Header Ads

Daulah Khilafah adalah Titik Awal Reunifikasi Umat Islam Sedunia

DAULAH KHILAFAH ADALAH TITIK AWAL REUNIFIKASI UMAT ISLAM SEDUNIA
Setiap muslim wajib mendukungnya

Oleh : Drs. T. Gultom
Ka. Biro Tangerang

Sekali lagi, tanpa mengurangi rasa hormat, kita harus dengan jujur mengatakan bahwa semua kecaruk-marukan dan keporak-porandaan bangsa ini masih menduduki peringkat tertinggi  sesuguhan yang dapat dihidangkan oleh pemerintah yang terhormat kepada kita segenap warga Negara Indonesia tercinta. Kemiskinan dan kemelaratan rakyat pinggiran, meningkatnya kriminalitas, maraknya kasus narkoba, tingginya konsumerisme dan hedonism di masyarakat serta semakin kokohnya system korupsi adalah merupakan drama berseri yang wajib ditonton masyarakat yang dipersembahkan oleh peragawan-peragawati dan badut-badut Negara. Sebagai warga Negara yang baik tentulah kita harus menerima semua itu tanpa reserve. Bukankah dalam berbagai mukadimah kitab-kitab kenegaraan telah dikatakan bahwa pemerintah itu bekerja adalah demi dan untuk rakyat ? Ya, berarti tentulah , apa yang dihasilkan oleh kinerja pemerintah itu harus kita terima dengan apa adanya, ikhlas setulus-tulusnya, karena semua kecaruk-marukan itu adalah hasil kinerja, hasil jeripayah pemerintah yang kita pilih itu.


Jangan menyesal, karena penyesalan tiada guna. Jangan menangis, karena air mata tidak pernah bisa merubah kenyataan. Jangan getirkan senyummu, karena itu bukanlah solusi yang diharapkan oleh negeri ini. Jangan salahkan siapa-siapa, karena dalam keporak-porandaan bangsa ini tidak ada seorangpun manusia yang harus dipersalahkan. Kalaupun harus ada manusia yang harus diperslahkan, ya…, kitalah orang yang dipersalahkan. Kita semua warga Negara ini, khususnya umat islam itu sendiri. Mengapa ? Karena kita memakai system yang salah ! Sistem demokrasi yang kita anut adalah system yang lebih mengarah terhadap mudharat, system demokrasi  yang  kita pakai itu membuat hidup rakyat semakin sengsara, membuat korupsi makin subur dan menyebar sistematik.

Jangan salahkan para koruptor kita, kasus Wisma Atlit, kasus Hambalang, BLBI, Century, Cek Pelawat serta kasus-kasus korupsi lainnya itu hanyalah sekedar mata ujian untuk lebih mudah mengelompokkan pemberian gelar kehormatan terhadap mereka. Contoh, M.Nazaruddin, oh…, kasus si Wisma, begitu ! Jadi lebih mudah membagi kelompoknya bukan ? Kita tidak boleh menyalahkan mereka orang-perorang secara individu, Karena mereka dipaksa oleh system untuk berbuat seperti itu. Pekerja-pekerja politik kita itu (kalau saya dapat katakan demikian untuk menyebut legislatif) sebetulnya adalah ibarat anak-anak wayang yang harus siap memerankan sebuah lelakon dengan sistematis. Jangan pula terlalu bangga terhadap hasil kinerja KPK yang berhasil menangkap dan memenjarakan para koruptor, karena sesungguhnya….yach…..gitu aja kok repot….! Kecuali KPK itu dapat menciptakan sebuah system yang dapat  menutup celah untuk korupsi, karena kalau hanya mengandalkan hukum juridis dan sekedar penjara, yach….tidak mempan. Coba kalau ada hukum Islam potong tangan, pastilah beres !  Tidak perlu ada penjara. Brani ? Selama kita menganut demokrasi , maka kasus korupsi pastilah berjalan terus. Mengapa !  Coba kita Uraikan sebagai berikut ini.

System politik yang diterapkan di Indonesia adalah demokrasi  termasuk dalam pengertian demokrasi mayoritarian atau dalam bahasa sederhananya “ Suara Terbanyak”. Tentu kita tahu apa makna dari kata suara terbanyak itu. Sebuah partai yang memajukan tokohnya  menjadi bakal calon Presiden  atau bakal calon Caleg, harus mampu meraup suara terbanyak, agar dapat memudahkan apa yang diharapkan. Dengan demikian sang calon Presiden dan atau calon Caleg itu harus dapat dana yang cukup besar, supaya bisa dengan leluasa berkampanye memasarkan dirinya dan partainya. Dari mana dana besar itu? Setiap partai tentunya juga mengharuskan supaya kader-kadernya meraup sura sebesar-besarnya untuk pemenangan karena hanya dengan suara terbanyak itulah partai dan calon yang mereka ajukan bisa sebagai pemenang. Derivasi kemudhorotan lainnya akibat tuntutan dari demokrasi itu adalah kebohongan. Dalam setiap orasi kampanye para calon-calon itu dengan cangkaknya mengumbar janji ini itu, tetapi setelah jadi mereka tidak pernah muncul lagi ke tengah- tengah masyarakat. Mereka tidak menganggap bahwa berbohong itu adalah sebuah dosa.

Selanjutnya, setelah caleg-caleg, bahkan presiden pun menang dan menduduki jabatan, kembali partainya mengharuskan sumbangsih fulus yang besarnya tidak tanggung-tanggung, alih-alih untuk konsolidasi dan pembinaan kader selanjutnya, ujung-ujungnya korupsi adalah solusinya. Sistem pemilihan suara terbanyak ini bukan saja hanya terjadi di kepartaian, tetapi juga terjadi pada setiap organisasi  di negeri ini. Coba kita lihat kasus cek pelawat yang melibatkan ibu nunun. Bukankah mereka itu kasak-kusuk untuk mencari dukungan suara terbanyak demi pemenangan ibu Miranda sebagai deputi senior BI? Untuk “membeli” suara ini tentu butuh fulus yang tidak sedikit. Apa kepentingannya? Ujung-ujungnya adalah merekayasa regulasi dan deregulasi agar mengarah kepada kepentingan elite-elite tertentu. Meskipun harus mengorbakan kepentingan rakyat kecil. Kecaruk-marukan ini bukan ulah orang-perorang secara individu, tetapi mekanisme demokrasilah yang menjadi biang kerok semua itu. Masihkah kita memakai itu? Kita harapkan, kiranya semua komponen bangsa ini perlu member ruang koreksi terhadap penerapan system demokrasi, apakah masih sesuai dengan konsep ke-indonesia-an kita?

Secara perlahan, mari kita melirik penegakkan syariat islam sebagai solusi atas keporak-porandaan negeri ini. Hukum syariah adalah hukum tegas yang tidak mungkin terimbas intervensi oleh siapapun. Memang, banyak pihak yang kurang setuju dengan penegakkan hukum ini karena mereka hanya melihat dari sisi negatifnya sehingga mengasosiasikan bahwa hukum islam itu kejam, tidak manusiawi, buruk dan sebagainya. Mereka tidak melihat sudut positifnya sebagai penegak keadilan yang seadil-adilnya. Hukum islam tidak hanya potong tangan, tetapi mencakup semua tatanan aspek kehidupan manusia di alam semesta ini. Penerapan hukum potong tangan pun mempunyai prosedur peradilan yang maha adil yang tidak sebanding dengan peradilan hukum ala demokrasi. Untuk itu, mari semua para Alim Ulama bersatu membahas ini tinggalkan perselisihan, perbedaan dan sebagainya agar agama dan Negara ini berdiri sesuai dengan harapan kiita. Keadilan tegak dengan seadil-adilnya, ekonomi berjalan pada koridornya, pendidikan menyerap semua lapisan serta semua aspek kehiupan mempunyai tatanan yang sebenarnya termasuk terutama akidah dan kaidah umat.

Tetapi harapan ini tentulah tidak semulus yang kita duga, sebab di negeri ini belum ditegakkan khilafah. Kita masih terlena dengan gemerlapnya keindahan kapitalis, kita masih terbius dengan fenomena pangkat, jabatan, kehormatan dan sebagainya yang bersifat duniawi.  Hedonisme memosisikan kita sebagai raja dunia. Demokrasi menimang-nimang dan meninabobokan kita, gemersik fulus membuat mata merem-melek, lalu terpejam tanpa pernah berbuat apa-apa. Kita lalai dalam menjalankan amanah, padahal mendirikan Daulah Khilafah adalah tanggung jawab moril dan materil bagi semua umat tanpa kecuali. Jangan mengingkari. Mari satukan tangan,bulatkan niat demi keselamatan Negara dan umat. Amin ! [Mabsus Al Fatih/al-khilafah.org]

Sumber : Media Purna Polri Edisi 48

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.