh Barat yang notabene penganut paham sekularisme, pluralisme dan liberalisme (sepilis). Lantas segelintir orang di Indonesia kehilangan daya kritisnya dengan terpedaya pesona dengan kegemerlapan peradaban Barat.

“Sehingga mereka akhirnya membutakan mata untuk melihat betapa amburadul dan kacaunya jalan berfikir kaum sepilis itu seperti apa yang direpresentasikan dari dialog Timans dan Ibu Dirjen tersebut,” pungkasnya.[HTIPress/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.