Politik Santun SBY hanya Topeng untuk Tutupi Dosa
Pencitraan salah satu bentuk ajaran Machiavelli
Berpolitik santun yang berkali-kali diusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada hakekatnya adalah topeng yang digunakan untuk menutupi dosa-dosa poilitik. Di tangan SBY, berpolitik dengan santun diwujudkan dengan pencitraan. Padahal, pencitraan ternyata salah satu bentuk dari ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala cara.
Demikian benang merah dari diskusi bertema “Politik Santun, Antara Retorika dan Kenyataannya” yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa (19/6), di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut guru besar posikologi UI Hamdi Muluk, pakar filsafat politik UI Donny Gahral, dan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier.
Menurut Doni, pernyataan SBY yang berkali-kali minta agar para politisi santun dalam berpolitik, sesungguhnya hanyalah topeng untuk menutupi dosa-dosa politiknya. Ibarat topeng, semakin tebal topeng yang dipakai semakin banyak pula dosa politik yang hendak disembunyikan.
“Daripada sibuk mendefinisikan politik santun, lebih baik kita periksa dosa-dosa SBY. Banyak sekali dosa politik SBY. Antara lain membiarkan APBN untuk menalangi Lapindo, kemudian bailout century dan masih ada lagi. Jadi tidak mengherankan bila dia sibuk memperkenalkan politik santun. Itu semua dimaksudkan untuk menutupi dosa-dosa politiknya,” kata Donny.
Machiavelli
Pendapat senada juga datang dari Hamdi. Dia berpendapat, politik santun yang diwujudkan dengan pencitraan oleh SBY, pada hakekatnya adalah juga bagian dari ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala cara. Lewat pencitraan, SBY berusaha menipu rakyatnya seolah-olah dia adalah presiden yang baik dan penuh perhatian.
Filosof politik Italia yang lahir tahun 1469 di Florence, Italia, dan bernama lengkap Niccolo Machiavelli ini, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Menurut doktrin Machiavelli, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan.
“SBY seperti musang berbulu ayam. Dia sibuk dengan pencitraan, tapi berbagai kebijakannya justru menguntungkan asing dan merugikan rakyatnya sendiri. Dalam berpolitik, seharusnya yang diutamakan adalah manfaatnya yang berujung pada kemaslahatan publik. Kalau dalam praktiknya kepentingan publik terabaikan, itu justru tidak santun namanya,” ujar Hamdi.
Lagi pula, lanjut dia, tidak ada santun dalam politik. Politik itu pertempuran, keras, saling serang. Santun hanyalah jargon kosong yang diulang-ulang. Akan jauh lebih bermanfaat, kalau SBY mengusung politik beretika, berintegritas dan bermartabat. Orang yang berpolitik dengan etika, Integritas, dan bermartabat pasti akan menghindari korupsi dan tidak akan menghalalkan segala cara.
Donny menambahkan, rakyat Indonesia cenderung menerima apa yang tampak dari luar. Akibatnya, politik pencitraan yang dilakukan pemimpin bangsa ini dianggap suatu nilai positif. Padahal, di belakang politik pencitraan itu dipenuhi dengan kebohongan luar biasa.
“Pada Pemilu 2009 lalu, semua capres sama-sama kampanye akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun setelah diteliti, cara yang mereka tempuh baru ketahuan mana yang neolib dan mana yang konstitusional. Pemilu 2014 nanti kita pilih mana? Presiden yang tampil apa adanya tapi konstitusional atau presiden yang santun, tapi dosanya banyak? Semoga 2014 kita mempunya presiden yang tidak santun tapi berpihak kepada publik dan kebijakannya menguntungkan rakyatnya,” tukas Donny.[HTIPress/al-khilafah.org]
Berpolitik santun yang berkali-kali diusung Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada hakekatnya adalah topeng yang digunakan untuk menutupi dosa-dosa poilitik. Di tangan SBY, berpolitik dengan santun diwujudkan dengan pencitraan. Padahal, pencitraan ternyata salah satu bentuk dari ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala cara.
Demikian benang merah dari diskusi bertema “Politik Santun, Antara Retorika dan Kenyataannya” yang diselenggarakan Rumah Perubahan 2.0, Selasa (19/6), di Jakarta. Hadir dalam diskusi tersebut guru besar posikologi UI Hamdi Muluk, pakar filsafat politik UI Donny Gahral, dan mantan menteri keuangan Fuad Bawazier.
Menurut Doni, pernyataan SBY yang berkali-kali minta agar para politisi santun dalam berpolitik, sesungguhnya hanyalah topeng untuk menutupi dosa-dosa politiknya. Ibarat topeng, semakin tebal topeng yang dipakai semakin banyak pula dosa politik yang hendak disembunyikan.
“Daripada sibuk mendefinisikan politik santun, lebih baik kita periksa dosa-dosa SBY. Banyak sekali dosa politik SBY. Antara lain membiarkan APBN untuk menalangi Lapindo, kemudian bailout century dan masih ada lagi. Jadi tidak mengherankan bila dia sibuk memperkenalkan politik santun. Itu semua dimaksudkan untuk menutupi dosa-dosa politiknya,” kata Donny.
Machiavelli
Pendapat senada juga datang dari Hamdi. Dia berpendapat, politik santun yang diwujudkan dengan pencitraan oleh SBY, pada hakekatnya adalah juga bagian dari ajaran Machiavelli yang menghalalkan segala cara. Lewat pencitraan, SBY berusaha menipu rakyatnya seolah-olah dia adalah presiden yang baik dan penuh perhatian.
Filosof politik Italia yang lahir tahun 1469 di Florence, Italia, dan bernama lengkap Niccolo Machiavelli ini, termasyhur karena nasihatnya yang blak-blakan. Menurut doktrin Machiavelli, seorang penguasa yang ingin tetap berkuasa dan memperkuat kekuasaannya haruslah menggunakan tipu muslihat, licik dan dusta, digabung dengan penggunaan kekejaman dan kekuatan.
“SBY seperti musang berbulu ayam. Dia sibuk dengan pencitraan, tapi berbagai kebijakannya justru menguntungkan asing dan merugikan rakyatnya sendiri. Dalam berpolitik, seharusnya yang diutamakan adalah manfaatnya yang berujung pada kemaslahatan publik. Kalau dalam praktiknya kepentingan publik terabaikan, itu justru tidak santun namanya,” ujar Hamdi.
Lagi pula, lanjut dia, tidak ada santun dalam politik. Politik itu pertempuran, keras, saling serang. Santun hanyalah jargon kosong yang diulang-ulang. Akan jauh lebih bermanfaat, kalau SBY mengusung politik beretika, berintegritas dan bermartabat. Orang yang berpolitik dengan etika, Integritas, dan bermartabat pasti akan menghindari korupsi dan tidak akan menghalalkan segala cara.
Donny menambahkan, rakyat Indonesia cenderung menerima apa yang tampak dari luar. Akibatnya, politik pencitraan yang dilakukan pemimpin bangsa ini dianggap suatu nilai positif. Padahal, di belakang politik pencitraan itu dipenuhi dengan kebohongan luar biasa.
“Pada Pemilu 2009 lalu, semua capres sama-sama kampanye akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Namun setelah diteliti, cara yang mereka tempuh baru ketahuan mana yang neolib dan mana yang konstitusional. Pemilu 2014 nanti kita pilih mana? Presiden yang tampil apa adanya tapi konstitusional atau presiden yang santun, tapi dosanya banyak? Semoga 2014 kita mempunya presiden yang tidak santun tapi berpihak kepada publik dan kebijakannya menguntungkan rakyatnya,” tukas Donny.[HTIPress/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar