Header Ads

Kriminalisasi Syari’at Islam atas nama HAM

Kasus bunuh bunuh diri seorang remaja putri PE, pada kamis (6/9/12) lalu telah menjadi berbuntut panjang. PE sebelum peristiwa bunuh diri sempat ditangkap oleh aparat WH pada 3/9 dinihari. Awalnya peristiwa ini tidak banyak menarik perhatian, kecuali hanya oleh media lokal.


Namun pasca ditemukannya surat dari PE yang berisi sejumlah pengakuan mengenai bantahan atas penangkapan dan pemberitaan media,  mulailah peristiwa ini menarik perhatian dari media nasional dan sejumlah lembaga nasional seperti Komnas perempuan, Komnas PA dan kontraS. Padahal surat tersebut menurut hemat penulis, yang termasuk pihak yang awal-awal membacanya selain kelurga, tidak mengindikasikan kepada keinginan bunuh diri. Namun lebih kepada bantahan terhadap opini dan keinginan untuk pergi jauh untuk sementara.

Namun yang patut disayangkan adalah hal tersebut dimanfaatkan untuk mendiskreditkan dan menjelek-jelekkan syariat Islam. Tanpa melihat  faktor-faktor keluarga, pendidikan dan kejanggalan peristiwa

Komnas perempuan misalkan menyebutkan bahwa peristiwa ini terjadi adalah akibat penerapan penerapan kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan yang mengatasnamakan agama dan moral. Bahkan lebih jauh dalam siaran persnya komnas perempuan menyebutkan bahwa Sebanyak 207 dari 282 kebijakan tersebut secara langsung diskriminatif terhadap perempuan. Diantaranya, ada 60 kebijakan memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, 96 kebijakan mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan tentang prostitusi dan/atau pornografi, 38 kebijakan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam yang mewajibkan perempuan untuk berpergian hanya bila ada pendamping (muhrim) pada rentang jam tersebut, dan 7 kebijakan yang membedakan perempuan dan laki-laki dalam menikmati haknya untuk bekerja lewat aturan tentang penempatan tenaga kerja di luar negeri. (komnasPerempuan.or.id, 14/9/12 ).

Pihak KontraS dalam konferensi persnya di kantor yayasan KontraS Jakarta melalui Feri kusuma kepala biro pemantauan komisi untuk orang hilang untuk mengatakan, dilihat dari keseharian masyarakat Aceh yang memang berpakaian muslim yang pas dengan kepribadian Aceh. Namun, perkembangan tren yang terus maju tidak bisa dihambat dan tidak bisa menghentikan masyarakat Aceh, khususnya perempuan untuk berpakaian mengikuti tren. Latar belakang karena perkembangan berbusana ini menjadikan adanya kebijakan di Aceh, namun pada kenyataannya berbagai peraturan yang dibangun atas perda syariah malah menimbulkan diskriminasi pada perempuan. (beritasatu.com, 14/9/12)

Kesimpulan-kesimpulan ini sangat berlebihan dan terkesan dipaksakan. Bahkan dapat jelas-jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap syariat Islam. Seperti aturan syariat yang mengenai busana yang menutup aurat dan khalwat.

Bukankah selama ini memang segala sesuatu memiliki batasan dan standar. Atas nama profesi, pihak perusahaan, misalkan, menerapkan standar tertentu terhadap busana pegawainya. Lalu mengapa ini tidak dikatakan sebagai diskriminasi atas nama profesi. Dan apakah ketika ada yang diduga bunuh diri pasca ditangkap WH, lalu hukum syariat yang dijadikan sebagai penyebab. Dan hukum syariat ini harus dihapus? Bagaimana misalkan ada yang bunuh diri karena faktor hutang, lalu hutang dihapus atau dibatalkan dalam kehidupan. Bahkan banyak orang yang dibunuh karena faktor hutang, namun belum pernah ada yang berpendapat bahwa hutang dihapus dalam kehidupan.

Artinya motif mereka yang sebenarnya adalah motif ideologi. Mereka menginginkan agar para perempuan dibebaskan untuk mengekspresikan hawa nafsunya. seperti pacaran, keluar rumah dengan membuka aurat, berkhalwat, bahkan bebas untuk melakukan pornografi dan prostitusi. Maka jika demikian yang Komnas perempuan dan KontraS maksud dengan Syariat Islam diskriminasi hak-hak perempuan dengan mengatasnamakan agama dan moral. Maka kita wajib balik bertanya pada mereka. Apakah dengan atas nama hak-hak perempuan, lalu bebas untuk melanggar nilai-nilai agama dan moral. Apakah mereka memperTuhankan  SWT ataukah mereka mempertuhankan hawa nafsunya?

Padahal, bukankah keimanan kita menyatakan bahwa kaum muslim harus selalu mengikatkan aktivitasnya pada aturan syariat, sebagaimana firman-Nya “Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan mereka menerima sepenuhnya” ( an-Nisâ: 65 )

Maka jelas sudah bagi kita bahwa ide HAM, kebebasan berpendapat, atau ide dan jargon mengenai hak-hak atas perempuan adalah ide kufur ciptaan barat, buah dari sistem dan ideologi kapitalisme. Yang lahir dari akidah sekularisme, yakni akidah yang memisahkan antara agama dan kehidupan. Yang oleh karena itu, haram bagi kita umat Islam untuk mengadopsi, menerapkan dan menyebarluaskan ide-ide bathil yang kufur tersebut.  “Apakah kalian beriman kepada sebagian kitab dan kufur terhadap sebagian. Maka tidak ada balasan bagi orang yang melakukan hal tersebut di antara kalian kecuali kenestapaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan ke dalam siksa yang amat pedih. Dan Allah tidak lalai terhadap apa yang kalian lakukan” (al-Baqarah: 85).

Rangkaian peristiwa tersebut dan peristiwa-peristiwa lainnya semakin menegaskan kepada kita ide HAM, baik yang mengatasnamakan perempuan maupun mengatasnamakan anak, selalu saja bersikap diskriminatif terhadap Islam. Ketika kaum Muslim di Bali tidak dapat beribadah ke masjid saat perayaan nyepi, saat sekolah di Bali dan Kupang melarang wanita Muslimah mengenakan jilbab, saat ada perusahaan yang melarang pegawainya shalat jumat, atau berjilbab disejumlah kota besar. Ternyata tidak ada pembelaan dari para penggiat HAM bahwa itu melanggar HAM, terserah, baik mengatasnamakan perempuan, kaum minoritas, anak, beribadah dan lain-lain. Namun ketika ada peristiwa yang dapat digunakan untuk menyerang Islam, baik syariat maupun  akidahnya, maka ramai-ramai muncul tudingan disana-sini terhadap syariat maupun akidah Islam.

Sebaliknya kaum muslim harus menjadi semakin yakin bahwa hanya dengan syariat Islam sajalah kemuliaan yang hakiki itu dapat diraih. Karena syariat akan menjamin hak-hak dasar manusia. Bukan seperti dalam ide HAM yang membebaskannya dengan liar. Namun syariat Islam akan mengarahkannya kepada keluhuran dan kemuliaan maretabat manusia.

Dan penerapan syariat yang kita inginkan tentu bukan yang parsial seperti di daerah kita. Namun yang kita harapkan dan inginkan adalah syariat Islam yang kaffah. Yang tidak hanya menerapkannya dalam masalah busana, namun juga penerapan syariat Islam yang mengatur masalah ekonomi, pendidikan, pergaulan, sanksi, termasuk politik dan pemerintahan. (Artikel ini telah dimuat di harian Serambi, 11 oktober 2012).

*) Penulis adalah aktivis Hizbut Tahrir Indonesia Kota Langsa
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.