Header Ads

Kerapuhan Sistem Ekonomi Ribawi dan Ketangguhan Sistem Ekonomi Islam

KERAPUHAN SISTEM EKONOMI RIBAWI DAN KETANGGUHAN SISTEM EKONOMI ISLAM [1]
Wahyudi Ibnu Yusuf [2]

Pendahuluan; Riba yang Menggurita

Pada masa sekarang, hampir tidak ada transaksi perdagangan maupun ekonomi yang bebas sama sekali dari riba. Mulai dari transaksi yangbersifat klasik seperti penyimpanan uang sampai yang melibatkan transaksi derivative seperti yang terjadi di pasar saham, pasar uang, hingga ke usaha perdagangan berbentuk future trading dan leasing. Riba adalah sebuah fenomena mendunia. Sedemikian parah dan mengguritanya riba sampai-sampai Rasulullah pernah mengingatkan kita dengan sabdanya:


لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لاَ يَبْقَى أَحَدٌ إِلاَّ أَكَلَ الرِّبَا فَإِنْ لَمْ يَأْكُلْهُ أَصَابَهُ مِنْ مِنْ غُبَارِهِ »

Sungguh akan datang pada manusia suatu zaman, (ketika) tiada seorang pun  diantara mereka yang tidak memakan (harta) riba. Siapa saja yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu riba tsb (HR. Ibnu Majah dan Abu Dawud, dari Abu Hurairah).

Praktik riba sudah dikenal sejak munculnya transaksi perdagangan dalam perdaban manusia ribuan tahun silam. Dalam masyarkat Yunani Kuno, kata riba dikenal dengan istilah “rokos” , yang artinya keturunan makhuk organik (bisa melahirkan mata uang baru). Permasalahan riba juga telah disinggung dalam Taurat dan Injil.

Tulisan singkat ini mencoba memaparkan definisi riba, jenis-jenisnya, dalil keharamnya, ancaman bagi  pelaku riba, bahaya riba bagi manusia, tidak ketinggalan memaparkan tentang sistem ekonomi alternatif bagi persoalan kemanusiaan saat ini, yakni sistem ekonomi Islam.

Definisi riba
Riba menurut bahasa berarti tambahan[3]. Sedangkan menurut syara’, riba adalah tambahan yang diperoleh oleh seseorang yang meminjam (barang atau uang) dengan tempo atau batas waktu[4]. Menurut Ali bin Muhammad al Jurjani[5], riba adalah tambahan yang tidak menjadi imbalan bagi sesuatu yang disyaratkan bagi salah seorang yang meminjam dan yang memberikan pinjaman. Riba menurut istilah tadi barangkali terlalu sempit. Istilah yang lebih luas dikemukakan oleh Syaikh ‘Abdurrahman Taj[6], yaitu setiap tambahan pada salah satu pihak (dalam) akad mu’awwadlah tanpa mendapatkan imbalan, atau tambahan itu diperoleh karena penangguhan.

Riba terdiri dari dua macam: riba nasi’ah dan riba fadlal[7]. Akan tetapi menurut ulama dalam madzhab Syafi’i, riba terdiri atas tiga macam: riba nasiah, riba yadd, dan riba fadlal yang temasuk di dalamnya riba qardl[8]. Pengertian dari empat jenis riba di atas adalah:
  1. Riba nasi’ah: memberikan hutang kepada orang lain dengan tempo, yang jika terlambat mengembalikan akan dinaikkan jumlah/nilainya sebagai tambahan atau sanksi.
  2. Riba fadlal: menukarkan  barang yang sejenis tetapi tidak sama keadaanya, atau menukarkan barang yang sejenis tetapi berbeda nilainya.
  3. Riba qardl: meminjamkan uang kepada seseorang dengan syarat ada kelebihan/keuntungan bagi pihak pemberi utang.
  4. Riba yadd: pihak peminjam dan yang meminjamkan uang atau barang telah berpisah dari tempat akad sebelum diadakan serah terima.

Riba nasiah lebih dikenal dengan sebutan riba jahiliyah, istilah riba jahiliyah disinggung pada khutbah Rasulullah saw pada saat Haji Wada:

أَلاَ إِنَّ كُلَّ رِبًا مِنْ رِبَا الْجَاهِلِيَّةِ مَوْضُوعٌ لَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لاَ تَظْلِمُونَ وَلاَ تُظْلَمُونَ

Dan sesungguhnya riba jahiliyah itu dihapuskan, bagi kalian adalah induknya, (dengan demikian) kalian tidak berbuat dzalim dan tidak didzalimi (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah dll dari Sulaiman bin ‘Amr)

Adapun hadist yang menyinggung riba fadlal, diriwayatkan dari Abu Sa’id bahwa Rasulullah saw bersabda:

الذَّهَبُ بِالذَّهَبِ وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ يَدًا بِيَدٍ فَمَنْ زَادَ أَوِ اسْتَزَادَ فَقَدْ أَرْبَى

Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, sama-sama dari tangan ke tangan (kontan). Barang siapa yang menambah atau meminta tambahan sungguh ia telah berbuat riba (HR. Bukhari dan Muslim)

Tentang riba qardl, berdasarkan kaidah:

كُلُّ قَرْضٍ جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَ رِبًا

Setiap bentuk pinjaman yang menarik manfaat (bunga)  adalah riba[9]

Mengenai hal ini Ibnu Mundzir juga menyatakan: “Telah menjadi kesepakan para ulama bahwa jika pihak yang meminjamkan mensyaratkan tambahan atau hadiah kepada peminjam. Maka aktivitas utang piutang yang mengambil tambahan statusnya adalah riba. Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ubai bin Ka’ab dan Ibnu ‘Abbas, mereka melarang dari pinjaman yang mengambil manfaat”[10]

Menegenai riba yadd, telah diriwayatkan bahwa Malik bin Aus bin Hadtsan mencari-cari orang yang dapat menukar uangnya 100 dinar, lalu datang Thalhah. Thalhah lalu menjelaskan ciri-ciri barangnya, sampai kemudian Malik mau menerimanya. Tatkala Thalhah mengembil hak uangnya dari Malik ia berkata: ‘Tunggu sampai orang yang membawa uangku sampai di al Ghaba (nama tempat di dekat Madinah)”. Peristiwa itu kemudian didengar oleh Umar seraya berkata: “ Tidak, demi Allah janganlah meninggalkannya sampai ia mengambil pembayarannya”. Rasulullah telah bersabda:

الذَّهَبُ بِالْوَرِقِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالتَّمْرُ بِالتَّمْرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالْبُرُّ بِالْبُرِّ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ وَالشَّعِيرُ بِالشَّعِيرِ رِبًا إِلَّا هَاءَ وَهَاءَ 

Emas dengan perak adalah riba kecuali langsung serah terima, gandum dengan gandum adalah riba keculi langsung serah terima, kurma dengan kurma adalah riba kecuali langsung serah terima, sya’ir dengan sya’ir adalah riba kecuali dengan langsung serah terima (HR. An Nasaai)

Landasan syar'i diharamkannya riba

Karena menguritanya sistem riba, maka Allah menjelaskan larangan riba dengan bertahap. Ayat yang pertama kali turun tentang riba adalah:

Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya). (QS. Ar-Rum [30]: 39)

Ayat ini diturunkan di Makkah, tetapi ia tidak menunjukkan isyarat apapun mengenai haramnya riba. Yang ada adalah isyarat kebencian Allah SWT terhadap riba, sekaligus peringatan supaya berhenti dari aktivitas riba.

Ayat  kedua turun berkaitan dengan tingkah laku Bani Israil. Allah berfirman:

Maka disebabkan kezaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka, dan karena mereka banyak menghalangi (manusia) dari jalan Allah, dan disebabkan mereka memakan riba, padahal sesungguhnya mereka telah dilarang daripadanya, dan karena mereka memakan harta benda orang dengan jalan yang batil. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir di antara mereka itu siksa yang pedih. (QS. An-Nisa [4]: 160-161)

Ayat ini turun sebelum perang Quraidhah pada tahun ke-5 Hijrah atau sebelum perang Bani Nadhir pada tahun ke-4 H. Ayat ini juga bukan dalil haramnya riba karena berkaitan dengan syariat Bani Israil dan hanya menunjukkan bagaimana perilaku orang-orang Yahudi yang dilaknat Allah SWT.

Ayat ketiga adalah firman Allah :

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. Ali ‘Imron [3]: 130)

Ayat ini diturunkan di Madinah, dan  mengandung larangan tegas yang mengharamkan satu jenis riba (riba nasiah). Berarti larangannya masih bersifat terbatas, belum menyeluruh.

Ayat terkakhir sekaligus sebagai penghapus hokum (nasikh al hukmi) pada ayat sebelumnya adalah firman Allah:

Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba (yang belum dipungut) jika kamu orang-orang yang beriman. (QS. Al – Baqarah [2]: 278)

Ayat di atas menjelaskan bahwa riba diharamkan dengan segala bentuknya[11]. Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama kaum muslimin mengenai keharamannya, sebab hal ini telah ditetapkan berdasarkan kitab Allah, as sunnah, dan ijma kaum muslimin termasuk mazdhab yang empat[12].

Memang ada sebagian orang yang membolehkan riba dengan alasan darurat, dengan ungkapan jika umat Islam tidak mengambil riba maka tidak dapat melakukan aktivitas ekonomi sama sekali.[13] Alasan darurat jelas tidak bias dijadikan dalil utnuk membenarkan praktik riba. Karena definisi darurat menurut Jumhur Ulama, diantaranya Imam Suyuthi adalah:

فَالضَّرُورَةُ : بُلُوغُهُ حَدًّا إنْ لَمْ يَتَنَاوَلْهُ الْمَمْنُوعَ هَلَكَ ، أَوْ قَارَبَ وَهَذَا يُبِيحُ تَنَاوُلَ الْحَرَامِ

Sampainya seseorang pada batas suatu keadaan, yang jika orang tersebut tidak melakukan hal-hal yang dilarang, maka ia akan binasa atau mendekati kebinasaaan. Atas dasar ini boleh baginya melakukan yang haram[14]

Pertanyaannya, apakah dengan tidak terlibat dengan transaksi riba dapat menjatuhkan pada kebinasaan atau minimal mendekati kebinasaan?

Ada juga yang beralasan bahwa yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda dengan pembenaran ayat 130 surah Ali ‘Imron di atas. Anggapan ini jelas keliru karena ayat ini telah dinasakh oleh ayat 278 dari surah al Baqarah di atas. Ayat ini dan ayat 289- 281 adalah rangkaian ayat yang turun paling akhir. Syaikh Muhammad Ali al Hasan menjelaskan bahwa ayat ini turun 9 hari menjelang wafatnya Nabi saw. [15]  selain itu lafadz adl ‘afan mudla’afah (berlipat ganda) berfungsi sebagai waqi’atul ‘ain, yaitu penjelasan atas peristiwa yang pernah terjadi pada masa jahiliyah. Yaitu kejinya riba yang berlipat-lipat. [16] Sehigga dari ayat ini tidak bisa ditarik pemahaman bahwa riba yang tidak berlipat ganda hukumnya boleh.

Sebagian orang berpendapat bahwa untuk alasan produktif maka riba diperbolehkan. Alasan seperti ini adalah alasan yang dibuat-buat. Sikap seperti ini adalah perilaku orang munafik dan orang Yahudi yang senantiasa mencari pembenaran aktivitas mereka. Huruf alif dan lam dalam lafadz ar riba adalah lil jinsi atau lil istighraq yang menunjukkan bahwa riba yang dimaksud bersifat umum untuk semua bentuk riba[17]. Baik untuk keperluan yang bersifat produktif maupun konsumtif.

Ancaman Allah dan Rasul terhadap Pelaku riba

1. Ancaman dari al Quran
Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila (TQS. Al Baqarah [2]: 275)
Orang yang memakan harta riba kelak di hari kiamat bagaikan orang yang kesurupan yang tercekik[18]. Tidak sampai disitu, pada QS. Al Baqarah [2]: 276 Allah menyifati orang yang tetap memakan harta riba dengan sebutan kaffar dan atsim, keduanya termasuk sighat mubalaghah, yang artinya menunjukkan banyaknya kekufuran dan banyak berbuat dosa melukiskan bahwa keharaman riba sangat keras sekali, termasuk perbuatan orang kafir dan bukan perbuatan orang-orang Islam.

Imam Ali Ash Shabuni saat menafsirkan surah al baqarah ayat: 297 menyatakan bahwa orang yang memakan harta riba akan berjalan limbung dan sempoyongan karean harta riba yang memberatkan perut-perut mereka[19]. Bahkan orang yang tidak mau meninggalkan perilaku riba berhak untuk diperangi baik di dunia dan di akhirat kelak akan dilemparkan dalam api neraka[20].

2. Ancaman dari Hadist
Riba termasuk dosa besar. Dari abu Hurairah ra bahwasanya Rasul saw bersabda:

اجْتَنِبُوا السَّبْعَ الْمُوبِقَاتِ: ... وَأَكْلُ الرِّبَا

Tinggalkanlah tujuh hal yang dapat membinasakan…. (salah satunya) memakan riba (HR. Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itulah orang yang terlibat dalam praktik riba mendapat laknat (dijauhkan dari kebaikan) dari Allah, sebagaimana diriwayatkan dari jabir:

لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- آكِلَ الرِّبَا وَمُوكِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَالَ هُمْ سَوَاءٌ

Rasulullah saw melaknat orang yang memakan harta riba, yang memberi, pencatat, dan saksi. Mereka semua sama saja (HR. Bukhari dan Muslim)

Bahkan dosa pemakan riba disifati dengan sedemikian menjijikkan dan lebih besar dosanya dari berzina. Dari Abdullah bin Mas’ud, Nabi bersabda:

الربا ثلاثة وسبعون بابا ، أيسرها مثل أن ينكح الرجل أمه

Riba itu mempunyai 73 pintu, sedangkan yang paling ringan adalah seperti seseorang yang bersetubuh dengan ibunya sendiri (HR. Ibnu Maajah dan al Hakim).

دِرْهَمُ رِباً يَأْكُلُهُ الرَّجُلُ وَهُوَ يَعْلَمُ أَشَدُّ مِنْ سِتَّةٍ وَثَلاَثِينَ زَنْيَةً

Satu dirham yang dimakan seseorang padahal ia mengetahuinya maka dosanya lebih besar dari 36 kali berzina  (HR. Ahmad)

C.  Sanksi dari Negara

Saat mengomentari QS. Al Baqarah [2]: 275 Ibnu Abbas ra berkata: “ Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban seorang imam (khalifah) untuk menasihati orang tersebut. Jika mereka masih tetap keras kepala, maka imam boleh memenggal lehernya[21]. Menurut Muhammad Ali as Sais, jika seseorang melakukan riba tetapi tidak bertaubat, maka seorang imam harus menghukumnya dengan hukum ta’zir[22]

Bahaya Riba bagi Kehidupan Manusia

Buya Hamka mengungkapkan bahaya riba, yakni riba merupakan suatu kejahatan yang meruntuhkan hakikat dan tujuan Islam dan iman. Riba menyebabkan hancurnya ukhuwah di antara orang yang beriman dan perselisihan antara sesama manusia. Riba benar-benar merupakan pemerasan manusia terhadap manusia yang lain. Segelintir orang yang menghisap riba dengan enak-enaknya menggoyang-goyangkan kakinya dan dari tahun ke tahun mereka menerima kekayaan yang berlimpah dengan tidak bekerja sama sekali. Sementara orang yang dihisap riba memeras keringat hanya untuk menambah kekayaan orang lain, seolah-olah dia menjadi budak dan sapi perahan.[23]

Allah mengingatkan tentang bahaya riba ini di dalam firmannya QS. Al Baqarah ayat 275, yang artinya “Orang-orang yang memakan riba itu tidak dapat berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila…” . Dalam ayat ini dijelaskan bagaimana keadaan orang yang melakukan riba, yakni merasakan kesusahan dan gelisah walaupun penghasilan dari riba sudah begitu besar. Orang-orang ini diumpamakan sebagai orang yang kacau, gelisah, resah karena kerasukan syaitan.[24]

Salah satu ekonom kapitalis sendiri, Keynes, menyebutkan bahwa riba (maksudnya suku bunga) hanyalah angan-angan manusia belaka, manusia dipaksa untuk menerima riba sebagai sesuatu yang baik dan wajar padahal sebenarnya tidak demikian. Lebih fatal lagi riba telah menyebabkan inefisiensi dan ketidakproduktifan di dalam masyarakat. Riba akan menyebabkan sebagian masyarakat berperilaku malas, eksploitatif dan spekulatif.[25]

Dalam konteks Indonesia sistem riba inilah yang menyebabkan Indonesia terjebak pada utang yang tidak ada habisnya. Saat ini total utang pemerintah mencapai Rp 1. 837 T yang baru akan lunas tahun 2055  dengan asumsi tidak menambah utang baru. Belum termasuk bunga utang yang harus dibayar dengan uang rakyat setiap tahunnya. Apabila pembayaran Bunga utang selama 12 tahun (2001-2012) jika dijumlahkan, maka akan kita dapati sebuah angka yang spektakuler yaitu sebesar Rp. 1.022 trilyun lebih. Sebuah angka yang hampir menyamai APBN pada tahun 2011.

Sistem ekonomi yang adil dan menyejahterakan

Saat ini, sistem kapitalisme dengan riba sebagai salah satu pilarnya telah mencapai puncak kegagalannya. Krisis yang berulang kali menimpa Negara-negara penganut sistem kapitalis menjadi bukti yang menegaskan kesimpulan ini. Kapitalisme tidak pernah lepas dari krisis sejak saat kelahirannya. IMF sendiri telah menghitung bahwa sepanjang 30 tahun teakhir telah terjadi lebih dari 100  kali krisis keuangan di berbagai Negara kapitalis. Krisis keuangan yang paling terkenal adalah Great Depression pada tahun 1929. Kapitalisme juga menjadi penyebab kesenjangan ekonomi yang sangat curam. Data statistik yang dikeluarkan PBB menunjukkan bahwa 3 milyar dari 6 milyar penduduk dunia hidup di bawah garis kemiskinan (pendapatan 2 dollar sehari), sedangkan 1, 2 milyar hidup dengan pendapatan 1 dollar per hari. Sebaliknya kekayaan tiga orang terkaya di dunia sama dengan total produksi nasional 48 negara termiskin; dan kekayaan 200 orang terkaya di dunia lebih besar dari kekayaan 48 % penduduk dunia[26].

Oleh karena itulah diperlukan sistem ekomomi alternatif. Tentu saja bukan sistem ekonomi sosialisme yang telah bangrut. Sistem alternatif itu tidak lain adalah sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam menjamin terwujudnya keadilan dan kesejahteraan, karena beberapa pilar berikut:
 
1. Sistem ekonomi yang berbasis sektor riil
Dalam QS. Al baqarah [2]:275, Allah membantah anggapan orang-orang Yahudi yang menyatakan bahwa jual beli serupa dengan riba. Bantahan Allah sangat tegas bahwa jual beli berbeda secara diametral dengan riba. Allah menghalalkan jual beli dan sebaliknya mengharamkan riba. Dalam menjelaskan perbedaan mendasar antara jual beli dengan riba, Abul A’la al Maududi mengungkapkan sebagai berikut:
  1. Dalam jual beli dua pihak yang berakad sama-sama mendapatkan keuntungan atas kesepakatan jual beli. Pembeli mendapatkan barang yang ia perlukan sedang penjual mendapat keuntungan harta atas modal, tenaga, waktu, dan pikiran yang ia curahkan. Sedangkan dalam riba hanya pihak yang meminjamkan yang mendapatkan keuntungan tanpa mengeluarkan tenaga sedikitpun. Sedangkan pihak peminjam hanya mendapatkan “jangka waktu”. Bahkan jika uang yang dipinjam untuk keperluan konsumtif maka ia tidak mendapatkan apapun.
  2. Dalam perdagangan/jual beli, penjual hanya mendapatkan keuntungan sekali saja. Sedangkan dalam praktik riba pihak yang meminjami senantiasa memperoleh bunga selama masa peminjaman. Bahkan dengan bergesernya waktu maka ia semakin mendapatkan keuntungan yang berlipatganda.
  3. Dalam jual beli seorang penjual akan mendapatkan keuntungan setelah ia mencurahkan waktu, tenaga, pikiran dan seluruh potensi yang ia miliki, sedangkan dalam sistem riba seseorang dapat mendapatkan bunga yang berlipat-lipat hanya dengan uang yang ia miliki.
Oleh karena itulah Islam melarang uang sebagai komoditas yang diperjualbelikan melaui mekanisme ribawi. Misalnya melalui jual-beli valas berjangka, kartu kredit, aktivitas perbankan yang ribawi, bursa saham dengan komoditas berjangka, dsb.  Karena hal ini akan menjadikan kekayaan terakumulasi pada orang tertentu. Sebaliknya sistem Islam hanya membolehkan sektor riil, dengan bentuk-bentuk akad yang telah digariskan seperti syirkah mudhorobah, ‘inan, ‘abdan, dsb. Bahkan Islam mengharamkan menimbun uang atau (menabung) tanpa keperluan tertentu. Allah berfirman:

Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih (QS. At Taubah [9]: 34)

Di sisi lain Islam menjadikan qardhun (pinjaman) sebagai aktivitas yang semata berdimensi kemanusiaan dan tidak ada motif materi sama sekali. Dalam konteks inilah Nabi bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُقْرِضُ مُسْلِمًا قَرْضًا مَرَّتَيْنِ إِلاَّ كَانَ كَصَدَقَتِهَا مَرَّةً

Tidaklah seorang muslim meminjamkan hartanya kepada muslim sebanyak dua kali kecuali salah satunya bernilai seperti shadaqah satu kali (HR. Ibnu Majah)

2. Sistem ekonomi yang melindungi hak milik individu tetapi juga menjaga hak milik bersama (milik umum)

Islam telah menetapkan jenis kepemilikan menjadi tiga macam yakni: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara. Negara bertanggungjawab menjaga ketiga jenis kepemilikan tersebut dengan hukum-hukum syariat. Kepemilikan individu adalah harta yang diijinkan oleh syariat untuk dimiliki dan dikembangkan oleh individu, seperti harta hasil bekerja, waris, hadiah, industri yang boleh dikembangkan oleh individu dsb. Negara bertugas mengamankan harta ini dari berbagai pelanggaran. Negara dan individu manapun tidak boleh merampasnya. Negara tidak boleh merampas harta milik individu ini dengan alasan “nasionalisasi”. Negara hanya boleh memungut zakat harta jika telah tercapai nishabnya dan telah satu haul (satu tahun) atau menarik pajak jika kondisi memaksa untuk memungut pajak dari orang-orang yang kaya.

Kepemilikan umum adalah sumber daya atau fasilitas strategis yang jika diserahkan pada individu maka berakibat terganggunya pemenuhan kebutuhan yang lain dan selanjutnya hal ini berdampak pada terakumulasinya kekayaan pada individu-individu tertentu. Termasuk kepemilikan umum adalah bahan-bahan tambang seperti migas, laut dengan semua potensi yang ada di dalamnya, hutan dengan beragam potensi yang ada di dalamnya. Negara haram menyerahkannya pada swasta baik domestik lebih-lebih asing. Diantara dalilnya adalah bahwa Nabi saw pernah menarik kembali pemberian tambang garam kepada Abyadl bin Hammal setelah mendapat penjelasan bahwa tambang tersebut bagaikan air yang senantiasa mengalir yang tidak pernah habis (HR. Abu Dawud). Sehingga swastanisasi dan liberalisasi SDA hukumnya haram. Maka Negara khilafah tidak akan menyerahkan pengelolaan SDA ini pada swasta, baik di sector hulu hingga hilirnya.

3. Politik ekonomi yang menjamin pemenuhan kebutuhan primer setiap warga negara dan mendorong mereka memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya sesuai kadar kemampuan masing-masing

Politik ekonomi Islam adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan primer setiap individu. Kemajuan ekonomi tidak semata dilihat dari meningkatnya standar hidup atau PDB, tanpa mempedulikan apakah setiap individu mempunyai akses untuk meningkatkan standar hidupnya. Politik ekonomi Islam untuk mewujudkan terpenuhinya kebutuhan primer setiap warga Negara khilafah adalah sebagai berikut:
  1. Kesempatan pendidikan yang sama. Karena belajar adalah kewajiban setiap muslim maka Negara berkewajiban menyediakan pendidikan yang murah (bahkan gratis) namun tetap berkualitas. Dengan persamaan hak pendidikan baik dalam kesempatan maupun kualitas maka pengetahuan dan keterampilan setiap warganya akan meningkat. Dengan pengetahuan dan keterampilan yang meningkat maka akses untuk meningkatkan kesejahteraan juga akan meningkat
  2. Menyediakan lapangan pekerjaan bagi yang mampu bekerja dan mendorong mereka untuk bekerja. Telah diriwayatkan bahwa Rasulullah saw menjabat tangan Sa’ad bin Muadz yang kasar. Ketika Rasul menanyakan hal tersebut, Sa’ad menjawab: “Aku menggali tanah dengan sekop untuk memenuhi kebutuhan keluargaku” . Rasul mencium tangan Sa’ad dan bersabda: “kedua tangan ini adalah tangan yang dicintai Allah SWT”.
  3. Jika ada warga Negara yang tidak mampu bekerja, misalnya karena cacat atau jompo maka keluarganya adalah pihak pertama yang bertanggungjawab. Akan tetapi jika keluarganya juga tidak mampu atau memang tidak memiliki keluarga maka mereka adalah tanggung jawab Negara. Nabi saw bersabda:
مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلأَهْلِهِ وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضَيَاعًا فَإِلَىَّ وَعَلَىَّ


Barang siapa yang meninggalkan harta maka hendaklah mewariskan kepada orang-orang yang menjadi tanggungannya, dan barang siapa yang memunyai hutang atau kesulitan maka datanglah kepadaku, akulah yang menjadi tanggunggannya (HR. Muslim, Abu Dawud)

4. Sistem Moneter  yang Berbasis Emas dan Perak

Rasulullah telah menetapkan emas dan perak sebagai standar moneter Islam, satu-satunya standar bagi harga barang dan jasa. Semua transaksi harus disandarkan pada standar ini. Ketika syariat menetapkan emas dan perak sebagai standar moneter, hampir tidak ada krisis fiskal yang terjadi. Hal ini berbeda dengan keadaan saat ini, ketika mata uang sebuah Negara terkait dengan mata uang Negara lain, yakni dolar AS. Akibatnya setiap krisis ekonomi yang terjadi di AS, maka krisis ini akan mempengaruhi sector ekonomi di seluruh Negara di dunia.

Khilafah masa depan dunia

Ideologi dan negara mana lagi di dunia saat ini yang bebas dari krisis serta dapat menjadi contoh yang baik bagi kaum muslim? Tidak lain adalah ideologi Islam. Ideologi ini telah menjadi bukti sejarah yang mensejahterakan, tidak hanya bagi kaum muslimin namun juga non muslim yang hidup di dalamnya. Ideologi yang sempurna ini telah menjadi cahaya mata peradaban yang setiap mata memandangnya. Ideologi ini pula yang akan memancarkan kebaikan ke seluruh penjuru dunia. Sekaligus memadamkan cahaya kekufuran dan kezdaliman. Oleh sebab itulah maka musuh-musuh Islam senantiasa berupaya menghalangi tegaknya ideologi ini. Mereka membuat beragam stigma negatif dan kampanye buruk terhadap  ideologi ini dan para pengusungnya.

Akan tetapi janji Allah dan kabar gembira dari Rasul-Nya adalah keniscayaan sejarah dan harapan masa depan. Saat seluruh ideologi buatan manusia gagal memberikan jaminan kesejahteraan dan keamanan bagi manusia.

Di sinilah peran dan tanggung jawab ulama sebagai permata-permata umat, sebagi bintang-bintang pemberi cahaya, sebagai bulan purnama pemberi penerangan, sebagai pelanjut perjuangan para nabi menjadi sangat strategis. Untuk menjelaskan kebenaran dan menyingkap kebatilan. Tidak menyembunyikan kebenaran apalagi memanipulasinya. Karena ulama adalah hamba-hamba Allah yang hanya takut kepada Allah.

إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama[1258]. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Al Fathir [35]: 28)

Wallahu ‘alam bi shawab
Banjarmasin, 12 Jumadil Akhir 1433 H

 ==========================

[1] Disampaikan pada Dirasah  Syar’iyyah  ‘Ammah yang diselenggarakan DPD I HTI Kalsel pada hari Sabtu, 13 Jumadil Akhir 1433 H

[2] Anggota LKU DPD I HTI Kalsel

[3] Muhammad Ali ash Shabuni., Tafsir Ayat al Ahkam., I/421; Muhammad Ali as Sais., Tafsir Ayat Ahkam hlm. 162; Tafsir at Thabari I/388; Tafsir al Qurthubi I/348

[4]Muhammad Ali ash Shabuni., ibidem., I/421

[5] At Ta’rifat hlm. 97

[6] Abdurrahman Taj dalam al liwa al Islam ., ed II/1952

[7] Muhammad Ali as Sais., ibidem., hlm. 162

[8] Abdurrahman al Jazairi., al fiqhu ‘ala madzahibil arba’ah, III/202

[9] Wahbah Zuhaili., fiqhul Islam wa adillatuhu., VII/…Sebagian ada yang mengatakan lafazd ini adalah hadist, akan tetapi derjat hadist ini dhaif (subulus salam., IV/224)

[10] Ibnul Qayyim al Jauziyah., Tahzdibu Sunan Abi Dawud wa Idlaahi musykilatihi. II/191)

[11] Tafsir Ibnu Katsir, I/330; Muhammad Ali ash Shabuni., ibidem., I/429; Muhammad Ali as-Sais., Ibidem hlm. 166

[12] Abdurrahman al Jazairi., ibidem. III/202 dan 204

[13] Riba halal Riba Haram. Editor Abu Fuad

[14] As Suyuthi., Asybah wa an-Nadhair. hlm. 61

[15] Muhammad Ali al hasan., al Manar fi ‘ulumil quran. hlm

[16] Wahbah Zuhaili., Nadhariah ad-Dlarurat as Syari’at hlm. 68 dan 240

[17] Hukum Seputar Bunga Bank., Ahmad Daur

[18] Tafsir Ibnu Katsir., I/ 326

[19] Muhammad Ali ash Shabuni., ibidem., I/425

[20] Tafsir at-Thabari., I/ 392

[21] Muhammad Ali as Sais., ibidem., hlm. 167

[22] ibid

[23] Hamka (1968), Tafsir Al-Azhar, III/80.

[24] Ibid, hal 75

[25] Majalah Dialog CSIC, No. 5 Thn. 1998

[26] Anonim., Menyongsong Sistem Ekonomi Anti Krisis., hlm. 18-19
[al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.