Header Ads

Karena Membubarkan Irshad Manji di Yogyakarta Juga Bagian Kebebasan Berpendapat

Setelah ditolak di Universitas Gadjah Mada, Irshad Manji malam ini tetap melanjutkan bedah buku karyanya, “Allah, LIberty, and Love”, di Kota Gudeg. Malam ini, Rabu (9/5/2012), diskusi itu digelar di penerbit LKiS, di Jl Pura 1 Sorowajan Baru, Plumbon.


Sejak siang, beberapa ancaman agar diskusi itu dibatalkan sudah diterima oleh pihak panitia dari massa. Akan tetapi, karena menganggap massa tak punya otoritas melarang, diskusi itu tetap berlangsung. Dihadiri sekitar 50 orang, diskusi itu dimulai pada pukul 19.00 WIB. Menurut seorang panitia, Thaksin, awalnya diskusi berlangsung aman-aman saja. Selama kurang lebih 40 menit, para peserta dapat menyimak diskusi dengan tenang.

Pukul 19.30 WIB, massa organisasi masyarakat berbasis keagamaan berdatangan. Mereka langsung mendobrak gerbang Kantor Lembaga Kajian Islam Sosial (LKIS) dan berteriak-teriak “Bubarkan, bubarkan”. Teriakan itu juga diiringi pekikan takbir.

Tentang Kebebasan Berpendapat
Protes demi protes sudah pasti terjadi dan akan terjadi terhadap pembubaran diskusi Irshad Manji ini. Atas nama kebebasan berpendapat semua orang berteriak dan mengeluh. Harusnya para pemrotes pembubaran ini, juga belajar melihat dari sudut pandang lain. Bahwa membubarkan diskusi Irshad Manji itu adalah bagian dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Lalu apa yang salah dengan membubarkan diskusi yang sudah mendapat penolakan dimana – mana ini?

Sikap Irshad Manji yang terus menantang Umat Islam jelas semakin memprovokasi emosi umat dan memperkeruh keadaan. Akselerasi kekerasan adalah bagian klimaks dari hak berpendapat umat Islam yang juga harus dihargai, setelah Irshad Manji sendiri menolak untuk berdialog dengan perwakilan umat Islam.

Sangat aneh, dizaman kecepatan berita lebih percaya pada update time line twitter, dibandingkan memposisikan masalah ini secara sportif. Jika mengatakan “Islam adalah agamaku, Lesbian adalah kebahagianku” adalah bagian dari kebebasan berpendapat. Harusnya para pendukung Irshad Manji juga harus menghargai kebebasan pendapat umat Islam untuk berkata “Membunuh Lesbian Adalah Hak Asasi Kami Sebagai Umat Islam”

Sungguh aneh, membiarkan seorang Lesbian penghina Nabi Muhammad Saw memalsukan Al Qur’an duduk bersama seorang Novriantoni Kahar lalu menghina Al Qur’an dan hadist nabi, harus dianggap sebagai suatu kebebasan berpendapat. Sedangkan mereka yang juga memiliki kecintaan besar terhadap kemurnian agamanya, ingin menuangkan kecintaannya dengan membela agamanya yang dihina dina oleh manusia sejenis Irshad hingga kelompok liberal yang mendukungnya sendiri tidak boleh menuangkan kebebasan berpendapatnya. Bahwa umat ini protes, menolak, melawan bahkan mengancam semua itu juga seharusnya harus dihargai sebagai bagian dari kebebasan berpendapat!

Irshad yang jelas mengarahkan pemikirannya kepada liberalisasi amerika, menjadi rancu. Disisi lain menggaungkan kebebasan, pada waktu yang bersamaan mengkebiri kebebasan untuk bersyariat Islam, dengan coba mentafsirkan sendiri struktur akademisi keilmuan Islam yang sudah baku seenak perutnya sendiri. Irshad seharusnya bercermin lagi, ‘sensasi’ reformasi pemikirannya tidak lebih dari sebuah ide kacangan. Tak ubahnya seorang anak ‘puber’ yang sedang mencari jati diri, maka bahasa lain untuk mendefinisikan sisi ‘reformis’ Irshad tidak lebih pantas untuk menyebutnya sosok ‘galau’ yang sedang menikmati posisi sebagai sorotan publik. Semakin disorot semakin sensasional. Itulah dasar psikologis yang akhirnya bisa dimengerti, Irshad hanya butuh sensasi untuk kesenangannya sendiri. Seperti statemen dirinya di Salihara.

“Kita harus melewati ketegangan ketegangan itu untuk bisa mencapai kebenaran” Jelasnya saat itu memprovokasi.

Kekerasan Adalah Bahasa
Maka bicara soal kekerasanpun menjadi debatel. Pada kenyataannya sikap warga Yogyakarta yang membubarkan dengan cara kekerasan, juga bagian dari kebebasan berpendapat itu sendiri. Bukankah Guntur Romli pernah berkata liberal dalam arti definisi sederhana adalah hak individu. Termasuk hak asasi manusia adalah hak yang liberal.

Maka jika liberal itu mendukung kebebasan berpendapat, mengapa liberal tidak bisa menerima kebebasan berpendapat kelompok yang mereka anggap fundamental? karena membubarkan kajian Irshad Manji juga merupakan hak individu bahkan telah menjadi hak kolektif dan menjadi kekuatan massa yang besar.

Lalu apa yang salah dengan membubarkan kajian Irshad Manji di Yogyakarta dengan atau tanpa kekerasan didalamnya, harusnya kedua keduanya tetap sebuah pilihan, pilihan dari sebuah kebebasan pendapat.
[undergroundtauhid/al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.