Maqalah Ulama-Ulama Sunni Tentang Wajibnya Nashbul Khalifah
1. Hukum Nashbul khalifah adalah Fardhu Kifayah
Pada point pertama ini kami kompilasikan sebagian maqalah para
ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab, terutama madzhab Syafi’I yang
merupakan madzhab kebanyakan kaum Muslimin di Indonesia, tentang
wajibnya imamah atau khilafah. Tentu pernyataan mereka tersebut adalah
merupakan hasil istimbath mereka dari dalil-dalil syara’, baik apakah mereka menjelaskan hal tersebut maupun tidak.
Syeikh Al-Islam Al-imam Al-hafidz Abu Zakaria An-nawawi berkata2:
الفصل
الثاني في وجوب الإمامة وبيان طرقها لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر
السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة
فرض كفاية …
…pasal
kedua tentang wajibnya imamah serta penjelasan metode (mewujudkan) nya.
Adalah suatu keharusan bagi umat adanya imam yang menegakkan agama dan
yang menolong sunnah serta yang memberikan hak bagi orang yang didzalimi
serta menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya
nyatakan bahwa mengurus (untuk mewujudkan) imamah itu adalah fardhu
kifayah.
Al-allamah Asy-syeikh Muhammad Asy-syarbini Al-khatib menjelaskan3:
فَقَالَ
[ فَصْلٌ ] فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَبَيَانِ انْعِقَادِ
طُرُقِ الْإِمَامَةِ .وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ، إذْ لَا
بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ
وَيُنْصِفُ الْمَظْلُومَ مِنْ الظَّالِمِ وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ
وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا ، وَقَدَّمَا فِي الشَّرْحِ وَالرَّوْضَةِ
الْكَلَامَ عَلَى الْإِمَامَةِ عَلَى أَحْكَامِ الْبُغَاةِ …
…maka (pengarang) berkata (pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode in’iqadnya imamah. Mewujudkan imamah yang agung itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
Syeikh Al-Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshari dalam kitab Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab berkata44
Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268:
(فصل)
في شروط الامام الاعظم، وفي بيان طرق انعقاد الامامة، وهي فرض كفاية
كالقضاء (شرط الامام كونه أهلا للقضاء) بأن يكون مسلما حرا مكلفا عدلا ذكرا
مجتهدا ذا رآى وسمع وبصر ونطق لما يأتي في باب القضاء وفي عبارتي زيادة
العدل (قرشيا) لخبر النسائي الائمة من قريش فإن فقد فكناني، ثم رجل من بني
إسماعيل ثم عجمي على ما في التهذيب أو جر همي على ما في التتمة، ثم رجل من
بني إسحاق (شجاعا) ليغزو بنفسه، ويعالج الجيوش ويقوي على فتح البلاد ويحمي
البيضة، وتعتبر سلامته من نقص يمنع استيفاء الحركة وسرعة النهوض، كما دخل
في الشجاعة …
…(Pasal) tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode in’iqad
imamah. Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan (salah satu syarat menjadi imam adalah kavabel untuk
peradilan). Maka hendaknya imam yang agung tersebut adalah muslim,
merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, memiliki visi, mendengar,
melihat dan bisa bicara. Berdasar pada apa yang ada pada bab tentang
peradilan dan pada ungkapan saya dengan penambahan adil adalah (dari
kabilah Quraisy) berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh An Nasa’I: “bahwa para Imam itu dari golongan Quraisy”.
Apabila tidak ada golongan Quraisy maka dari Kinanah, kemudian pria
dari keturunan Ismail lalu orang asing (selain orang Arab) berdasarkan
apa yang ada pada (kitab) At-tahdzib atau Jurhumi berdasarkan apa yang terdapat dalam (kitab) At-tatimmah.
Kemudian pria dari keturunan Ishaq. Selanjutnya (pemberani) agar
(berani) berperang dengan diri sendiri, mengatur pasukan serta
memperkuat (pasukan) untuk menaklukkan negeri serta melindungi kemurnian
(Islam). Juga termasuk (sebagian dari syarat imamah) adalah bebas dari
kekurangan yang akan menghalangi kesempurnaan serta cekatannya gerakan
sebagaimana hal tersebut merupakan bagian dari keberanian …
Ketika Imam Fakhruddin Ar-razi, penulis kitab Manaqib Asy-syafi’i, menjelaskan firman-Nya Ta’ala pada Surah Al-maidah ayat 38, beliau menegaskan5:
…احتج
المتكلمون بهذه الآية في أنه يجب على الأمة أن ينصبوا لأنفسهم إماماً
معيناً والدليل عليه أنه تعالى أوجب بهذه الآية إقامة الحد على السراق
والزناة ، فلا بدّ من شخص يكون مخاطباً بهذا الخطاب ، وأجمعت الأمة على أنه
ليس لآحاد الرعية إقامة الحدود على الجناة ، بل أجمعوا على أنه لا يجوز
إقامة الحدود على الأحرار الجناة إلا للإمام ، فلما كان هذا التكليف
تكليفاً جازماً ولا يمكن الخروج عن عهدة هذا التكليف إلا عند وجود الإمام ،
وما لا يتأتى الواجب إلا به ، وكان مقدوراً للمكلف ، فهو واجب ، فلزم
القطع بوجوب نصب الإمام حينئذٍ
…
para Mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk
mengangkat seorang imam yang spesifik untuk mereka. Dalilnya adalah
bahwa Dia Ta’ala mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas
pencuri dan pelaku zina. Maka adalah merupakan keharusan adanya
seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat
bahwa tidak seorangpun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku
criminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh
(haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku criminal kecuali
oleh imam. Karena itu ketika taklif tersebut sifatnya pasti (jazim) dan
tidak mungkin keluar dari ikatan taklif ini kecuali dengan adanya imam,
dan ketika kewajiban itu tidak tertunaikan kecuali dengan sesuatu, dan
itu masih dalam batas kemampuan mukallaf maka (adanya) imam adalah
wajib. Maka adalah suatu yang pasti qath’inya atas wajibnya mengangkat
imam, seketika itu pula…
Imam Abul Qasim An-naisaburi Asy-syafi’i berkata6:
… أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله { فاجلدوا } هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام فإن ما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek khitab (”maka jilidlah”)
adalah imam. Dengan demikian mereka berhujjah atas wajibnya mengangkat
imam. Sebab, apabila suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya
sesuatu tersebut maka ada sesuatu tersebut menjadi wajib pula.
Al-allamah Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani menyatakan7:
قوله: (هي فرض كفاية) إذ لا بد للامة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينصف المظلوم من الظالم ويستوفي الحقوق ويضعها موضعها…
…perkataannya:
(mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah) karena adalah merupakan
keharusan bagi umat adanya imam untuk menegakkan agama dan menolong
sunnah serta memberikan hak orang yang didzalimi dari orang yang dzalim
serta menunaikan hak-hak dan menempatkan hak-hak tersebut pada
tempatnya…
Dalam kitab Hasyiyata Qalyubi wa Umairah dinyatakan8:
فَصْلٌ
فِي شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَمَا مَعَهُ وَالْإِمَامَةُ فَرْضُ
كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ فَيَجْرِي فِيهَا مَا فِيهِ مِنْ جَوَازِ
الْقَبُولِ وَعَدَمِهِ .
…pasal
tentang syarat-syarat imam yang agung dan hal-hal yang menyertainya.
Imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan maka berlaku di
dalam imamah tersebut apa yang berlaku untuk peradilan baik dalam
kebolehan menerima maupun tidaknya..
Al-allamah Asy-syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi berkata9:
…فِي
شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ
الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ . كَالْقَضَاءِ فَشُرِطَ لِإِمَامٍ
كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ قُرَشِيًّا لِخَبَرِ : { الْأَئِمَّةُ مِنْ
قُرَيْشٍ } شُجَاعًا لِيَغْزُوَ بِنَفْسِهِ وَتُعْتَبَرُ سَلَامَتُهُ مِنْ
نَقْصٍ يَمْنَعُ اسْتِيفَاءَ الْحَرَكَةِ وَسُرْعَةَ النُّهُوضِ كَمَا
دَخَلَ فِي الشَّجَاعَة…
…tentang syarat-syarat imam yang agung serta penjelasan metode-metode sahnya in’iqad imamah.
Dan mewujudkan imamah tersebut adalah fardhu kifayah sebagaimana
peradilan. Maka disyaratkan untuk imam itu hendaknya layak untuk
peradilan (menjadi hakim). (syarat) Quraisy, karena berdasarkan hadits: “bahwa para imam itu adalah dari Quraisy”.
(syarat) Berani, agar berani berperang secara langsung. Begitu pula
(dengan syarat) bebasnya dari kekurangan yang menghalangi kesempurnaan
dan kegesitan gerakan dia sebagaimana masuknya keberanian sebagai salah
satu syarat imamah…
Imam
Al-hafidz Abu Muhammad Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri
mendokumentasikan ijma’ Ulama’ bahwa (keberadaan) Imamah itu fardhu10:
…
واتفقوا أن الامامة فرض وانه لا بد من امام حاشا النجدات وأراهم قد حادوا
الاجماع وقد تقدمهم واتفقوا انه لا يجوز أن يكون على المسلمين في وقت واحد
في جميع الدنيا امامان لا متفقان ولا مفترقان ولا في مكانين ولا في مكان
واحد …
…Meraka
(para ulama’) sepakat bahwa imamah itu fardhu dan adanya Imam itu
merupakan suatu keharusan, kecuali An-najdat. Pendapat mereka sungguh
telah menyalahi ijma’ dan telah lewat pembahasan (tentang) mereka.
Mereka (para ulama’) sepakat bahwa tidak boleh pada satu waktu di
seluruh dunia adanya dua imam bagi kaum Muslimin baik mereka sepakat
atau tidak, baik mereka berada di satu tempat atau di dua tempat…
Berkata Imam ‘Alauddin Al-kasani Al-hanafi11:
…
وَلِأَنَّ نَصْبَ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ فَرْضٌ ، بِلَا خِلَافٍ بَيْنَ
أَهْلِ الْحَقِّ ، وَلَا عِبْرَةَ - بِخِلَافِ بَعْضِ الْقَدَرِيَّةِ - ؛
لِإِجْمَاعِ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ عَلَى ذَلِكَ ،
وَلِمِسَاسِ الْحَاجَةِ إلَيْهِ ؛ لِتَقَيُّدِ الْأَحْكَامِ ، وَإِنْصَافِ
الْمَظْلُومِ مِنْ الظَّالِمِ ، وَقَطْعِ الْمُنَازَعَاتِ الَّتِي هِيَ
مَادَّةُ الْفَسَادِ ، وَغَيْرِ ذَلِكَ مِنْ الْمَصَالِحِ الَّتِي لَا
تَقُومُ إلَّا بِإِمَامٍ ، …
…dan
karena sesungguhnya mengangkat imam yang agung itu adalah fardhu. (ini)
tidak ada perbedaan pendapat diantara ahlul haq. Dan tidak
diperhatikan—perbedaan dengan sebagian Qadariyyah—karena ijma’ shahabat
ra atas hal tersebut, serta urgensitas kebutuhan terhadap imam yang
agung tersebut. Untuk keteritakan terhadap hukum. Untuk menyelematkan
orang yang didzalimi dari orang yang dzalim. Untuk memutuskan
perselisihan yang merupakan obyek yang menimbulkan kerusakan, dan
kemaslahatan-kemaslahatn yang lain yang memang tidak akan tegak kecuali
dengan adanya imam…
Imam Al-hafidz Abul Fida’ Ismail ibn Katsir ketika menjelaskan firman Allah surah Al Baqarah ayat 30 beliau berkata12:
…وقد
استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس
فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم
الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا
يمكن إقامتها إلا بالإمام، وما لا يتم الواجب إلا به فهو واجب.
…dan
sungguh Al Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas
wajibnya mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang
terjadi diantara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong atas
yang didzalimi dari yang mengdzalimi, menegakkan had-had, dan
menganyahkan kerusakan dsb. yang merupakan hal-hal penting yang memang
tidak memungkinkan untuk menagakkan hal tersebut kecuali dengan imam,
dan ãÇ áÇíÊã ÇáæÇÌÈ ÇáÇ Èå Ýåæ æÇÌÈ ( apabila suatu kewajiban tidak akan
sempurna kecuali dengan suatu tersebut maka sesuatu tersebut menjadi
wajib pula).
Imam Al-qurthubi ketika menafsirkan Surah Al-baqarah ayat 30 berkata13:
…
هذه الآية أصل في نصب إمام وخليفة يسمع له ويطاع، لتجتمع به الكلمة، وتنفذ
به أحكام الخليفة. ولا خلاف في وجوب ذلك بين الامة ولا بين الائمة إلا ما
روي عن الاصم …
ثم
قال القرطبي: فلو كان فرض الامامة غير واجب لا في قريش ولا في غيرهم لما
ساغت هذه المناظرة والمحاورة عليها، ولقال قائل: إنها ليست بواجبة لا في
قريش ولا في غيرهم، فما لتنازعكم وجه ولا فائدة في أمر ليس بواجب …
وقال, اي القرطبي, وإذا كان كذلك ثبت أنها واجبة من جهة الشرع لا من جهة العقل، وهذا واضح.
…ayat
ini pokok (yang menegaskan) bahwa mengangkat imam dan khalifah untuk
didengar dan dita’ati, untuk menyatukan pendapat serta melaksanakan,
melalui khalifah, hukum-hukum tentang khalifah. Tidak ada perbadaan
tentang wajibnya hal tersebut diantara umat, tidak pula diantara para
imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-asham …
Beliau
berkata: …Maka kalau seandainya keharusan adanya imam itu tidak wajib
baik untuk golongan Quraisy maupun untuk yang lain lalu mengapa terjadi
diskusi dan perdebatan tentang Imamah. Maka sungguh orang akan berkata:
bahwa sesungguhnya imamah itu bukanlah suatu yang diwajibkan baik untuk
golongan Quraisy maupun yang lain, lalu untuk apa kalian semua
berselisih untuk suatu hal yang tidak ada faedahnya atas suatu hal yang
tidak wajib.
Kemudian
beliau menegaskan: …Dengan demikian maka (telah) menjadi ketetapan
bahwa imamah itu wajib berdasarkan syara’ bukan akal. Dan ini jelas
sekali.
Imam
Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, yang dikenal dengan Ibnu
Adil, ketika menjelaskan firman Allah Ta’ala surah Al-baqarah ayat 30
berkata14:
…وقال
« ابن الخطيب » : الخليفة : اسم يصلح للواحد والجمع كما يصلح للذكر
والأنثى … ثم قال: هذه الآية دليلٌ على وجوب نصب إمام وخليفة يسمع له
ويُطَاع ، لتجتمع به الكلمة ، وتنفذ به أحكام الخليفة ، ولا خلاف في وجوب
ذلك بَيْنَ الأئمة إلاّ ما روي عن الأصَمّ ، وأتباعه …
…
dan berkata Ibn Al-khatib khalifah itu isim yang cocok baik untuk
tunggal maupun plural sebagaimana cocoknya untuk laki-laki dan wanita.
Kemudian beliau berkata: ….ayat ini adalah dalil wajibnya mengangkat
Imam dan khalifah untuk didengar dan dita’ati, untuk menyatukan
pendapat, serta untuk melaksanakan hukum-hukum tentang khalifah. Tidak
ada perbedaan tentang wajibnya hal tersebut diantara para imam kecuali
apa yang diriwayatkan dari Al-asham dan orang yang mengikuti dia…
Berkata Imam Abu al-hasan Al-mirdawi Al-hambali dalam kitab Al-inshaf15:
…بَابُ
قِتَالِ أَهْلِ الْبَغْيِ فَائِدَتَانِ إحْدَاهُمَا : نَصْبُ الْإِمَامِ :
فَرْضُ كِفَايَةٍ . قَالَ فِي الْفُرُوعِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ عَلَى
الْأَصَحِّ . فَمَنْ ثَبَتَتْ إمَامَتُهُ بِإِجْمَاعٍ ، أَوْ بِنَصٍّ ،
أَوْ بِاجْتِهَادٍ ، أَوْ بِنَصِّ مَنْ قَبْلَهُ عَلَيْهِ .
…bab memerangi orang yang Bughat, terdapat
dua faedah. Pertama, mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah. Dia
berkata di dalam al-furu’: fardhu kifayahlah yang paling tepat….
Imam Al-bahuti Al-hanafi berkata16:
…(
نَصْبُ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ) عَلَى الْمُسْلِمِينَ ( فَرْضُ كِفَايَةٍ
) لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةٌ إلَى ذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ
وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ وَاسْتِيفَاءِ
الْحُقُوقِ وَالْأَمْرِ بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَر…
…(mengangkat
Imam yang agung itu) atas kaum Muslimin (adalah fardhu kifayah). Karena
manusia membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama),
menjaga konsistensi (agama), penegakan had, penunaian hak serta amar
ma’ruf dan nahi munkar….
Dalam kitab Hasyiyyatul Jumal disebutkan17:
…فِي
شُرُوطِ الْإِمَامِ الْأَعْظَمِ ، وَفِي بَيَانِ طُرُقِ انْعِقَادِ
الْإِمَامَةِ وَهِيَ فَرْضُ كِفَايَةٍ كَالْقَضَاءِ ( شَرْطُ الْإِمَامِ
كَوْنُهُ أَهْلًا لِلْقَضَاءِ ) بِأَنْ يَكُونَ مُسْلِمًا حُرًّا
مُكَلَّفًا عَدْلًا ذَكَرًا مُجْتَهِدًا ذَا رَأَى وَسَمْعٍ وَبَصَرٍ
وَنُطْقٍ لِمَا يَأْتِي فِي بَابِ الْقَضَاءِ…
…tentang
syarat Imam yang agung dan tentang penjelasan metode in’iqad imamah.
Mewujudkan imamah itu adalah fardhu kifayah sebagaimana peradilan.
(syarat Imam adalah yang layak untuk peradilan). Maka hendaknya dia
muslim, merdeka, mukallaf, adil, laki-laki, mujtahid, cerdas, mendengar,
melihat dan bisa bicara, sebagaimana yang terdapat dalam pembahasan
pada bab tentang peradilan…
Sedangkan dalam kitab Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha dinyatakan18:
…(
وَنَصْبُ الْإِمَامِ فَرْضُ كِفَايَةٍ ) ؛ لِأَنَّ بِالنَّاسِ حَاجَةً
لِذَلِكَ لِحِمَايَةِ الْبَيْضَةِ ، وَالذَّبِّ عَنْ الْحَوْزَةِ ،
وَإِقَامَةِ الْحُدُودِ ، وَابْتِغَاءِ الْحُقُوقِ ، وَالْأَمْرِ
بِالْمَعْرُوفِ وَالنَّهْيِ عَنْ الْمُنْكَرِ ، وَيُخَاطَبُ بِذَلِكَ
طَائِفَتَانِ : أَحَدُهُمَا : أَهْلُ الِاجْتِهَادِ حَتَّى يَخْتَارُوا.
الثَّانِيَةُ : مَنْ تُوجَدُ فِيهِمْ شَرَائِطُ الْإِمَامَةِ حَتَّى
يَنْتَصِبَ لَهَا أَحَدُهُمْ : أَمَّا أَهْلُ الِاخْتِيَارِ فَيُعْتَبَرُ
فِيهِمْ الْعَدَالَةُ وَالْعِلْمُ الْمُوَصِّلُ إلَى مَعْرِفَةِ مَنْ
يَسْتَحِقُّ الْإِمَامَةَ وَالرَّأْيُ وَالتَّدْبِيرُ الْمُؤَدِّي إلَى
اخْتِيَارِ مَنْ هُوَ لِلْإِمَامَةِ أَصْلَحُ .
…(dan
mengangkat imam itu adalah fardhu kifayah) karena manusia memang
membutuhkan hal tersebut untuk menjaga kemurnian (agama), memelihara
konsitensi (agama), menegakkan had, menunaikan hak-hak, dan amar makruf
serta nahi munkar.
Berkata shahibu Al-husun Al-hamidiyyah, Syeikh Sayyid Husain Afandi19:
اعلم انه يجب على المسلمين شرعا نصب امام يقوم باقامة الحدود وسد الثغور وتجهيز الجيش …
“ketahuilah
bahwa mengangkat Imam yang yang menegakkan had, memelihara perbatasan
(negara), menyiapkan pasukan, … secara syar’i adalah wajib”.
Khulashatul qaul,
dapat kita simpulkan bahwa para Ulama’ Mu’tabar dari berbagai madzhab
diatas menegaskan bahwa hukum nasbu al-Imam atau al-Khalifah adalah
wajib. Kifayah atau ain? Adalah Imam al-Hafidz an-Nawawi, antara lain,
yang menjelaskan bahwa kwajiban tersebut masuk kategori fardhu kifayah.
2. Pelaksaan fardhu kifayah.
Suatu hal yang ma’lum
bahwa fardhu itu ada dua macam. Fardhu kifayah dan fardhu ain. Sebagai
kwajiban sebenarnya fardhu kifayah maupun fardhu ain sama, sama-sama
fardhu, meski dari sisi pelaksanaannya berbeda. Imam Saifuddin al-Amidi
dalam kitab al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam menegaskan20:
المسألة الثانية لا فرق عند أصحابنا بين واجب العين، والواجب على الكفاية من جهة الوجوب، لشمول حد الواجب لهما
”
masalah yang ke dua. Tidak ada perbedaan (menurut ashab kita) antara
wajib ain dan wajib kifayah. Dari sisi kwajiban. Karena inklusinya batas
kwajiban untuk keduanya”.
Untuk batasan kesempurnaan pelaksanaan fardhu kifayah Imam Asy-syirazi, dalam kitab Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh, menjelaskan21:
فصل
إذا ورد الخطاب بلفظ العموم دخل فيه كل من صلح له الخطاب ولا يسقط ذلك
الفعل عن بعضهم بفعل البعض إلا فيما ورد الشرع به وقررة تعالى أنه فرض
كفاية كالجهاد وتكفين الميت والصلاة عليه ودفنه فإنه إذا أقام به من يقع به
الكفاية سقط عن الباقين …
”
Fashal. Apabila terdapat khitab dengan lafadz umum maka masuk di
dalamnya siapa saja yang kitab tersebut visible baginya dan perbuatan
tersebut tidak gugur atas sebagian karena perbuatan sebagian (yang
lain), kecuali atas apabila syara’ datang di dalamnya, dan Allah
menetapkan bahwa khitab tersebut adalah fardhu kifayah. Seperti jihad,
mengkafani jenazah, menshalatkan dan menguburkannya. Maka apabila
kwajiban tersebut telah selesai ditunaikan (disini Imam sy-Syirazi
menggunakan kata “aqaama”, bukan “qaama”; dalam bahasa arab kata “aqaama” artinya adalah “ja’alahu yaqumu”22) oleh siapa saja yang mampu, gugurlah (kwajiban) tersebut atas yang lain …”.
Artinya,
menurut Imam Asy-syirazi, apabila fardhu kifayah itu jika belum selesai
ditunaikan maka kwajiban tersebut masih tetap dibebankan diatas pundak
seluruh mukallaf yang menjadi obyek khitab taklif.
Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, dalam kitab Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab menjelaskan23:
…
وغسل الميت فرض كفاية باجماع المسلمين ومعني فرض الكفاية انه إذا فعله من
فيه كفاية سقط الحرج عن الباقين وان تركوه كلهم اثموا كلهم واعلم ان غسل
الميت وتكفينه والصلاة عليه ودفنه فروض كفاية بلا خلاف
“dan
memandikan jenazah itu adalah fardhu kifayah berdasarkan ijma’ kaum
Muslimin. Makna fardhu kifayah adalah apabila siapa saja yang pada
dirinya ada kifayah (kecukupan untuk melaksanakan kwajiban tsb)
telah melaksanakan maka akan menggugurkan beban atas yang lain. Namun
apabila mereka semua meninggalkan kwajiban tersebut, mereka semua
berdosa. Ketahuilah bahwa memandikan mayyit, mengkafaninya,
menshalatinya serta menguburkannya adalah fardhu kifayah, tidak ada
perbedaan pendapat (dalam hal ini)”.
Disini
Imam An-nawawi menegaskan, apabila fardhu tersebut telah dikerjakan
oleh siapa saja yang memiliki “kifayah” maka beban (kwajiban) tersebut
gugur atas yang lain. Tapi, jika semua meninggalkan kwajiban tersebut,
semuanya berdosa.
Al-allamah Asy-syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-malibari menegaskan24:
باب
الجهاد. (هو فرض كفاية كل عام) ولو مرة إذا كان الكفار ببلادهم، ويتعين
إذا دخلوا بلادنا كما يأتي: وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية
سقط الحرج عنه وعن الباقين. ويأثم كل من لا عذر له من المسلمين إن تركوه
وإن جهلوا.
“Bab
Jihad. (jihad itu adalah fardhu kifayah setiap tahun) meski satu kali,
apabila orang-orang kafir berada di negeri mereka, dan menjadi fardhu
‘ain apabila mereka (menyerang) masuk di negeri kita, sebagaimana yang
akan datang (pembaha-sannya); dan hukum fardhu kifayah itu adalah
apabila fardhu kifayah tersebut telah dikerjakan oleh siapa saja yang
memiliki “kifayah” maka akan gugurlah beban atas orang tersebut dan juga
bagi yang lain. Dan berdosa atas setiap orang yang tidak udzur baginya
dari kaum Muslimin apabila mereka meninggalkannya meski mereka bodoh”
Disini Shahibu Fathil Mu’in
menegaskan kembali apa yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi. Beliau
menambahkan catatan bahwa kaum Muslimin yang tidak ada udzur, tapi
meninggalkan kwajiban tersebut berdosa.
Masih tentang fardhu kifayah, Syeikh Imam Nawawi al-Bantani al-Jawi dalam kitab Nihayah Az-zain
menjelaskan hal yang senada dengan yang dijelaskan oleh Imam An-nawawi.
Namun beliau menambahkan bahwa yang melaksanakan kwajiban tersebut bisa
jadi bukan orang yang terkena kwajiban. Beliau berkata25:
باب
الجهاد أي القتال في سبيل الله هو فرض كفاية كل عام إذا كان الكفار
ببلادهم وأقله مرة في كل سنة فإذا زاد فهو أفضل ما لم تدع حاجة إلى أكثر من
مرة وإلا وجب لبعض طلب الجهاد بأحد أمرين إما بدخول الإمام أو نائبه دارهم
بالجيش لقتالهم وإما بتشحين الثغور أي أطراف بلادنا بمكافئين لهم لو
قصدونا مع إحكام الحصون والخنادق وتقليد ذلك للأمراء المؤتمنين المشهورين
بالشجاعة والنصح للمسلمين وحكم فرض الكفاية أنه إذا فعله من فيهم كفاية وإن
لم يكونوا من أهل فرضه كصبيان وإناث ومجانين سقط الحرج عنه إن كان من أهله
وعن الباقين رخصة وتخفيفا عليهم بفرض العين أفضل بفرض الكفاية كما قاله
الرملي وفروض الكفاية كثيرة
“Kitab
Jihad. Maksudnya adalah (jihad) di jalan Allah. Jihad itu adalah fardhu
kifayah untuk setiap tahun, apabila orang-orang kafir berada di negeri
mereka. Paling sedikit satu kali dalam satu tahun, tapi apabila lebih
tentu lebih utama, selama tidak ada kebutuhan lebih dari satu kali. Jika
jihad tidak dilakukan maka wajib atas sebagian (kaum Muslimin) untuk
mengajak jihad, dengan salah satu dari dua cara. Dengan masuknya Imam
atau wakilnya ke negeri mereka (orang-orang kafir) dengan tentara untuk
memerangi mereka atau dengan memanaskan (situasi) perbatasan atau
sudut-sudut (wilayah) negeri kita orang-orang yang kapabel untuk mereka,
jika seandainya mereka, orang-orang kafir tersebut, bermaksud
(menyerang) kita dengan adanya benteng atau parit dan dibawah kendali
para pemimpin yang tidak diragukan yang masyhur dengan keberanian dan
nasehatnya atas kaum Muslimin. Hukum jihad itu fardhu kifayah, karena
apabila siapa saja yang memiliki kafa’ah mengerjakannya meski bukan yang
termasuk yang diwajibkan seperti anak kecil, para wanita atau bahkan
sukarelawan maka gugurlah beban (kwajiban) tersebut dari yang
diwajibkan. Sedangkan yang lain mendapat rukhshah serta keringanan.
Fardhu ‘ain itu lebih utama dibanding fardhu kifayah, sebagaimana yang
dinyatakan oleh (Imam) Ar-ramli. Fardhu kifayah itu banyak …”
Alhasil,
jika kita rangkum penjelasan para ulama’ diatas, fardhu kifayah itu
meski tidak harus semua kaum Muslimin yang mukallaf wajib melaksanakan
layaknya fardhu ‘ain tapi kwajiban tersebut harus dilaksanakan oleh
jumlah yang memiliki “kifayah”. Itu pertama. Kedua,
kwajiban tersebut dianggap terlaksana secara sempurna apabila telah
sempurna ditunaikan. Contoh kwajiban merawat jenazah seorang Muslim yang
dibebankan pada suatu komunitas. Kwajiban yang sifatnya fardhu kifayah
tersebut dikategorikan selesai dilaksanakan apabila jenazah tersebut
telah selesai dimandikan, dikafani, dishalatkan dan dikuburkan. Ketiga,
bagi yang meninggalkan fardhu kifayah tanpa udzur berdosa, dan
pelaksanaan fardhu kifayah itu tidak menutup kemungkinan dilaksanakan
oleh yang diwajibkan.
Nashbul khalifah, berdasarkan ibarah para
ulama’ diatas, adalah fardhu kifayah. Selama kwajiban tersebut belum
ditunaikan secara sempurna maka kwajiban tersebut, tetap dibebankan
diatas pundak seluruh mukallaf dari kaum Muslimin, dan meninggalkan kwajiban yang masuk kategori fardhu kifayah tanpa udzur adalah dosa.
3. Allah SWT tidak akan mentaklifkan sesuatu melebihi isthitha’ah hamba-Nya
Setelah kita simpulkan bahwa nashbul khalifah adalah fardhu kifayah atas kaum Muslimin, pembahasan berikutnya adalah isthitha’ah. Adalah suatu yang ma’ruf bahwa isthitha’ah kaum Muslimin itu berbeda satu dengan yang lain; pemahaman, tenaga maupun harta. Keberagaman ini kadang kala dijadikan hujjah
oleh sebagian kaum Muslimin untuk menyatakan bahwa kaum Muslimin
sekarang ini tidak mampu melaksanakan kwajiban tersebut. Benarkah?
Pengertian isthitha’ah (kemampuan). Allah Tabaraka wa Ta’ala ber-firman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا (البقرة :286)
Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim menjelaskan26:
وقوله “لا يكلف الله نفسا إلا وسعها” أي لا يكلَّف أحد فوق طاقته …
” … dan firman-Nya “
لا يكلف الله نفسا إلا وسعها
adalah bahwa tidak dibebankan pada seseorang melebihi kemampuannya”.
Imam al-Qurthubi dalam Tafsirnya, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, men-jelaskan secara panjang lebar sebagai berikut27:
التكليف
هو الأمر بما يشق عليه وتكلفت الأمر تجشمته; حكاه الجوهري. والوسع: الطاقة
والجدة. وهذا خبر جزم. نص الله تعالى على أنه لا يكلف العباد من وقت نزول
الآية عبادة من أعمال القلب أو الجوارح إلا وهي في وسع المكلف وفي مقتضى
إدراكه وبنيته; وبهذا انكشفت الكربة عن المسلمين في تأولهم أمر الخواطر.
“Taklif
itu adalah perintah untuk hal-hal yang memberatkan padanya dan
(ungkapan) suatu perintah itu membebani artinya bahwa perkara tersebut
telah membebaninya. Itulah yang dikemukakan oleh al-Jauhari. Sedangkan al-wus’u
adalah kemampuan dan kesungguhan. Ini adalah informasi yang sifatnya
pasti. Allah Ta’ala menegaskan bahwa Allah tidak mentaklifkan hamba
sejak turunnya ayat tersebut dengan ibadah baik yang merupakan aktifitas
hati atau anggota tubuh kecuali dalam batas kemampuan seorang mukallaf
dan dalam lingkup pengetahuan serta niatnya. Dengan ayat ini
terangkatlah kesusahan atas kaum Muslimin dalam menjelaskan hal-hal yang
membahayakan”.
Imam al-Baidhawi, dalam kitab tafsirnya, menjelaskan28:
{
لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا } إلا ما تسعه قدرتها فضلاً
ورحمةً ، أو ما دون مدى طاقتها بحيث يتسع فيه طوقها ويتيسر عليها كقوله
تعالى : { يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر } وهو يدل
على عدم وقوع التكليف بالمحال …
لاَ يُكَلّفُ الله نَفْسًا إِلاَّ وُسْعَهَا
Kecuali
apa yang dalam cakupan kemampuannya, sebagai bentuk keutamaan dan
merupakan rahmat (Allah), atau dengan pengertian lain apa yang tidak
melebihi jangkauan kemampuannya, dalam arti bahwa taklif tersebut dalam
lingkup kemampuan manusia serta memudahkannya, sebagaimana firman Allah:
يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر
Firman Allah tersebut menunjukkan bahwa taklif itu tidak jatuh pada hal yang mustahil (dilakukan) …”
Dalam tafsir Lubab At-ta’wil fi Ma’ani At-tanzil yang lebih dikenal dengan Tafsir al-Khazin dinukil riwayat jawaban Imam Sufyan ibn Uyainah ketika ditanya pengertian ayat diatas. Beliau berkata29:
قال
: إلاّ يسرها ولم يكلفها فوق طاقتها وهذا قول حسن ، لأن الوسع ما دون
الطاقة وقيل معناه أن الله تعالى لا يكلف نفساً إلاّ وسعها فلا يتعبدها بما
لا تطيق .
“beliau
berkata kecuali Allah akan memudahkannya dan Allah tidak
mentaklifkannya melebihi kemampuannya dan ini adalah ungkapan yang
bagus. Karena (kata) al-wus’u itu adalah apa yang tidak melebihi kemampuan”.
“(Selanjutnya Imam Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar Asy-syaihi yang lebih dikenal dengan Al-khazin menjelaskan), juga dikatakan bahwa pengertian:
لا يكلف الله نفساً إلاّ وسعها
adalah
bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala tidak mentaklifkan pada manusia kecuali
dalam batas kemampuannya, maka Allah tidak memerintahkan manusia untuk
beribadah dengan hal-hal yang di luar kemampuannya”
Para mufassir terkemuka diatas telah memaparkan secara gamblang pengertian Surah Al-baqarah ayat 286. Benar, bahwa Allah telah menegaskan bi nash ash-sharih
bahwa Dia tidak akan mentaklifkan pada hamba-Nya perkara yang diluar
kemampuannya. Bahkan pada Surah at-Taghabun ayat 16, Allah SWT
memerintahkan kita untuk bertaqwa sesuai dengan isthitha’ah kita. Allah berfirman:
لا يكلف الله نفساً إلاّ وسعهافاتقوا الله ماستطعتم … (التغابن: 16)
Imam Al-hafidz Ibnu Katsir menjelaskan30:
وقوله
تعالى “فاتقوا الله ما استطعتم” أي جهدكم وطاقتكم كما ثبت في الصحيحين عن
أبي هريرة رضي الله عنه قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: “إذا
أمرتكم بأمر فائتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه”
“Dan firman-Nya Ta’ala:
فاتقوا الله ما استطعتم
maksudnya
adalah dengan kesungguhan dan kemampuan kalian, sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam dua kitab shahih dari Abi Hurairah RA. Dia berkata:
bahwa Rasulullah SAW: ” apabila aku perintahkan kalian dengan suatu
perintah maka tunaikan berdasarkan kemampuan kalian, sedangkan perkara
yang aku larang untuk kalian maka jauhilah … “.
Inilah
yang ditegaskan Allah SWT atas kita, Allah tidak mentaklifkan pada kita
suatu perkara yang diluar batas kemampuan kita. Pertanyaannya adalah,
apakah nashbul khalifah litathbiqi syari’atillah merupakan
kwajiban yang diluar batas ke-mampuan kita? Memang, kalau kwajiban
tersebut hanya dilaksanakan oleh individu-individu kaum Muslimin, tentu
akan melampaui batas kemampuan mareka. Tapi bukankah kwajiban nasbu al-khalifah
tersebut adalah fardhu kifayah? kwajiban yang dibebankan terhadap kita
kaum Muslimin secara umum? Artinya, selama kwajiban tersebut belum
tertunaikan maka kwajiban nashbul khalifah tetap dibebankan diatas pundak kita. Seluruh kaum Muslimin.
Jadi nashbul khalifah adalah kwajiban kita semua. Tidak sungguh-sungguh untuk nashbul khalifah, tanpa udzur syar’i,
secara syar’i terkategorikan sebagai penelantaran kwajiban yang
dibebankan Allah pada kita. Apatah lagi diam, menghambat atau bahkan
melawan perjuangan tersebut.
Khulashatul qaul kwajiban nashbul khalifah adalah fardhu atas seluruh kaum Muslimin, dan yang mengabaikan hal tersebut tanpa udzur syar’i berdosa. Wallahu a’lam bi ash-shawab.(Ustadz Musthafa A Murtadlo)
(Footnotes)
2 Imam Al-hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa An-nawawi, Raudhatuth Thalibin wa Umdatul Muftin, juz III hal 433).
3 Mughnil Muhtaj ila Ma’rifati Alfadzil Minhaj, juz 16 hal 287
4 Syaikhul Islam Imam Al-hafidz Abu Yahya Zakaria Al-anshri, Fathul Wahab bi Syarhi Minhajith Thullab, juz 2 hal 268
5 Imam Fakhruddin Ar-razi, Mafatihul Ghaib fii At-tafsir, juz 6 hal. 57 dan 233
6 Imam Abul Qasim Al-hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub Asy-syafi’I An-naisaburi, Tafsir An-naisaburi, juz 5 hal 465
7 Asy-syeikh Abdul Hamid Asy-syarwani, Hawasyi Asy-syarwani, juz 9 hal 74
8 Hasiyata Qalyubi wa ‘Umairah, juz 15 hal 102
9 Syeikh Sulaiman bin Umar bin Muhammad Al-bajairimi, Hasyiyah Al-bajayrimi ala Al-khatib, juz 12 hal 393
10 Imam Al-hafidz Abu Muhammad, Ali bin Hazm Al-andalusi Adz-dzahiri, Maratibul Ijma’ , juz 1 hal 124
11 Imam ‘Alauddin Al-Kassani Al-hanafi, Bada’iush Shanai’ fii Tartibis Syarai’, juz 14 hal. 406
12 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsirul Qur’anil Adzim, juz 1 hal 221).
13 Al-imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah Al-qurthubi, Al-jami’ li Ahkamil Qur’an, juz 1 hal 264-265
14 Imam Umar bin Ali bin Adil Al-hambali Ad-dimasyqi, Tafsirul Lubab fii ‘Ulumil Kitab, juz 1 hal 204
15 Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman Al-mardawi Al-hambali, Al-inshaf fii Ma’rifatir Rajih minal Khilaf ala Madzhabil Imam Ahmad bin Hambal, juz 16 hal. 60 dan 459
16 Imam Mansur bin Yunus bin Idris Al-bahuti Al-hanafi, Kasyful Qina’ an Matnil Iqna’, juz 21 hal. 61
17 Hasyiyyatul Jumal, juz 21 hal 42
18 Al-allamah Asy-syeikh Musthafa bin Sa’ad bin Abduh As-suyuthi Ad-dimasyqi Al-hambali, Mathalibu Ulin Nuha fii Syarhi Ghayatil Muntaha, juz 18 hal. 381
19 Sayyid Husain Afandi, Al-husun Al-hamidiyyah, li Al-muhafadzah ala Al-aqa’id Al-islamiyyah, hal 189.
20 Imam Saifuddin al-Amidi, al-Ihkam fii Ushul al-Ahkam, Juz I hal 100
21 Imam Asy-syirazi, Al-luma’ fii Ushul Al-fiqh hal 82,
22 Lihat Qamusul Maurid, bagian huruf “qaf”
23 Syeikhul Islam Imam al-Hafidz an-Nawawi, Al-majmu’ Syarh Al-muhadz-dzab Juz V Hal 128,
24 Syeikh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari, Fath al-Mu’in, Juz IV hal 206
25 Syeikh Muhammad bin Umar bin Ali bin Nawawi al-Bantani al-Jawi, Nihayah Az-zain, hal 359
26 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir,Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz I hal 737
27 Imam al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an Juz III hal 429
28 Al-Imam Nashiruddin Abu al-Khair Abdullah bin Umar bin Muhammad al-Baidhawi, Anwar at-Tanzil wa Asrar at-Ta’wil, Juz I hal 316
29 Imam Al-khazin, Abu al-Hasan Ali bin Ibrahim bin Umar, Asy-syaihi, Lubab at-Ta’wil fi Ma’ani at-Tanzil, Juz I hal 330
30 Imam al-Hafidz Abu Al-fida’ Ismail Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Adzim, Juz II hal 87
[al-khilafah.org]
Tidak ada komentar