Asal tahu saja, negeri ini diperjuangkan kemerdekaannya dari penjajah
adalah oleh umat Islam. Pesantren dan masjid, di antaranya, jadi basis
mengusir penjajah.
Darah umat Islam sudah mengalir deras di negeri ini. Nyawa kaum
Muslimin menjadi saksi (insya Allah mati syahid) perlawanan mereka
terhadap penjajah.
Dengan semangat Islam yang tinggi diiringi pekik takbir yang
menggentarkan musuh, para ulama, kiai, santri, tokoh dan pemimpin umat
saling bersinergi memperjuangkan kemerdekaan Negara ini. Karenanya,
wajar saja, jika umat Islam adalah pemilik sah negeri ini.
Lain halnya, kelompok-kelompok yang ingin keluar dari NKRI, lantaran
mereka memang tak berjuang untuk kemerdekaan negeri ini. Bisa jadi
mereka merasa memiliki ideologi yang sama dengan penjajah.
Jadi, mereka khawatir, kalau nanti merdeka, maka mayoritas Islam yang
mengusir penjajah akan mengendalikan republik ini. Sebut misalnya
kelompok yang menamakan dirinya Rakyat Maluku Selatan (RMS) dan Papua
Merdeka (PM). RMS justru berkolaborasi dengan penjajah Belanda.
Setiap tahun, saat berulang tahun, RMS dan PM mengibarkan benderanya.
Kesamaan ideologi dengan penjajah, membuat RMS, misalnya, merasa gerah
gabung dengan NKRI.
Sebaliknya, umat Islam merasa, karena negeri ini mereka yang
berdarah-darah memperjuangkannya, maka wajar saja jika merekalah yang
mestinya memiliki peran aktif dalam mengatur jalannya Negara ini. Karenanya,
harus diakui, umat Islam adalah pemegang saham terbesar negeri ini.
Umat Islam-lah yang berjihad, berkuah darah, hingga menuju gerbang
el-maut dalam rangka mengusir penjajah. Eh, tapi, ironisnya, setelah
merdeka negeri ini tidak diatur oleh sistem Islam. Yang memimpin pun
bukan dari kelompok mayoritas umat ini—dalam arti pemimpin Islam yang
sesungguhnya.
Ketika sudah disepakati dan ditandatangani Piagam Jakarta sebagai
konstitusi, khususnya untuk mengatur umat Islam sendiri —jadi bukan
sistem Islam secara utuh yang mengatur republik—eh itu pun dianulir lagi
secara sepihak, sehari setelah deklarasi kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Jadi, boleh dibilang, pembatalan tujuh kalimat yang berlaku hanya untuk
kaum Muslimin itu sesungguhnya tidak sah!
Pada 18 Agustus 1945, tanpa melibatkan golongan Islam, dengan
liciknya tujuh kata dalam Piagam Jakarta dihapus. Padahal kalimat
"Ketuhanan, dengan Kewajiban Menjalankan Syariat islam bagi
Pemeluk-pemeluknya" itu jelas-jelas berlaku hanya untuk umat Islam.
Jadi, boro-boro Indonesia waktu itu memberlakukan sistem Islam
sebagai konstitusi negaranya. Lha, tujuh kata yang hanya untuk mengatur
umat Islam saja—tak berlaku bagi golongan lain—itu pun mereka batalkan
secara sepihak. Apalagi jika Islam menjadi konstitusi secara penuh
Negara ini.
Padahal, karena umat Islam yang memperjuangkan kemerdekaan, maka
wajar saja jika republik ini diatur oleh sistem Islam. Wajar pula jika
yang memimpin Negara ini adalah dari golongan Islam. Maksudnya bukan
sekadar KTP-nya Islam, tapi pemimpin Islam dalam arti sebenarnya.
Soekarno, betul dia punya KTP Islam, tetapi dia bukan pemimpin Islam. Pasti,
kaum anti Islam—pihak asing yang berkolaborasi dengan kekuatan
dalam—sudah merancang sedemikian rupa agar setelah "merdeka" jangan
sampai Indonesia diatur oleh sistem Islam.
Karena itu, jangankan sistem dan Konstitusi Islam, tujuh kata dalam
Piagam Jakarta yang hanya mengatur umat Islam saja, terlarang! Mereka
tak sudi jika kaum Muslimin menjalankan syariatnya sendiri. Hati mereka
panas! Otak mereka mendidih, tidak rela umat Islam ini taat dan patuh
kepada ajarannya sendiri!
Ancaman untuk berpisah dengan NKRI sebenarnya itu cuma "gertak
sambal!" Opsir jepang yang disebut-sebut jadi perantara "gertak sambal"
itu pun misterius, tak jelas! Sejarawan Ridwan Saidi menyebut Hatta
telah berbohong dalam hal ini. Artinya, opsir Jepang itu fiktif!
Kalaupun opsir Jepang itu ada dan menjadi calo "gertak sambal" itu,
memangnya kenapa? Apa urusannya? Bukankah Piagam Jakarta itu sudah
ditandatangani pada 22 Juni 1945 oleh Panitia Sembilan, termasuk oleh
wakil Kristen? Dan, setelah keinginan mereka dipenuhi (tujuh kata dari
Piagam Jakarta dihapus) toh ancaman untuk memisahkan diri itu tetap ada
sampai sekarang.
Inilah negeri mayoritas Muslim yang kemerdekaannya mereka
perjuangkan, tapi setelah merdeka, umat mayoritas ini dikadalin dan
ditipu, sehingga sistem Islam tidak berlaku, dan yang memimpinnya pun
bukan dari kalangan Islam. Kasus penghapusan tujuh kata dari Piagam
Jakarta, menunjukkan sejak awal, sudah ada tirani minoritas di republik
ini. Aha… minoritas menindas mayoritas. Mayoritas mengalah pada
minoritas! Mr Sjafroeddin Prawiranegara, Presiden Darurat RI di Bukittinggi, salah seorang tokoh Islam yang dipenjarakan Soekarno
Mayoritas yang tak berdaya. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus pun,
wajar saja, negeri ini tidak benar-benar merdeka. Pihak asing tetap
mengangkangi negeri ini. Kekayaan alam tetap dikuasai asing. Jadi, meski
memiliki aset dan kekayaan alam yang melimpah, sebagian besar rakyatnya
tetap miskin. Meski penjajahan secara fisik dari pihak asing sudah
berlalu, tapi politik, ekonomi, pendidikan, budaya, dan sebagainya tetap
dijajah.
Keterlibatan pihak asing untuk memilih pemimpin negeri ini sulit
dipungkiri. Tak boleh pemimpin Islam yang sebenarnya naik panggung
memimpin negeri ini. Sebagian besar atau 90% lebih aset dan kekayaan
alam negeri ini dikuasai pihak asing. Padahal dalam konstitusinya
jelas-jelas disebut semua kekayaan alam negara ini dikuasai oleh negara
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pendidikan untuk rakyat hanya
slogan kosong. Yang bisa sekolah dan menikmati pendidikan sampai jenjang
tinggi tetap yang punyab duit. Begitu pula dengan budaya sudah lama
disusupi dan dikendalikan pihak asing. Media, khususnya televisi punya
andil besar dalam mengubah perilaku umat Islam menjadi berkelakuan
jahiliyah.
Jadi, meski secara fisik sang penjajah tak ada di sini, tapi semua
aspek kehidupan mereka kuasai dan kendalikan. Bisa dibilang proklamasi
17 Agustus hanyalah secarik kertas yang dibacakan Soekarno untuk
menyatakan tak ada lagi penjajahan fisik. Anehnya, teks proklamasi yang
sesungguhnya terdapat dalam Piagam Jakarta, tak dibacakan Soekarno, tapi
malah dibuat lagi teks proklamasi yang ada coret-coretannya. Padahal
sudah disiapkan teks proklamasi dalam Piagam Jakarta. Tampak sekali
persekongkolan jahatnya. Ingin menafikan unsur Piagam Jakarta dalam
proklamasi kemerdekaan.
Amboi! Lihat, berapa banyak rakyat yang menderita lantaran tak bisa
menikmati proklamasi yang dibacakan Soekarno itu, lantaran ulah para
pengkhianat yang berkolaborasi dengan pihak asing untuk merampok ekonomi
dan kekayaan alam negeri ini?
Jadi, merdeka apanya? Mana 'janji manis' Soekarno dalam waktu 6 bulan
akan memberlakukan sistem Islam di republik ini? Mereka tak kan
memenuhi janji-janji palsu itu, lantaran jika sistem Islam yang berlaku,
mereka tak dapat lagi mengangkangi negeri ini. Rakyat akan benar-benar
merdeka!
Sebagian kalangan Islam, lantaran merasa dikadalin setelah tahu Islam
tidak menjadi sistem bernegara dan bermasyarakat, maka mereka pun
mengadakan perlawanan. Janji manis Soekarno kepada tokoh-tokoh Masyumi
kala itu dan air mata buaya Soekarno di depan Tengku Daoed Beureueh
untuk memberlakukan sistem Islam 6 bulan ke depan pasca kemerdekaan
adalah janji palsu yang membuat kalangan Islam menjadi berang!
Akhirnya, perlawanan umat Islam terpecah menjadi dua kelompok
perjuangan. Kelompok pertama, kelompok yang berjuang lewat parlemen,
dipimpin oleh Masyumi. Kelompok kedua, perlawanan yang dipimpin oleh SM
Kartosuwirjo yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia (NII).
Kekecewaan yang sangat mendalam, membuat Kartosuwirjo mengibarkan
bendera NII—sehingga tawaran sebagai Menteri Pertahanan RI ditolaknya,
karena tak sudi Indonesia memberlakukan sistem yang bukan Islam.Kelompok
ini merasa, kok setelah umat Islam berhasil mengusir penjajah,
Indonesia tak diatur oleh Islam.
Jika Kartosuwirjo berjuang secara fisik, kelompok Islam yang
direpresentasikan dengan Masyumi berusaha memperjuangkan sistem Islam
melalui parlemen. SM Kartosuwirjo: memproklamirkan NII 7 Agustus 1949
Ironis! Kartosuwirjo dengan NII-nya dan politisi Islam melalui
Masyuminya di parlemen—keduanya kandas! Bahkan NII akhirnya
tercabik-cabik tak jelas dan jadi alat mainan intelijen. Sementara
Masyumi dibubarkan! Sejumlah pemimpin Islam bahkan dipenjara oleh
Soekarno.
Lantas, bagaimana "nasib janji manis Soekarno" dalam waktu enam bulan
pasca kemerdekaan yang akan memberlakukan sistem Islam atau minimal
Piagam Jakarta yang memuat tujuh kata itu? Bukankah Piagam Jakarta itu
sudah disepakati dan ditandatangani, tapi dianulir secara sepihak tanpa
melibatkan golongan Islam yang menadatangani kesepakatan itu?
Penganuliran itu jelas tidak sah dan harus batal demi hukum! Mengapa
dari kalangan Islam tak ada gugatan sampai sekarang, setidaknya ke
Mahkamah Konstitusi?! [arrahmah/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar