Header Ads

Demokrasi Biang Terorisme

Demokrasi Biang Terorisme
Oleh Hanif Kristianto (Lajnah Siyasiyah HTI Jawa Timur)

Pergumulan perang melawan terorisme belum usai. Berbagai peristiwa masih menggelayuti di negeri ini. Baik aksi perencanaan pengeboman, maupun aksi pembunuhan pihak keamanan. Tidak dapat dipungkiri kerja pemerintah belum selesai menangani terorisme. Memang persoalan pemerintah tidak hanya teroris. Ada banyak persoalan yang belum terselesaikan. Misalnya ekonomi, korupsi, kisruh politik, kemiskinan, narkoba, konflik horisontal, dan carut marut lainnya.


Terkait pemberantasan terorisme di awal tahun 2013 masyarakat disuguhi dengan penembakan mati dua terduga teroris. Syamsudin HG alias Abu Uswah teroris yang ditembak mati tim Densus 88 Antiteror Polri di Makassar, Jumat (4/1/2013) lalu ternyata memiliki kedekatan dengan pimpinan teroris Poso, Santoso. Penembakan dua terduga teroris (keduanya bernama Syammsudin AG alias Asmar alias Abu Uswah dan Ahmad Khalil alias Hasan alias Kholil) terjadi di depan pintu masuk Masjid Nur Alfiah, RS Wahidin Sudirohusodo di Jalan Perintis Kemerdekaan, Makassar, sekitar pukul 10.45 Wita.

Kemudian, tim Densus 88 Antiteror melanjutkan buruannya ke Dompu, NTB, Jumat (4/1/2013), tim berlambang burung hantu tersebut menembak mati dua teroris Roy dan Bachtiar. Keduanya ditembak karena melawan petugas saat akan ditangkap. Pengejaran pun berlanjut, Sabtu (5/1/2013), tiga orang teroris kembali ditembak mati di Kebon Kacang, Kelurahan Kandai, Dompu, NTB. Dari tiga orang yang tewas, satu sudah teridentifikasi atas nama Andi.

Berkaca dari jejak rekam penangkapan terduga teroris, dapat disimpulkan beberapa poin penting. Pertama, opini terorisme digiring ke daerah yang masih tenang dan sebelumnya pernah terjadi konflik. Kedua, masih samanya istilah “terduga” yang disematkan pada orang yang ditangkap. Ketiga, berjenjangnya kasus yang muncul seolah-olah sudah terjadwal waktunya. Keempat, pengaitan aksi terorisme dengan kasus lain. Kaitan dengan isu SARA, konflik antar-warga, dan kepentingan politik. Kelima, proyek pihak keamanan untuk mereguk untung. Keenam, masih misteri data-data dan pernyataan yang disampaikan oleh pihak kemananan. Serta kejanggalan penangkapan.

Pihak Yang Untung
Isu terorisme begitu penting bagi negeri ini. Hal ini karena ada kepentingan dibalik isu terorisme. Baik kepentingan politik (pelanggengan status quo dan demokratisasi) maupun dana dan pencitraan kepada asing. Beberapa pihak yang berkepentingan antara lain: 

Pertama, asing dalam hal ini AS, Australia dan sekutunya. Mereka sangat berkepentingan untuk perang melawan terorisme. Merekalah yang pertama kali mengobarkan GWOT (Global War on Terorism) setelah tragedi 11 September 2001 berupa pengeboman gedung WTC. Dana yang mereka keluarkan pun begitu besar untuk mendanai setiap negara yang bergabung dengannya untuk GWOT. Hal ini demi kepentingan demokratisasi dan kepentingan politik AS.

Kedua, penguasa dalam negeri yang menjadikan isu terorisme sebagai bagian proyek. Proyek ini juga sebagai bagian pencitraan atas keberhasilan dalam GWOT. Uniknya, isu terorisme ini sebagai sesuatu ditakuti, tapi sekaligus dirindukan. Sebagai contoh ketika penguasa mendapat banyak sorotan atas kegagalan pemerintahannya. Tiba-tiba isu terorisme muncul. Pengalihan opini masyarakat pun tertuju pada peristiwa terorisme. Walaupun kebobrokan pemerintah di setiap aspek kehidupan. Selain itu, penguasa juga berkepentingan kepada AS, Australia, dan sekutunya untuk kepentingan politik luar negeri Indonesia. Apalagi AS, Australia, dan sekutunya sudah mencengkram dalam politik-ekonomi-sosial. Ibaratkan Indonesia “skak mat” dalam percaturan GWOT.

Ketiga, kelompok jihadis yang mengorbankan jihad tapi terjebak kepentingan AS dan penguasa di Indonesia. Sering juga kelompok jihadis menjadi korban atas kebiadaban aparat keamanan. Tidak hanya itu, beberapa terduga teroris yang tertangkap pun menjadi sasaran proyek deradikalisasi.

Demokrasi Biang Terorisme
Selama ini tentu banyak yang bertanya-tanya. Kenapa muncul terorisme? Bahkan istilah terorisme kian santer dan menjadi perbincangan? Serta tiba-tiba saja muncul orang-orang baru dalam peristiwa terorisme? Bahkan sering juga dikaitkan dengan fundamentalis Islam, walaupun ada dari beberapa kalangan non-muslim? Lantas, ada apa dibalik skenario global “terorization” di setiap negara di dunia ini?

Sesungguhnya terorization tidak berlepas dari agenda global demokratisasi. Demokrasi ini dijajakan AS ke negara-negara lain sebagai hegemoni politik luar negeri AS. Demokrasi merupakan anak kandung dari Kapitalisme yang diemban AS dan sekutunya. Buah demokrasi itu bisa dirasakan yakni berupa penjajahan sistemik di negara-negara berkembang yang tak berideologi. Semisal Indonesia dan negeri-negeri islam lainnya.

Fakta yang terjadi ketika demokratisasi dijalankan di negara yang tak berideologi, semisal Indonesia. Ketidakadilan, kemiskinan, disintegrasi, dan kedzaliman lainnya menjadikan rakyat sebagai korban. Angin segar demokrasi dihembuskan untuk kebebasan di segala aspek. Sebagaimana wujud demokrasi sebenarnya yaitu kebebasan. Sudah terbukti gagal pun demokrasi ini tetap dipertahankan. Terutama oleh antek dan orang-orang yang sudah ditanam AS untuk menjadi boneka mainan. Maka tidak jarang kebijakan berupa UU dan kepentingan politik-ekonomi mudah disetir kepentingan asing. Lihatlah beberapa kebijakan yang betul-betul brutal. Misalnya, penyerahan pengelolaan SDA kepada korporat asing. Penerbitan UU Migas, UU SDA, UU Antiterorisme, UU Intelijen, UU Perguruan Tinggi, dan lainnya. Kesemua itu justru menikam rakyat dan menjadikannya musuh negara.

Demokrasi sengaja dipaksakan AS sebagai senjata politik ketika senjata sesungguhnya tidak digunakan. Demokrasi menjadi alat mainan AS dan sebagai standar ganda dalam penanganan GWOT. Buktinya beberapa invasi di Irak, Afghanistan, dan Pakistan AS membawa isu demokratisasi setelah rezim yang berkuasa di sana dinilai gagal. AS juga menciptakan tatanan pemerintahan baru berdasarkan keinginannya. Hal ini juga memicu ketidakpuasan rakyat yang menginginkan diatur oleh aturan syariah. Akhirnya muncul perlawanan dari beberapa kelompok. Mereka pun akan disebut teroris oleh AS dan anteknya. Karena menginginkan mendirikan negara Islam dengan menggantikan negara demokrasi bentukan AS.

Istilah “teroris” sangat debatable. Bergantung pada siapa dibalik penyebutan istilah teroris. AS dan sekutunya juga layak sebagai teroris dan mengispirasi teroris. Karena AS dan Sekutunya berperan dalam perang dunia 1 dan 2. Perang yang menyeret negara-negara dunia dalam kehancuran sehancur-hancurnya. Korban jiwa dan harta tidak terelakan. Persitiwa perang pun digunakan untuk meraup keuntungan penjualan senjata perang. Motif ekonomi, politik, dan invasi begitu kental.

Para mujahidin atau kelompok jihadis bisa juga disebut teroris oleh AS dan sekutunya. Karena mereka melakukan teror dan mengancam publik. Pencapan teroris sesungguhnya tendensius karena mengancam kepentingan AS dan sekutunya. Jika demikian adanya maka siapa sesungguhnya yang layak disebut the real terorist dilihat dari banyaknya jumlah korban jiwa. Justru yang terjadi selama ini ketika AS dan sekutunya mengobarkan GWOT. Korban terbesar adalah umat Islam.


Sumber tabel : ScottHelfstein,Ph.D.(2009)

Terkait persoalan terorisme di Indonesia yang menjadi biang kerok adalah demokrasi yang dianut dan dijalankan penguasa. Demokrasi yang ada hanya omong kosong. Penindasan kerap terjadi khususnya bagi umat Islam. Umat Islam dihinakan semenjak orde baru berkuasa. Masih teringat persitiwa Tanjung Priok, Talang Sari-Lampung, DI/TII, atau NII. Korbannya adalah umat Islam. Mereka dituding membelot dan tidak patuh. Karena bentuk NKRI sudah final. Semua kasus tersebut belum juga diselesaikan atau pelakunya diseret ke meja hukum. Seolah-olah kesalahan itu dikubur dalam-dalam.

Orde reformasi pun demikian. Kecondongan kepada liberalisasi di berbagai sektor. Terorisme dijadikan mainan penguasa. Lagi-lagi korban adalah umat Islam. Bahkan sering terjadi kesalahan penangkapan yang kemudian pemerintah enggan meminta maaf. Isu terorisme akan senantiasa dipelihara oleh siapapun yang menjadi penjaga demokrasi untuk berkuasa. Demokrasi akan melahirkan kebebasan walaupun itu membunuh rakyatnya sendiri. Ketika dituding melanggar pun mereka berkilah untuk melindungi diri. Padahal kebobrokan pemerintahannya terkuak. Itulah hipokrit demokrasi yang tidak akan memberikan pelayanan memuaskan kepada rakyat.

Jika pemerintah betul-betul ingin memberantas terorisme. Maka jangan sekali-kali mengaitkan dengan Islam atau keinginan mendirikan negara Islam. Sehingga orang yang menginginkannya dicap sebagai teroris. Sebagai seorang yang beriman keinginan untuk diatur oleh syariah dalam bingkai negara Islam (Khilafah) adalah suatu yang wajar. Begitu pula pemerintah jangan mengorbankan rakyatnya hanya untuk pencitraan dan meraih keuntungan dari orang-orang kafir. Selayaknya pemerintah mulai mengoreksi diri. Apakah benar sudah melayani rakyatnya dengan benar ataukah belum? Jika belum maka tidak ada salahnya pemerintah melihat keagungan Khilafah Islam dalam mengatur kehidupan.

Khilafah Pelayan Semua
Berdasar pengamatan mendalam kemunculan berbagai teror yang dianggap AS dan sekutunya sebagai teroris. Maka kesimpulan yang didapat adalah kegagalan demokrasi menjawab penyelesaian persoalan hidup. Jika demikian adanya, sistem demokrasi segera ditinggalkan dan diganti dengan syariah Islam.

Syariah Islam akan mewajibkan negera mengelola Sumber Daya Alam secara mandiri. Mengatur urusan hidupnya berdasar aturan dari Allah Swt. Ke-rahmatan lil ‘alamin Islam akan memberikan pengayoman pada semua (muslim dan non-muslim). Terkait kelompok yang membelot atau bughat, Khilafah akan menindak tegas dan memberikan hukuman. Tentunya ini diawali dengan mengingatkan agar kembali lagi ke pangkuan Khilafah. 

Khilafah juga akan mengusir dan menutup LSM/NGO yang memprovokasi dan mengaitkan terorisme dengan Islam. selama ini LSM/NGO seperti ICG dan RAND Corporation dijadikan rujukan pemerintah dalam isu WOT. Khilafah juga akan memberikan pendidikan agama yang benar. Menyukupi kebutuhan dasar manusia serta memberikan pelayanan terbaik bagi rakyatnya. Karena khalifah (pemimpin) bertanggung jawab kepada rakyat dan Allah Sang Penvipta Alam Semesta ini. Insya Allah fajar Khilafah semakin dekat dan akan menyikat musuh-musuh islam. Buang demokarasi yang kelam biang teroris. Tegakan Khilafah pelindung umat. [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.