Sulit Seret Kasus Rohingya Ke Mahkamah Kejahatan Internasional
Mahkamah
Kejahatan Internasional (ICC) adalah pengadilan internasional
independen untuk mengadili pelaku kejahatan internasional. Dengan
terbentuknya ICC, dunia internasional berharap agar praktek pemberian
ampunan kepada para pelaku kejahatan serius dapat dihapuskan.
Namun menyeret Myanmar dalam kasus penindasan etnis Muslim Rohingya, ternyata tidak mudah. Demikian dikatakan Heru Susetyo dari Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) dalam diskusi public bertema, “Muslim Rohingya: Lukamu adalah Luka Kami Semua”, di UI, Senin (23/07/2012).
“Secara teori bisa, tapi tidak mudah,” tandasnya.
Heru merinci dua hambatan terbesar menyeret pemerintah Myanmar ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pertama, Myanmar bukanlah Negara yang ikut menandatangani statuta Roma. Statuta ini adalah persetujuan yang disepakati tahun 1998 untuk membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional.
“Jadi agak sulit karena ada hambatan politik dan hukum internasional,” tegas Dosen Fakultas Hukum UI ini.
Ia mencontohkan kasus Umar Basyir selaku Presiden Sudan. Meski ICC sudah mengeluarkan perintah tangkap atas kejahatan Basyir di Darfur, namun tidak serta merta berhasil.
“Selama dia tidak bepergian ke Eropa, maka dia tidak bisa ditangkap,” jelasnya.
Kedua, adalah kesulitan untuk mencari siapa pelaku sebenarnya dari penindasan terhadap etnis Muslim Rohingya.
“Tidak jelas siapa pelakunya. Karena aktor yang berkembang adalah non Negara,” ujar pria yang sempat mengunjungi Myanmar tahun 2009.
Namun Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini menegaskan langkah diplomasi dan pembentukan opini masih menjadi cara efektif menyelesaikan kasus Rohingya di Arakan.
“Kalau perlu boikot Sea Games mendatang di Myanmar,” sarannya. [hidayatullah/al-khilafah.org]
Namun menyeret Myanmar dalam kasus penindasan etnis Muslim Rohingya, ternyata tidak mudah. Demikian dikatakan Heru Susetyo dari Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA) dalam diskusi public bertema, “Muslim Rohingya: Lukamu adalah Luka Kami Semua”, di UI, Senin (23/07/2012).
“Secara teori bisa, tapi tidak mudah,” tandasnya.
Heru merinci dua hambatan terbesar menyeret pemerintah Myanmar ke Mahkamah Kejahatan Internasional.
Pertama, Myanmar bukanlah Negara yang ikut menandatangani statuta Roma. Statuta ini adalah persetujuan yang disepakati tahun 1998 untuk membentuk Mahkamah Kejahatan Internasional.
“Jadi agak sulit karena ada hambatan politik dan hukum internasional,” tegas Dosen Fakultas Hukum UI ini.
Ia mencontohkan kasus Umar Basyir selaku Presiden Sudan. Meski ICC sudah mengeluarkan perintah tangkap atas kejahatan Basyir di Darfur, namun tidak serta merta berhasil.
“Selama dia tidak bepergian ke Eropa, maka dia tidak bisa ditangkap,” jelasnya.
Kedua, adalah kesulitan untuk mencari siapa pelaku sebenarnya dari penindasan terhadap etnis Muslim Rohingya.
“Tidak jelas siapa pelakunya. Karena aktor yang berkembang adalah non Negara,” ujar pria yang sempat mengunjungi Myanmar tahun 2009.
Namun Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini menegaskan langkah diplomasi dan pembentukan opini masih menjadi cara efektif menyelesaikan kasus Rohingya di Arakan.
“Kalau perlu boikot Sea Games mendatang di Myanmar,” sarannya. [hidayatullah/al-khilafah.org]
Tidak ada komentar