Header Ads

Komnas HAM: Densus 88 Langgar HAM dan Kesepakatan

Ternyata menurut sumber internal Polri, yang menembak polisi di Solo bukanlah dua orang yang diduga sebagai teroris dan sudah ditembak mati. Nah lo?
 
Entah kebetulan atau disengaja, setiap ada tamu dari Amerika atau sekutunya, aksi terorisme selalu muncul. Dan ending-nya, Detasemen Khusus 88 Mabes Polri selalu sukses menangkap atau mengeksekusi orang-orang yang diduga teroris.
 Terakhir aksi Densus 88 menyebabkan dua orang yang terduga teroris tewas di Solo, Jawa Tengah. Tidak cuma itu, korban lainnya pun harus jatuh dan menjalani perawatan di rumah sakit karena dianiaya anggota Densus 88, padahal yang bersangkutan tidak tahu apa-apa.

Tindakan Densus ini menuai kecaman salah satunya dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Menurut Komisioner Komnas HAM Saharuddin Daming, Densus 88 selalu berdalih atas penegakan hukum memberantas tindak terorisme tetapi dalam pelaksanaannya di lapangan melakukan pelanggaran HAM sekaligus pelanggaran hukum.

Untuk kasus penangkapan tiga tersangka teroris pada 30 Agustus di Solo misalnya. Si pembuat plat nomor palsu bernama Bayu Setiyono tiba-tiba ditangkap tanpa pemberitahuan, tanpa surat penangkapan. Yang paling parah adalah mertua Bayu yang kebetulan berada di TKP ikut menjadi korban penganiyayan aparat. Sehingga korban ini yang tidak tersangkut apa pun, terpaksa harus dirawat di rumah sakit dan mendapat empat jahitan.

“Ini sungguh-sungguh memperlihatkan arogansi kekuasaan yang sangat-sangat berlebihan karena sudah melampaui batas kewenangan!” tegasnya kepada Media Umat, Senin (3/9).

Semestinya, lanjut Daming, Densus 88 itu bertindak secara profesional. Yakni bertindak meminimalkan segala macam ekses dan menggunakan senjata api secara terseleksi dan hanya pada sasaran yang bersifat pelumpuhan.

“Yang terjadi di Solo itu kan tidak mengindahkan semua ini. Semua sasaran ditembak mati, hanya Bayu Setiyono yang ditangkap hidup-hidup. Inilah yang menurut saya menyalahi hasil pertemuan Komnas HAM dengan Densus 88 dan BNPT sekitar Juli 2012,” ungkapnya.

Daming pun mendesak Densus 88 agar mengubah paradigma untuk menghadapi gelombang terorisme. Terorisme ini hanyalah label yang diciptakan oleh negara kepada mereka yang sedang memperjuangkan sebuah ideologi tertentu.

Sudah saatnya negara meninggalkan segala bentuk tindakan represif. “Kalau perlu Densus 88 dibubarkan!” tegasnya.

Karena, lanjutnya, Densus 88 tidak memberikan kebaikan pada iklim keamanan yang kondusif malah yang terjadi sebaliknya, dendam berlawan dengan dendam. Ketegasan Densus 88 pasti akan disambut dengan kenekadan teroris. “Itu terjadi terus-menerus, tidak mungkin ada itu penyelesaiannya,” Daming memprediksi.

Karena Dendam
Senada dengan Daming, Direktur Komunitas Analis Islam Ideologis (CIIA) Harits Abu Ulya menyatakan makin arogan tindakan Densus88 dengan tindakan extra judicial killing-nya dan tindakan-tindakan brutal lainya, maka makin menyemai dendam kusumat yang tak berkesudahan.

Karena itu, jangan dengan mudahnya Badan Nasional Penanggulangan Teroris menebar label “teroris” di hadapan publik, sementara BNPT sendiri sebenarnya ikut andil memunculkan  kekerasan-kekerasan bersenjata yang oleh BNPT diklaim sebagai tindakan terorisme. Fenomena dendam kusumat, kebencian lebih dominan tampak menjadi spirit beberapa aksi “hero” dari orang-orang yang dicap teroris.

Namun sayangnya, stasiun televisi TVOne mendedah teror Solo dengan mengawali tayangan berita “terorisme” mulai dari penyerangan Polsek Hamparan Perak di Sumut, kemudian bom di Kalimalang Bekasi, Bom di Mapolres Cirebon hingga kasus terkahir teror tanggal 17, 18 dan 30 Agustus di wilayah Solo.

Investigasi yang Harits lakukan justru menjelaskan fakta empirik yang sesungguhnya. Dendam menjadi faktor utama yang memicu peristiwa penyerangan polsek Hamparan Perak. Karena sebelumnya Densus 88 dengan cara yang brutal mengeksekusi seorang yang bernama Iwan (Ridwan) di daerah Hamparan Perak karena diduga terlibat perampokan CIMB. Dan sebelumnya Densus 88 juga sudah mengobrak-abrik dan menangkap Ustadz Khoirul Gozhali.

Seorang Taufiq Hidayat yang memimpin aksi balas dendam itu tidak lagi bergerak karena faktor “politik: mendirikan negara Islam” seperti yang dituduhkan oleh BNPT kepada kelompok Taufiq.

Begitu juga seorang Hayyat pemuda canggung meledakkan bom (petasan) di Kalimalang Bekasi yang diletakkan di sepeta ontelnya. Ia bukan bagian dari jaringan manapun, hanya seseorang yang masih melek pikiran dan perasaannya sebagai pemuda Muslim.

Melihat berita yang dirasakan sebagai ketidakadilan yang menimpa orang-orang Muslim tertentu maka memicu rasa pembelaan pada dirinya. “Kemudian secara mandiri berinisiatif melakukan tindakan yang akhirnya dibuat heboh oleh BNPT bersama TVone tersebut!” ungkap Harits.

Tidak jauh beda dengan tindakan Hidayat di Cirebon dan Yosepha di Keponten Solo. Sangat naïf rasanya kalau aksi-aksi “hero” mereka dilabeli terorisme. Tindakan teror mereka sudah tercerabut dari definisi sebuah aksi terorisme yang sesungguhnya. Bahkan orang bisa menyaksikan rencana aski bom Serpong seorang Peppy Fernando justru motif  bisnis (uang) yang mendorong ia merekayasa drama “terorisme”.

Spektrum kekerasan dan tindakan teror tersebut, menurutnya, tidak relevan kalau distempel dengan tindakan “terorisme”.  “Tidak ada satupun evident yang bisa menjelaskan dan dipertanggungjawabkan bahwa langkah mereka semua karena kepentingan politik mendirikan Daulah Islamiyah atau Khilafah Islamiyah,” pungkas Harits.[] joko prasetyo

Sumber: mediaumat edisi 88
 [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.