Ditekan Adnan Buyung Nasution, SBY takut bubarkan Ahmadiyah
Buku terbaru Adnan Buyung Nasution
mengungkap sejumlah fakta, di antaranya usaha Buyung ‘menekan’ SBY agar
tidak membubarkan Ahmadiyah. Kalau sama Buyung saja SBY tunduk,
bagaimana menghadapi lawan-lawan politiknya yang lebih dari Buyung?
Kontroversi buku “Nasihat untuk SBY” yang ditulis
oleh Adnan Buyung Nasution terus menggelinding. Buku yang berisi
pengalaman Buyung sewaktu menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden
(Wantimpres) itu dianggap membocorkan rahasia negara.
Presiden SBY dan orang-orang di lingkar elit kekuasaannya
pun dibuat merah telinganya. Maklum, isi buku ini bisa dibilang
menguliti habis performance SBY sebagai presiden yang dianggap
seringkali tidak menghiraukan masukan dari Wantimpres. Sebagai orang
yang merasa paling senior, Buyung begitu teganya mengungkap hal-hal
terkait hubungannya dengan SBY selama menjadi Wantimpres.
Namun, ada hal yang cukup menarik untuk dibongkar dan perlu
diketahui oleh umat Islam. Ketika kaum Muslimin di Indonesia begitu
gencar dan ramai melakukan aksi di berbagai daerah di Indonesia dengan
menuntut pemerintah agar membubarkan kelompok penista akidah Islam
seperti Ahmadiyah, diam-diam Buyung yang waktu itu menjadi anggota
Wantimpres melakukan lobi-lobi khusus untuk menekan SBY agar tidak
membubarkan Ahmadiyah. Padahal, ketika itu kementerian-kementerian
terkait dan aparat penegak hukum, bahkan Presiden SBY sudah dalam posisi
siap membuat kebijakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Apalagi, Ahmadiyah
seringkali melanggar kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah dan umat
Islam.
Dalam bukunya tersebut, aktivis gaek yang selalu ingin
dipanggil “abang” ini mengakui bahwa dirinyalah yang meminta presiden
agar tidak mengeluarkan kebijakan untuk membubarkan Ahmadiyah. Buyung
pernah berkirim surat secara pribadi kepada SBY agar SKB 3 Menteri tidak
dikeluarkan. Beberapa waktu setelah surat itu dikirim, SBY memanggil
Buyung untuk bicara empat mata terkait masalah Ahmadiyah. “Kita tak
boleh mengalah pada tekanan golongan garis keras Islam. Negara tidak
boleh takut, negara tidak boleh kalah,” ujar Buyung kepada SBY.
Kata-kata dari kalimat Buyung terakhir, digunakan oleh SBY ketika
menyikapi insiden Monas 1 Juni 2008, dimana massa umat Islam bentrok
dengan massa Aliansi Kebangsaan dan Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan
(AKKBB).
Namun, demo menuntut pembubaran Ahmadiyah tidak pernah
surut malah makin membesar. Forum Umat Islam (FUI) bahkan mampu
menggalang massa yang luar biasa banyaknya ke depan istana negara. Di
berbagai daerah, umat Islam pun bergerak melakukan demonstrasi massal.
Dukungan tak hanya datang dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), namun
instansi kementerian-kementerian terkait dan aparat penegak hukum juga
mulai mempertimbangkan masukan umat Islam agar Ahmadiyah dibubarkan.
Apalagi, dalam berbagai kesepakatan dengan pemerintah dan umat Islam,
Ahmadiyah seringkali ingkar.
Di tengah gerakan massa Islam yang semakin membesar, Buyung
dengan sangat arogan mengatakan kepada media massa, “Kalau ada golongan
garis keras Islam, entah namanya FPI, HTI, FUI yang selama ini sesumbar
mengancam menyerbu istana, mau menduduki istana, saya akan ada di situ
membela pemerintah. Jangan coba-coba main adu kekerasan. Mati pun untuk
konstitusi, bagi saya tidak apa-apa.”
Sikap
ngotot Buyung dalam membela Ahmadiyah dilakukan dengan cara-cara yang
melanggar aturan sebagai Wantimpres. Buyung misalnya, menerima delegasi
Ahmadiyah secara terang-terangan dan membuat surat rekomendasi kepada
Presiden SBY agar tidak membubarkan Ahmadiyah. Padahal dari beberapa
anggota Wantimpres, hanya empat orang yang setuju agar presiden tidak
membubarkan Ahmadiyah, yaitu Buyung Nasution, Subur Budhisantoso, Prof.
Emil Salim, dan Dr Syahrir.
Anggota Wantimpres lainnya, seperti KH Ma’ruf Amien, dengan
tegas menolak keinginan Buyung dkk. KH Ma’ruf Amien bahkan sempat
bersitegang dengan Buyung, yang kemudian terlontar kata-kata yang tidak
pantas dari Buyung—yang selalu mengaku demokratis—terhadap kiai yang
juga tokoh MUI itu.
Setelah rekomendasi agar SBY tidak membubarkan Ahmadiyah
dikirim oleh Buyung dkk, mereka menanti dengan harap-harap cemas. Mereka
khawatir, SBY akan terpengaruh dengan aksi massa Islam yang kian hari
kian membesar. “Dalam rangka menunggu jawaban presiden, setiap dua kali
sehari saya telepon Hatta Rajasa,” cerita Buyung. Bayangkan, setiap dua
hari sekali, Buyung terus ‘menekan’ SBY dengan menelepon Hatta Rajasa
agar presiden segera mengambil keputusan untuk tidak membubarkan
Ahmadiyah.
Setelah menanti dengan harap-harap cemas, saat menghadiri
resepsi pernikahan seorang anak pejabat di Bandung, Buyung bertemu
dengan SBY. Melalui Hatta Rajasa, SBY meminta Buyung agar datang ke
mejanya dan berbicara empat mata. Terjadi perbincangan antara Buyung dan
SBY sebagaimana diceritakan dalam bukunya:
“Bang Buyung, saya sudah pelajari isi surat
abang dan sudah saya pikirkan kasus Ahmadiyah ini. Abang benar, kita
tidak boleh mengalah pada tekanan golongan garis keras Islam. Sebab,
sekali kita menyerah, mengalah pada mereka, nantinya mereka akan
menuntut lebih jauh lagi, lebih jauh lagi. Habislah negara ini dikuasai
oleg golongan Islam fundamentalis,” demikian ucapan SBY sebagaimana
diceritakan Buyung.
“Saya senang sekali, terima kasih,” jawab Buyung.
“Tapi ada syaratnya, Bang,” kata SBY.
“Saya minta Bang Buyung bicara langsung dengan
tiga menteri itu, Menteri Dalam Negeri, Menteri Agama, dan Jaksa Agung,”
timpal SBY.
Dari dialog tersebut nampaklah bahwa tipikal SBY memang tak mau mengambil risiko sendiri, safety player, sehingga
meminta Buyung Nasution supaya menjelaskan kepada para pembantunya di
kabinet agar tidak setuju dengan keinginan umat Islam untuk membubarkan
Ahmadiyah. Dengan kata lain, SBY tidak berani berhadapan langsung dengan
arus besar yang menuntut pembubaran Ahmadiyah, termasuk arus besar yang
juga terjadi dalam kabinetnya.
Setelah pertemuan di Bandung, Hatta Rajasa benar-benar
mengatur pertemuan antara Buyung, Mendagri, Menteri Agama, dan Jaksa
Agung. Dalam pertemuan yang berlangsung di kantor Hatta Rajasa itu,
Buyung memaparkan alasan-alasannya mengapa ia tak setuju jika Ahmadiyah
dibubarkan. “Saya jelaskan permasalahannya. Mereka mendengarkan pendapat
saya. Ada sedikit perdebatan kecil, tapi tidak ada yang berkeras. Jaksa
Agung (Hendarman Supandji, red) malah sependapat dengan saya.
Sementara Menteri Dalam Negeri Mardiyanto agak banyak melakukan
pembahasan. Rupaya mereka sudah mendengar Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono membenarkan pendapat saya,” cerita Buyung sebagaimana ditulis
dalam bukunya.
Isu soal Ahmadiyah semakin memanas, sehingga terjadi
bentrokan di Monas pada 1 Juni 2008. Peristiwa ini mengakibatkan Ketua
Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dan Panglima
Komando Laskar Islam Munarman mendekam dalam sel penjara. Di luar
dugaan, meski tokoh FPI masuk penjara, namun aksi massa menuntut
pembubaran Ahmadiyah bukannya surut, tapi malah membesar.
Pada 9 Juni 2008, gelombang aksi massa itu memadati istana negara. Mereka bahkan berencana menginap sampai presiden benar-benar
membubarkan Ahmadiyah. Akhirnya, pada hari itu, meski tak mengeluarkan
Keppres pembubaran Ahmadiyah, namun pemerintah mengeluarkan SKB 3
Menteri terkait Ahmadiyah. Keputusan ini disebut oleh Ketua Umum FPI
sebagai keputusan “banci”, karena tidak berani membubarkan Ahmadiyah
yang sudah jelas-jelas melakukan penodaan terhadap ajaran Islam dan
melanggar banyak kesepakatan.
Meski pemerintah telah mengeluarkan SKB 3 Menteri, namun
bagi Buyung perjuangannya mempengaruhi SBY agar tidak membubarkan
Ahmadiyah telah berhasil. Ia merasa bangga telah mempengaruhi SBY agar
tidak membubarkan Ahmadiyah. “SKB 3 Menteri itu paling tidak telah
menunjukkan keberhasilan saya dalam mencegah pembubaran Ahmadiyah,” kata
Buyung bangga.
Cerita ini sedikit menguak sebuah fakta yang sungguh
ironis, yaitu hanya karena tekanan seorang Buyung Nasution yang sangat
sekular dan liberal, Presiden SBY tidak berani membubarkan Ahmadiyah.
Jika menghadapi seorang Buyung saja SBY bisa bertekuk lutut, bagaimana
kalau menghadapi lawan-lawan politiknya yang lebih dari Buyung?
Sudah jadi rahasia umum pula, SBY takut membubarkan
Ahmadiyah karena tekanan dari negara-negara Eropa, termasuk dari para
anggota kongres Amerika. Menyedihkan! (Artawijaya)
________________________________________________________________________________________________
Sebuah pelajaran untuk umat dan bangsa ini pada saat
memilih pemimpin. Mestinya pengalaman itu dijadikan pelajaran, dan
pengalaman ketika memilih pemimpin, adalah sesuatu yang sangat berharga
agar tak lagi mengulangi mengangkat pemimpin yang sesungguhnya tak
berpihak pada umat. Ke depannya, semoga umat dan bangsa ini mau berubah,
kembali ke jalan Yang Haq, sehingga memilih dan menjadikan pemimpin
dari kalangan orang-orang beriman, menegakkan Yang Benar dan memberantas
yang batil!
[salam-online/arrahmah/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar