Header Ads

Akankan Gubernur Jakarta Menjadi Antek Amerika?

“Saya belum bisa beri komentar,” itulah kata-kata singkat Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alaias Jokowi ketika kembali didatangi umat Islam, Jum’at, 22/2/2013 lalu. Saat itu berbagai elemen ormas Islam menyambangi Balaikota Jakarta untuk meminta komitmen Jokowi menolak mengeluarkan izin pembangunan perluasan Kedutaan Besar AS di Jakarta.


Seakan mencoba menerka bahwa Jokowi tidak mau dengan tegas menolak lantaran kuatir ditekan pihak Amerika, Juru Bicara HTI Ismail Yusanto berkomentar: “Kalau Pak Jokowi mendapat tekanan-tekanan, serahkan kepada kita, biar kita bantu dari belakang.”

Namun sapanyana, garis hati Jokowi tetap sama. Gubernur yang rajin ‘blusukan’ itu tetap bungkam untuk memenuhi keinginan ormas Islam. Bahkan ketika HTI mengatakan bahwa alasan penolakan didasari atas imperialisme, Jokowi malah berkomentar, “Masak alasan penolakannya imperialisme?” tanyanya, seakan kebiadaban Amerika membunuhi umat Islam tidak cukup logis disuguhkan sebagai alasan.

Pernyataan ini tidak sekali dikatakan Jokowi. Selasa, 8 Januari 2013, Jokowi mengucapkan kata senada ketika didesak untuk menolak perluasan Kedubes dari sebuah negara yang telah menjajah negara-negara muslim.

“Saya belum bisa menjawab, kalau secara ketentuan itu bisa kita lihat nanti dan saya tidak mau mendahului aturan yang ada,” ucapnya kepada delegasi HTI dan ormas Islam lainnya.

Jokowi Target Amerika?

Tentu bersinarnya citra Jokowi tidak sebanding dengan ‘sinarnya’ dalam menghadapi kekuatan AS. Tidak ada ketegasan dari mulut Jokowi untuk berani menentang imperialisme AS. Yang terjadi adalah Jokowi terkesan ingin lepas tanggung Jawab dengan melempar persoalan ini kepada Menteri Luar Negeri. “Padahal kebijakan itu ada pada level Gubernur,” kata Jubir HTI, Ismail Yusanto, kepada Islampos.com.

Gerilya Amerika untuk meloloskan rencananya mendirikan kedubes hingga 10 lantai bukanlah omong kosong belaka. Menurut sumber yang Islampos.com dapatkan, Amerika telah berhasil melewati tiga tahapan sebelum betul-betul membangun ‘pusat intelijen’ Amerika terbesar di Jakarta itu.

“Padahal saat perwakilan ormas Islam pertama kali ke sini, IMB masih pada tahap pertama,” ujarnya.

Dubes AS, Scott Marciel pun secara terbuka sudah menyinggung mengenai niat  negeri Paman Sam  akan meluaskan gedungnya dengan proyek senilai Rp4,2 trilyun dan melibatkan lebih dari 5.000 pekerja. Meski ia mengatakan, pertemuan dengan Jokowi tidak membawa misi tunggal.

“Memang proyeknya akan segera dimulai, tapi tujuan kita bukan itu di pertemuan ini. Tujuan pertemuan ini untuk ramah tamah,” kata Scott.

Di mata Scot, Jokowi merupakan Gubernur yang memiliki banyak gagasan dan ide untuk membangun Jakarta, untuk itu dia mendukung kinerja yang baik tersebut. Scott pun belum merencanakan untuk mengadakan pertemuan selanjutnya bersama Jokowi. Ia memaklumi kesibukan Jokowi sebagai Gubernur baru di DKI yang sangat padat. Namun di satu sisi, ia merasa Amerika Serikat harus selalu menjaga hubungan bersama Jokowi.

“Saya berharap juga bertemu Gubernur dari waktu ke waktu tapi sepertinya kita harus menjaga Pak Gubernur tugasnya terlebih dahulu. Sebagai penduduk Jakarta, kita mendoakan yang terbaik untuk beliau,” kata Scott.

Dari awal pencalonan Jokowi sebagai Gubernur memang telah menarik perhatian Amerika. Mantan Walikota Solo itu dielu-elukan sebagai ‘Obama’ Indonesia sebagai pribadi bersahaja. Harian New York Times dalam sebuah laporannya menuliskan cerita tentang pertarungan Jokowi untuk menguasai Jakarta.

Dalam artikel yang berjudul “Outsider Breathing New Ideas Into Jakarta Election” media ini membuka tulisan dengan keterkejutan publik atas kemenangan Joko Widodo pada putaran pertama.

Media ini menulis, “Di negara di mana politikus sering kali berasal dari elite yang terkait atau memiliki hubungan dengan mendiang Presiden Soeharto dan militer Joko, dikenal dengan julukan Jokowi, muncul untuk mewakili generasi baru politikus.”

Sebuah lembaga yang bernama Innovations For Successful Societies, Princeton University di Amerika Serikat juga membuat sebuah riset dan kajian tentangnya. Terhitung sejak terpilih pada pemilihan kepala daerah pertama secara demokratis di Solo pada Juli 2005 hingga periode kedua di tahun 2011, lembaga ini sudah intens mengamati sepak terjang Jokowi yang berhasil menyita perhatian dunia.

Hingga kini Jokowi masih enggan untuk serius membahasan penolakan Umat Islam, -umat agama yang paling banyak di Jakarta- agar tanah ibukota tidak diinjak-injak oleh kepentingan negara penjajah Amerika yang setia memerangi Islam hingga kini.

“Kalau Jokowi mengizinkan pembangunan, berarti Jokowi juga merupakan antek- antek imperialisme,” ujar pengamat Hubungan Internasional, Farid Wadjdi. (Pz/Islampos)[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.