Ustadz Fahmi Salim: Ucapan selamat Natal, bila tidak haram minimal syubhat
Di dalam alQur'an surah al Maidah: 72-73 diterangkan
hukum orang yang meyakini Isa AS adalah Allah dan menganggapnya satu
dari tiga oknum Tuhan (tsalitsu tsalatsah) bahwa mereka telah kafir.
Hal itu disampaikan anggota Komisi Pengkajian dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustadz Fami Salim kepada arrahmah.com, Sabtu (22/12) Jakarta ketika menerangkan status hukum yang orang yang meyakini trinitas.
"Demikian pula surah Maryam 88-92 mengecam keyakinan bahwa Allah memiliki anak, sehingga langit pecah, bumi lantak dan gunung hancur karena dakwaan kesyirikan seperti itu," Ujarnya.
Lanjut pria yang juga Wasekjen MIUMI ini, Nabi saw mencontohkan seorang Muslim untuk membalas salam orang Yahudi dengan balasan yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki mereka, seperti wa 'alyka assaamu (bukan assalamu). Para sahabat seperti Khalifah Umar melarang umat muslim untuk ikut merayakan dan menunjukkan kesenangan pada hari raya orang kafir dan musyrik.
"Karena "hari itu laknat Allah turun kepada mereka" sehingga tidak pantas kita ucapkan selamat," jelas Ustadz Fahmi.
Terkait persoalan ucapan selamat hari raya non Muslim yang dinilai sebagian pihak tidak terlarang, menurut alumni Al Azhar Kairo ini, ucapan selamat hari raya non-muslim relatif bisa mengandung keridhaan terhadap akidahnya. Namun, bisa juga tidak mengandung keridhaan terhadap akidahnya, hanya sekedar basa-basi pergaulan sosial. Tetapi, minimal hal tersebut perkara syubhat. Sebaiknya muslim bersikap hati-hati dengan menjauhi perkara yang syubhat seperti ucapan selamat hari raya non-Muslim.
" Sebab 'siapa yang jatuh dalam syubhat hampir saja dia melanggar yang haram dan siapa yang menjauhinya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya' sebagaimana hadis sahih dari Rasul," ulasnya.
Ucapan selamat Natal misalnya, selain bernuansa sosial juga bermuatan teologis, karena bagi mereka Natal itu adalah hari kelahiran Tuhan yaitu Yesus. "Sehingga mereka senang menerima ucapan selamat yang bisa menguatkan keyakinannya," tutur Ustadz Fahmi.
Sementara itu, pembolehan ucapan selamat hari raya non Muslim dengan alasan toleransi dan kerukunan umat beragama, menurutnya tidak relevan. Karena, toleransi dalam Islam adalah menghormati dan membiarkan umat lain menjalankan keyakinan dan ibadahnya sesuai agamanya.
" Tapi, tidak harus kita dipaksakan untuk membangun toleransi dengan mengucapkan selamat hari raya non Muslim," tutupnya. [arrahmah/www.al-khilafah.org]
Hal itu disampaikan anggota Komisi Pengkajian dan Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Ustadz Fami Salim kepada arrahmah.com, Sabtu (22/12) Jakarta ketika menerangkan status hukum yang orang yang meyakini trinitas.
"Demikian pula surah Maryam 88-92 mengecam keyakinan bahwa Allah memiliki anak, sehingga langit pecah, bumi lantak dan gunung hancur karena dakwaan kesyirikan seperti itu," Ujarnya.
Lanjut pria yang juga Wasekjen MIUMI ini, Nabi saw mencontohkan seorang Muslim untuk membalas salam orang Yahudi dengan balasan yang sesuai dengan maksud yang dikehendaki mereka, seperti wa 'alyka assaamu (bukan assalamu). Para sahabat seperti Khalifah Umar melarang umat muslim untuk ikut merayakan dan menunjukkan kesenangan pada hari raya orang kafir dan musyrik.
"Karena "hari itu laknat Allah turun kepada mereka" sehingga tidak pantas kita ucapkan selamat," jelas Ustadz Fahmi.
Terkait persoalan ucapan selamat hari raya non Muslim yang dinilai sebagian pihak tidak terlarang, menurut alumni Al Azhar Kairo ini, ucapan selamat hari raya non-muslim relatif bisa mengandung keridhaan terhadap akidahnya. Namun, bisa juga tidak mengandung keridhaan terhadap akidahnya, hanya sekedar basa-basi pergaulan sosial. Tetapi, minimal hal tersebut perkara syubhat. Sebaiknya muslim bersikap hati-hati dengan menjauhi perkara yang syubhat seperti ucapan selamat hari raya non-Muslim.
" Sebab 'siapa yang jatuh dalam syubhat hampir saja dia melanggar yang haram dan siapa yang menjauhinya dia telah menyelamatkan agama dan kehormatannya' sebagaimana hadis sahih dari Rasul," ulasnya.
Ucapan selamat Natal misalnya, selain bernuansa sosial juga bermuatan teologis, karena bagi mereka Natal itu adalah hari kelahiran Tuhan yaitu Yesus. "Sehingga mereka senang menerima ucapan selamat yang bisa menguatkan keyakinannya," tutur Ustadz Fahmi.
Sementara itu, pembolehan ucapan selamat hari raya non Muslim dengan alasan toleransi dan kerukunan umat beragama, menurutnya tidak relevan. Karena, toleransi dalam Islam adalah menghormati dan membiarkan umat lain menjalankan keyakinan dan ibadahnya sesuai agamanya.
" Tapi, tidak harus kita dipaksakan untuk membangun toleransi dengan mengucapkan selamat hari raya non Muslim," tutupnya. [arrahmah/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar