2013: The Year of Victory?
Tahun 2012 telah berlalu. Banyak
peristiwa telah terjadi di sepanjang tahun itu. Beberapa di antara yang
cukup menonjol adalah soal korupsi yang makin menjadi, kontroversi
pengelolaan blok migas, demo buruh menuntut kenaikan upah, kenakalan
kriminal remaja, konflik sosial yang terjadi dimana-mana, penghinaan
Nabi saw. yang terus terjadi, juga tentang dinamika umat di dalam dan
luar negeri, khususnya di kawasan Timur Tengah, lebih khusus lagi di
Suriah.
++++
Dari sejumlah negara Timur Tengah yang disulut gelombang revolusi Arab Spring,
Suriah boleh disebut yang paling istimewa. Inilah revolusi yang paling
alot. Berlangsung sejak Maret 2011, dengan korban tewas lebih dari
40.000, tetapi hingga kini revolusi di negeri para nabi itu belum ada
tanda-tanda akan segera berhenti. Yang membuat revolusi Suriah ini
istimewa adalah, kali inilah revolusi digerakkan secara nyata oleh
kelompok Islam yang secara tegas ingin menegakkan Daulah Khilafah. Maka
dari itu, selain karena dukungan Cina, Rusia dan Iran, tidak segera
tumbangnya rezim Bashar Assad juga disebabkan bimbangnya Barat terhadap
masa depan Suriah pasca Assad mengingat di sana ada kelompok oposisi
yang punya arah sendiri.
AS sendiri hingga kini belum mendapatkan
pengganti yang mantap untuk rezim Assad. Menguatnya pasukan perlawanan
dari kelompok opisisi independen dan terus melemahnya Bashar Assad jelas
sangat mengkhawatirkan AS. AS tahu, pasukan perlawanan rakyat Suriah di
lapangan didominasi kelompok Mujahidin yang menyerukan penegakan
syariah dan Khilafah serta menolak sistem demokrasi yang ditawarkan AS.
Bukan hanya AS, sekutu terdekat AS di
kawasan Timur Tengah, Israel, juga takut bukan main setelah melihat
gabungan kelompok Mujahidin Suriah yang berperang langsung melawan rezim
bengis Assad menolak Koalisi Nasional untuk Revolusi Suriah dan Pasukan
Oposisi, aliansi baru pro Barat yang dibentuk pada pertemuan di Qatar
pada 11 November 2012 lalu. Serangan brutal Israel ke Jalur Gaza pada
awal November lalu tidak bisa dilepaskan dari ketakutan negara Zionis
itu terhadap perkembangan terkini di Suriah. Menguatnya Mujahidin Suriah
dengan tuntutan penegakan Khilafah jelas mengancam eksistensi Zionis
ke depan.
Pada awalnya, AS sebenarnya enggan
mendukung perlawanan rakyat Suriah. Negara ini memilih mendorong Bashar
Assad untuk melakukan reformasi demokratis di Suriah. Namun, upaya ini
gagal. Bashar Assad justru semakin beringas. Hal ini memicu perlawanan
lebih sengit dari rakyatnya sendiri. Karena itu, tidak ada pilihan lain
bagi AS selain mendukung revolusi Suriah guna menumbangkan rezim Assad.
Namun, AS juga tidak ingin kehilangan kontrol atas Suriah pasca Assad.
Berbagai upaya lalu dicoba oleh AS untuk membajak perlawanan rakyat
Suriah agar tetap dalam kerangka kepentingan AS.
Melalui PBB, misalnya, AS mencoba
mengendalikan perubahan di Suriah dengan menunjuk Koffi Anan, mantan
Sekjen PBB, sebagai utusan PBB dan Liga Arab. Lagi-lagi upaya ini pun
gagal. Semakin menguatnya perlawanan rakyat Suriah yang tidak lagi ingin
berkompromi dengan rezim bengis Suriah membuat Anan terpaksa
mengundurkan diri.
Gagal dengan Koffi Anan, AS berupaya menggunakan agen-agen regionalnya untuk mendukung exit strategy
melalui model Yaman. Di Yaman, Barat mempersiapkan orang dari lingkaran
dalam Presiden Yaman, yakni Wapres Abd ar-Rab Mansur Hadi, untuk
menjadi pejabat presiden baru. Transisi ini dibantu oleh negara-negara
sekitarnya seperti Saudi Arabia. Setelah itu diadakan Pemilu yang
dikesankan demokratis pada Februari 2012 yang dimenangkan secara telak
oleh Hadi.
Melalui Menteri luar negeri Turki Ahmed
Davutoglu, AS datang dengan membawa usulan model Yaman, agar Wakil
Presiden Suriah Farouk as-Sharaa menggantikan Presiden Bashar sebagai
kepala pemerintahan transisi untuk menghentikan revolusi yang terjadi di
Suriah. AS lalu membentuk Dewan Nasional Suriah (NSC) dengan
mendudukkan orang-orangnya di sana dari berbagai kalangan. Namun, NSC
bekerja tidak sesuai harapan AS. NSC gagal menjadi wakil rakyat Suriah.
Setelah itu, AS berupaya mengefektifkan
kubu oposisi agar tetap di bawah kontrolnya. AS mendorong pertemuan
kubu oposisi Suriah dalam sebuah konferensi besar di Ibukota Qatar,
Doha, pada 11 November lalu guna membicarakan upaya menyatukan front
oposisi yang selama ini terpecah-belah. Dalam pertemuan ini AS berupaya
mengarahkan Riad Seif yang di-blow up sebagai tokoh oposisi
terkemuka agar menjadi kepala dari pemerintahan di pengasingan yang
nantinya akan dinamai Inisiatif Nasional Suriah. Cara ini pun gagal.
Jalan lainnya adalah mengisolasi para
Mujahidin. Caranya dengan menuduh para Mujahidin sebagai kelompok
teroris dan mengaitkannya dengan al-Qaidah. AS juga berupaya melakukan
kriminalisasi perjuangan para Mujahidin dengan bukti video yang diklaim
merupakan kejahatan para Mujahidin. Cara ini juga tidak efektif, bahkan
memicu antipati terhadap AS di dalam negeri Suriah.
Selain itu, AS menggunakan tokoh-tokoh
Muslim yang dikenal moderat sebagai alat politik. Barat senang ketika
Ahmad Muadz al-Khatib dengan latar belakang Ikhwanul Muslimun terpilih
menjadi presiden Koalisi Nasional untuk Pasukan Oposisi dan Revolusi
Suriah. Hal ini sesuai dengan keinginan Presiden AS Barack Obama yang
ingin memastikan komitmen kelompok oposisi itu dalam menjalankan
demokratisasi di Suriah, dan membawa Suriah yang inklusif dan moderat
menurut versi AS.
++++
Akhirnya, memasuki tahun baru ini kita
harus tetap memiliki keyakinan kokoh, bahwa setiap penerapan sistem
sekular—yakni sistem yang tidak bersumber dari Allah SWT, Sang Pencipta
manusia, kehidupan dan alam semesta Yang Mahatahu—di berbagai bidang
kehidupan pasti akan menimbulkan kerusakan dan kerugian bagi umat
manusia. Penguasaan sumberdaya kekayaan alam negeri ini oleh kekuatan
asing, kelamnya persoalan perburuhan, maraknya korupsi di seluruh sendi
di seantero negeri, konflik sosial yang tiada henti, kenakalan dan
kriminalitas di kalangan remaja yang tumbuh di mana-mana adalah bukti
nyata dari kerusakan dan kerugian itu. Ditambah dengan kezaliman yang
diderita umat di berbagai negara, penghinaan terhadap Nabi saw. yang
terus terjadi serta sulitnya perubahan ke arah Islam dilakukan oleh
karena dihambat oleh negara Barat yang tidak ingin kehilangan kendali
kontrol atas wilayah-wilayah di Dunia Islam, semestinya menyadarkan kita
semua untuk bersegera kembali ke jalan yang benar, yakni jalan yang
diridhai oleh Allah SWT, dan meninggalkan semua bentuk sistem dan
ideologi kufur, terutama Kapitalisme yang nyata-nyata sangat merusak dan
merugikan umat manusia.
Kita juga harus membuka mata
lebar-lebar, bahwa demokrasi yang dalam teorinya merupakan sistem yang
memberikan ruang kepada kehendak rakyat, dalam kenyataannya
negara-negara Barat sendiri tidak pernah benar-benar membiarkan rakyat
di negeri-negeri Muslim leluasa membawa negaranya ke arah Islam. Mereka
selalu berusaha agar sistem yang diterapkan tetaplah sistem sekular
meski dibolehkan dengan selubung Islam, serta penguasanya tetaplah
mereka yang mau berkompromi dengan kepentingan Barat. Itulah yang Barat
lakukan di negeri-negeri Muslim yang saat ini tengah bergolak seperti
Suriah, begitu juga Mesir dan negara-negara lain di kawasan Timur
Tengah. Kenyataan ini juga semestinya memberikan peringatan kepada umat
Islam untuk terus waspada dan tidak mudah terkooptasi oleh kepentingan
negara penjajah.
Nyatalah Kapitalisme kian rapuh.
Demokrasi pun kian terbukti kepalsuannya. Pertanyaan pentingnya, kemana
umat akan menuju bila tidak pada Islam? Maka dari itu, perjuangan bagi
tegaknya syariah dan Khilafah harus makin digencarkan. Dari sekian
gelombang perjuangan umat mutakhir, kiranya dinamika yang kini tengah
berlangsung di Suriah memberikan warna tersendiri. Di sana ada kekuatan
signifikan, yang tidak bisa dipandang remeh, yang dengan tegas, tanpa tedeng aling-aling menyatakan kemana arah perjuangan tertuju, serta menyatakan penolakan terhadap campur tangan Barat atas masa depan Suriah.
Akankah Revolusi Suriah bakal menjadi
jalan awal bagi kemenangan Islam? Insya Allah. Lihatlah, tak kurang
Wakil Menteri Luar Negeri Mikhail Bogdanov, juga Sekretaris Jenderal
NATO, Anders Fogh Rasmussen pun menegaskan bahwa akhir rezim Assad
hanyalah soal waktu. AS juga tampaknya melihat hal serupa. Tentu mereka
tidak ingin terlambat. Karena itu, mereka bersiap. Guna menjaga hal yang
tidak mereka inginkan, lebih 8000 pasukan AS telah disiagakan di
perbatasan Suriah – Turki. Kapal induk AS juga telah merapat ke kawasan
yang telah kini telah menjadi area pertempuran ideologi, bukan sekadar
pertempuran militer. Mujahidin Suriah diberitakan semakin dekat
merangsek masuk Damaskus, Ibukota Suriah.
Tidak ada komentar