Citra
“Anda tidak mau disebut radikal. Tidak mau juga disebut fundamentalis. Lantas maunya disebut apa?” tanya wartawan Newsweek kepada saya dalam satu kesempatan wawancara.
++++
Sebutan ‘Islam radikal’ (radical Islam) dan ‘Islam fundamentalis’ (fundamentalist moslem), juga istilah ‘Islam garis keras’ (hard-liner moslem) atau ekstremis Islam memang harus ditolak. Pasalnya, itu semua adalah istilah pejoratif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pejoratif adalah unsur bahasa yang memberikan makna menghina dan merendahkan.
Bahasa
membawa cerita. Demikianlah, tiap sebutan juga pasti mengandung citra
dan cerita tertentu yang telah terbentuk atau dibentuk sebelumnya.
Celakanya, semua sebutan tadi telah memiliki citra yang buruk. “Radikalis”, “Fundamentalis”, “Ekstremis”, “Garis Keras” adalah istilah-istilah dalam wacana (discourse)
yang dikembangkan oleh Barat untuk menyebut kelompok atau individu
Muslim yang menurut mereka eksklusif, doktriner, anti dialog dan
memusuhi Barat serta cenderung pada kekerasan. Sekali Anda melakukan
kekerasan, baik benar-benar Anda melakukan ataupun dibuat seolah-olah
Anda melakukan, maka cap teroris akan melekat. Sekali dicap teroris, maka Anda akan menjadi pesakitan selamanya.
Lihatlah
bagaimana Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) akhirnya dicap sebagai kelompok
teroris. Sebagai organisasi, sesungguhnya JAT tidak pernah terbukti
terlibat dalam kekerasan, bahkan secara tegas mereka ikut mengecam Bom
Bali. Namun, karena Ustadz Abubakar Ba’asyir dituduh ikut terlibat dalam
pelatihan di Janto, Aceh, maka cap teroris itu seolah absah dilekatkan
padanya, meski kemudian di Pengadilan tuduhan itu tidak terbukti.
Itulah dahsyatnya hegemoni wacana. Dan melalui hegemoni itu, Noam Chomsky, profesor linguistik dari Institut Teknologi Massachusetts (MIT), AS, menyebut media Amerika Serikat telah memproduksi consent
(imaji lewat media untuk memberikan sekutunya semacam hak untuk
melakukan sesuatu yang salah secara hukum tetapi berhak untuk tidak
dituntut) ke dalam benak masyarakat. Imaji lewat media itu dilakukan
melalui serangkaian istilah-istilah yang terus disemburkan ke ruang
publik melalui media yang memang telah didominasi Barat. Jadilah publik,
termasuk orang Islam sendiri, percaya bahwa janganlah menjadi orang
Islam yang radikal, fundamentalis dan ekstremis; jangan pula masuk ke
dalam kelompok garis keras (hard liner) karena itu semua adalah buruk.
Melalui
hegemoni wacana, publik juga dipaksa percaya bahwa al-Qaida adalah
benar-benar teroris karena, menurut Pemerintah AS, mereka telah
melakukan kekerasan. Padahal andaipun benar mereka melakukan kekerasan,
sesungguhnya AS dan sekutunya juga melakukan kekerasan, bahkan dengan
skala dan intensitas yang jauh lebih dahsyat dimana-mana. Namun, mengapa
AS dan sekutunya itu tidak pernah disebut teroris?
Pemberitaan media massa, sebagaimana sejarah, adalah realitas tangan kedua (second-hand reality).
Yang kita baca di koran atau kita dengar dan lihat di televisi bukanlah
realitas sesungguhnya, tetapi rumusan atas realitas di lapangan yang
telah diolah oleh reporter, redaktur, termasuk para juru foto dan
kamerawan sesuai dengan garis kebijakan atau ideologi pemberitaan yang
mereka anut. Hasil olahan media itu bisa menampilkan citra yang sangat
berbeda dengan fakta sesungguhnya. Maka dari itu, bila sekadar dari
media, orang memang bisa salah menilai.
Dalam Konferensi Tokoh Umat (KTU) Yogyakarta
pada 10 Juni lalu, ada seorang peserta yang menyebut HTI sebagai
kelompok jalanan karena sering melakukan demo. Orang ini pasti telah
terpengaruh oleh pemberitaan karena memang dari sekian banyak kegiatan
HTI, yang di mata media massa bernilai berita, mungkin adalah aksi demo
itu. Akibat pemberitaan media, tidak sedikit orang yang memang salah
menilai HTI. Jadilah orang mengira kegiatan HTI hanya demo, atau bisanya cuma demo. Padahal kegiatan HTI bukan hanya demo.
Citra
juga bisa terbentuk melalui foto-foto atau gambar yang menyertai
pemberitaan. Ada anggota masyarakat yang takut dengan HTI karena
menganggap HTI itu seram. Rupanya ia telah terpengaruh oleh foto atau
gambar-gambar aksi demo HTI yang oleh fotografernya diambil dari
wajah-wajah peserta aksi yang kebetulan tengah meneriakkan takbir
dengan kepalan tangan ke atas, yang tentu saja kelihatan sangat garang.
Menjelang Konferensi Khilafah di Sydney tahun 2007 lalu saat saya menjadi
salah satu pembicara, media massa di sana mempersoalkan mengapa
Pemerintah Australia memberikan visa kepada saya. Untuk melengkapi
pemberitaan, dan mungkin untuk memberikan kesan seram, dipasang foto close-up saya dengan raut muka yang memang tampak keras dengan judul besar Indonesia Radical Moslem Cleric.
Saya sendiri tidak tahu mereka dapat foto itu dari mana. Namun, membaca
berita itu, ditambah dengan foto dengan wajah yang tampak tidak
bersahabat, pasti orang akan mendapatkan citra kurang bagus.
Namun, percayalah, itu adalah citra yang bersifat sementara. Semua bisa berubah atau diubah ketika terjadi kontak langsung. Melalui pertemuan dengan HTI,
orang akan mendapati fakta yang sesungguhnya tentang HTI, idenya dan
orang-orangnya, yang boleh jadi sangat berbeda dengan kesan atau citra
yang ada di dalam benaknya selama ini. Di sinilah pentingnya kontak atau
pertemuan-pertemuan langsung; bahwa semua citra buruk tentang HTI itu tidaklah benar.
++++
Jadi, Anda maunya disebut apa? Kepada wartawan Newsweek, saya katakan, “Sebut kami, the Truly Moslem atau Muslim yang sebenarnya.”
Ini istilah yang saya reka sendiri, meniru jargon pariwisata Malaysia yang dalam advetorialnya menyebut Malaysia sebagai the Truly Asia atau Asia yang sebenarnya. Saya sendiri tidak tahu apakah istilah itu tepat atau tidak. Insya Allah sih, tepat. Maksudnya, istilah itu menggambarkan bahwa kita, dan tentu umat Islam lain, adalah orang-orang yang meyakini Islam sepenuhnya dan memahami serta mengamalkan seluruh ketentuan Islam dengan sebaik-baiknya.
Mengapa tidak digunakan saja istilah Muslim kaffah? Betul. Semestinya kita tidak kesulitan untuk menyebut siapa diri kita. Namun, itulah yang terjadi. Di era globalisasi seperti
sekarang ini, saat Barat mendominasi hampir seluruh sendi kehidupan,
termasuk mendominasi ruang opini publik, ternyata kita direpotkan dengan
istilah-istilah, hingga kita kesulitan menyebut diri kita sendiri.
Jadi, benarkah HTI itu “kelompok jalanan”? Setengah bercanda, saya katakan kepada peserta KTU yang bertanya tadi, bahwa HTI itu bukanlah kelompok jalanan, tapi “kelompok ruangan” karena kegiatannya lebih banyak di dalam ruangan daripada di jalanan. Buktinya, ya KTU ini.
Setelah sekian lama wawancara, saya balik bertanya kepada wartawan Newsweek, TV ABC dan NBC yang berbarengan mewawancarai saya, “Apakah Anda percaya orang seperti saya ini adalah teroris?” Serentak mereka menjawab, “Oh, no, no…”
Lalu wartawan The Washington Post setelah wawancara dengan enteng nyeletuk, “You are too smart to be Moslem.”
Jadi benarlah, meeting makes changing.
Pertemuan akan merubah semua. Karena itu, mari kita rajin bertemu atau
kontak dengan orang lain. Tentu bukan sekadar kontak, tetapi kontak yang
terarah (ittishalah maqsudah). Dengan kesungguhan dan
penjelasan yang jelas dan tegas disertai keikhlasan yang berangkat dari
semangat tauhid, pertemuan-pertemuan itu insya Allah akan mampu mengubah
sikap orang dari yang semula antipati menjadi simpati; dari menentang
menjadi pendukung. Yakin. [] Jubir HTI -Ismail Yusanto- [al-khilafah.org]
Tidak ada komentar