Header Ads

We Didn't Start The Fire

Oleh : Iwan Januar

Bulan September adalah bulan ‘sakral’ bagi AS dan sekutunya. Karena pada bulan itu dimulai gerakan besar war on terror di seluruh dunia. Termasuk di tanah air. Tapi mengapa setelah 11 tahun setiap bulan September selalu ada ketegangan dan aksi terorisme? Termasuk kenapa di bulan September ini keluar film gila Innocence of Islam? Apakah ini selalu kebetulan belaka?


Dalam hitungan jam seluruh kedubes AS di semua negeri Islam kelihatannya harus meningkatkan kewaspadaan dan pengamanan. Menyusul protes keras di sejumlah negeri Islam atas pembuatan film Innocenses Moslem yang menghina Rasulullah saw. Saya memang belum melihat seperti apa cuplikannya di Youtube, yang mungkin dalam beberapa jam lalu sudah diblokir. Tapi beberapa media online memberitakan konten film itu menggambarkan Rasulullah saw. sebagai homoseks dan pedofil.

Sampai saya meng-upload tulisan ini belum diketahui siapa sebenarnya orang gila yang membuat film ini. Yang sudah pasti diketahui efeknya adalah ketegangan meningkat antara AS dengan beberapa negeri-negeri muslim. Di Benghazi, kedubes AS sudah diserbu massa yang marah. Kedubes AS untuk Libya diberitakan tewas terkena roket massa yang marah.

Kemarahan umat Islam adalah pantas bahkan harus, tapi kalau dikaitkan setiap umat Islam marah maka akan berkembang menjadi terorisme, itu persoalan lain. Tidak semua orang Islam yang hari ini dan beberapa hari kemudian melampiaskan amarahnya kepada ‘big satan’ AS kemudian akan melakukan tindakan brutal.

Tapi kalaupun ada aksi kekerasan seperti di Benghazi, apakah lantas pelakunya the real terrorist? Tidak segampang itu, we didn’t start the fire. Kami bukan yang pertama menyulut api. Api tidak akan menyala bila tidak disulut dan disirami bensin. Bila belakangan aksi pemberantasan terorisme sedang marak di tanah air, mengapa justru film seperti itu bisa dibuat dan beredar di dunia maya? Jadi who made who? Siapa yang sebenarnya memancing ‘terorisme’?

Kerja BNPT – bila memang benar bekerja untuk memberantas terorisme – akan percuma saja, karena bibit terorisme terus menerus diciptakan. Ibaratnya BNTP menyapu ‘kotoran’ yang terus menerus dibuat oleh industri besar terorisme.

Kecuali bila memang untuk itulah sebenarnya diadakan terorisme; untuk menjadi big reason memerangi semangat dakwah umat Islam dalam menegakkan ajarannya. Umat Islam terus dikipasi dengan kemarahan oleh pihak Barat sehingga dari rahim umat akan terus lahir bibit-bibit kemarahan yang kemudian diposisikan sebagai terorisme. Ini berarti ‘vicious circle’ yang sengaja diciptakan oleh rezim Barat.

Di sisi lain, kebijakan war on terror adalah ladang uang yang menggiurkan bagi siapa saja yang mau terlibat di dalamnya. Pemilik industri senjata dan pastinya pasukan elit anti-teror setiap negara sekutu AS.

Kaum industrialis senjata di AS terus membutuhkan ‘pasar’ baru pasca berakhirnya Perang Dingin, Perang Vietnam dan Perang Teluk. Maka seperti dalam film Iron Man 1, Tony Stark disadarkan bahwa sebenarnya dialah yang telah mempersenjatai kaum teroris di dunia. Tapi dunia nyata bukanlah dalam film Hollywood. Bagi industrialis senjata peduli setan dengan siapa customer mereka. Yang penting senjata mereka laku. Mereka menjual senjata baik kepada kelompok teroris maupun kepada negara-negara sekutu AS yang berdiri sebagai pembebek.

Bagi para pejabat militer dan pasukan elit anti-teror, adanya aksi terorisme berarti ladang pendapatan baru. Anggaran yang dialokasikan untuk Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) untuk tahun anggaran 2012 sebesar Rp126.882.800.000, dan rancangaan untuk tahun 2013 sebesar Rp152.156.567.000.

Jadi, alokasi anggaran BNPT mengalami kenaikan dari tahun 2012 sampai tahun 2013 sebesar Rp25,2 miliar dan paling besar adalah kenaikan anggaran dalam belanja barang sebesar Rp25,3 miliar.

Maka perang sengaja diciptakan untuk uang. Itulah yang didapat dari berbagai fakta kebijakan invasi AS pasca 9/11. Semua fakta itu ditulis gamblang Amy dan David Goodman dalam buku mereka Perang Demi Uang. Pemerintah AS terus menerus mengeksploitas keluarga korban WTC untuk mencari legitimasi invasi militer mereka ke Timur Tengah, padahal banyak keluarga korban, tulis Amy dan David, yang tidak punya hasrat ‘balas dendam’ atas serangan 9/11. Tapi semua dikampanyekan pemerintah Bush dan juga Obama untuk meneguhkan hegemoni AS di dunia dan mengeruk keuntungan bagi negeri mereka, para pengusaha mereka – khususnya pejabat Gedung Putih dan Pentagon yang rata-rata merangkap pengusaha –.

Jadi maaf saja untuk Ketua BNPT, Ansyad Mbai, terorisme adalah ‘perang buatan’ negara-negara besar untuk uang dan kekuasaan mereka. Akan tetapi seperti masa penjajahan Belanda, selalu ada pribumi yang mau menjadi ‘abdi dalem’ para londo imperialis.

Kalau bukan buatan, mengapa dulu AS membiayai milisi Osama bin Laden untuk menghantam militer Soviet? Mengapa AS juga tetap menjalin hubungan bisnis dengan keluarga Saudi dan keluarga bin Laden? Mengapa setiap bulan September ketegangan selalu memuncak? Kenapa film gila macam Innocence of Islam yang menghina dan membakar kemarahan umat Islam juga dilaunching bulan September? Apakah ini kebetulan dan selalu kebetulan seperti dalam film India?

Mungkin BNPT menuduh orang seperti saya sebagai penganut fanatik conspiracy theory. Tapi bukankah BNPT juga sebenarnya mengidap penyakit yang sama? Setiap pelaku teror pasti dikaitkan dengan pesantren Ngruki, Jamaah Islamiyyah, dan yang paling dahsyat Mbai juga berspekulasi bahwa ini terkait dengan misi penegakkan syariat Islam dan khilafah Islamiyyah. Sebenarnya ini juga teori konspirasi yang versi BNPT.

Memang ketika tangan menunjuk hidung orang, kita tidak sadar bahwa empat jari yang terlipat justru menunjuk diri kita sendiri. Negara-negara besar dan sekutunya, juga BNPT dan Densus 88 menunjuk orang lain, padahal siapa yang pertama kali menyulut api terorisme? Arogansi dan hegemoni AS dan sekutunyalah yang sebenarnya membidani lahirnya berbagai aksi terorisme di dunia. Kami, seperti kata Billy Joel, we didn’t start the fire. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.