Warga Amerika Gemar Membunuh, Ternyata Bukan Kepemilikan Senjata Penyebabnya
Setidaknya ada tiga faktor yang lebih berpengaruh daripada sekedar
kepemilikan senjata yang membuat berulangnya berbagai kasus penembakan
sesama warga di Amerika. “Tapi publik dan pemerintah di AS hanya
menjadikan mudahnya kepemilikan senjata sebagai isu sentral,” ungkap
Pengamat Sosial Iwan Januar kepada mediaumat.com, Ahad (16/12).
Pertama, disharmonisasi hubungan dalam keluarga. Dalam kasus di Connecticut, pelaku menembak mati ayah dan ibunya. Dalam sejumlah kasus penembakan lain yang pelakunya anak-anak dan remaja juga terbukti mereka mengalami broken home. “Berarti ikatan keluarga di antara mereka sedemikian hancurnya,” beber Iwan.
Kedua, dominannya budaya kekerasan di AS melalui film-film dan video game. Adam Lanza pelaku penembakan kemarin adalah pecandu video game. Sama dengan Kip Kinkel, anak SD pelaku penembakan di Oregon juga pecandu video game kekerasan.
Budaya kekerasan juga tampak pada maraknya bullying di sekolah-sekolah dan kampus di AS. Menurut ABC News, 30 % pelajar di AS korban bullying dan setiap tahun 160 ribu siswa enggan bersekolah lagi karena takut alami bullying. “Perilaku ini menimbulkan dendam yang bisa pecah kapan saja dan pada siapa saja,” tegasnya.
Iwan pun menyebutkan tidak heran budaya kekerasan yang sudah mengakar ini tampak jelas pula pada perilaku pemerintah AS yang gemar berperang dan kebrutalan pasukannya di Vietnam, Irak, Afghanistan dan Pakistan.
Ketiga, pecahnya kekerasan dan emosional juga gambaran tingginya tingkat depresi yang dialami masyarakat di sana. “Kesulitan ekonomi yang kian menghimpit ditambah dengan sudah hancurnya nilai-nilai sosial di masyarakat adalah kombinasi ampuh untuk melahirkan kekerasan. Celakanya, ini juga mulai menggejala di tanah air,” pungkas anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut. (mediaumat.com, 16/12) [www.al-khilafah.org]
Pertama, disharmonisasi hubungan dalam keluarga. Dalam kasus di Connecticut, pelaku menembak mati ayah dan ibunya. Dalam sejumlah kasus penembakan lain yang pelakunya anak-anak dan remaja juga terbukti mereka mengalami broken home. “Berarti ikatan keluarga di antara mereka sedemikian hancurnya,” beber Iwan.
Kedua, dominannya budaya kekerasan di AS melalui film-film dan video game. Adam Lanza pelaku penembakan kemarin adalah pecandu video game. Sama dengan Kip Kinkel, anak SD pelaku penembakan di Oregon juga pecandu video game kekerasan.
Budaya kekerasan juga tampak pada maraknya bullying di sekolah-sekolah dan kampus di AS. Menurut ABC News, 30 % pelajar di AS korban bullying dan setiap tahun 160 ribu siswa enggan bersekolah lagi karena takut alami bullying. “Perilaku ini menimbulkan dendam yang bisa pecah kapan saja dan pada siapa saja,” tegasnya.
Iwan pun menyebutkan tidak heran budaya kekerasan yang sudah mengakar ini tampak jelas pula pada perilaku pemerintah AS yang gemar berperang dan kebrutalan pasukannya di Vietnam, Irak, Afghanistan dan Pakistan.
Ketiga, pecahnya kekerasan dan emosional juga gambaran tingginya tingkat depresi yang dialami masyarakat di sana. “Kesulitan ekonomi yang kian menghimpit ditambah dengan sudah hancurnya nilai-nilai sosial di masyarakat adalah kombinasi ampuh untuk melahirkan kekerasan. Celakanya, ini juga mulai menggejala di tanah air,” pungkas anggota Lajnah Siyasiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia tersebut. (mediaumat.com, 16/12) [www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar