Header Ads

Apakah Karena Label “Teroris” Seseorang “Halal” Dibunuh?

Pasca beredarnya video kekerasan aparat di Poso yang melahirkan desakan Ormas-ormas Islam terhadap Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88 dibubarkan, pemerhati kontra-terorisme dan Direktur The Community Of Ideological Islamic Analyst (CIIA), Harits Abu Ulya melakukan investigasi ke lapangan. Sejak tanggal 7-10 Maret 2013, ia melakukan investigasi di Poso. Hasilnya, ia mendapatkan banyak informasi cukup istimewa. Inilah oleh-oleh dan temuanya.


Menurut Komnas HAM ini kan pelanggaran HAM berat. Termasuk korban salah tembak atau salah tangkap. Perlukan diteruskan ke ranah hukum?

Sekalipun tidak boleh berharap banyak namun ihtiyar untuk mencari keadilan perlu lakukan.Negeri ini katanya negeri hukum, ditengah bopengnya penegakkan hukum ya tidak ada salahnya kalau mencoba. Karena yang saya tau, pembunuhan diluar jalur pengadilan (extra judicial killing) atau summary executions adalah pelanggaran HAM berat sekalipun dalam rangka law enforcement. Melanggar UU Nomer 39 tahun 1999. Dan hal ini dijelaskan dalam Pasal 104 juncto UU nomer 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM pasal 7 sub B dan pada Pasal 9.


Begitu juga korban tembak yang masih hidup atau tidak di “hadiahi” pelor oleh Densus, perlu advokasi. Karena dalam UU Nomer 5 tahun 1998 tentang ratifikasi konvensi PBB  diatur tentang anti penyiksaan dan perendahan martabat manusia dan penghukuman yang merendahkan martabat manusia.

Nah, dilapangan aparat Densus, misalnya, sering mengabaikan kaidah-kaidah hukum ini. Contoh dari kasus Kalora-Poso, 14 warga sipil babak belur selama 7x24 jam di interogasi di Mapolres Poso dan setelah tidak terbukti dilepas begitu saja tanpa ada rehabilitasi nama atau bahkan meminta maaf. Ini perbuatan yang sangat tidak manusiawi. Apakah hanya karena label “teroris” bagi seseorang kemudian itu menjadi “sertifikat halal” untuk dibunuh?


Jika aparat penegak hukum seperti itu, ya tidak ada bedanya dengan gerombolan penjahat berkedok hukum. Aparat itu penegak hukum, bukan “hukum” itu sendiri.

Bisakah Anda membandingkan terduga kasus terisme dengan pelaku kejahatan lain?

Orang-orang yang diduga atau tertuduh teroris tidak seberuntung seperti seorang Benget Situmorang (BS) pelaku mutilasi sadis terhadap istrinya (Darna), yang potongan-potongan jasadnya di ecer di ruas  tol Cikampek, Jakarta Timur. Si BS masih bisa menghisap rokok di depan penyidik. Mutilasi apapun motifnya dan pelakunya tetap saja adalah tindakan kriminal berat.Tapi hari ini umat Islam menyaksikan penegakkan hukum yang sangat timpang.

Oknum aparat dan BNPT yang selalu berlindung pada alasan terorisme adalah kejahatan extra ordinary jadi perlu penanganan yang juga extra ordinary. Seperti halnya low enforcement oleh oknum Densus yang sudah banyak menabrak criminal juctice system hanya karena alasan ini extra ordinary crime. 
Bagaimana dengan desakan pembubaran Densus 88?
Sebesar apapun peluangnya pembubaran ini, ada pihak yang akan selalu pasang badan. Saat ini adalah momentum untuk mewujudkan itu. Ormas Islam mayoritas sudah bersuara, LSM  juga angkat bicara.Ini sudah menjadi keprihatinan mayoritas masyarakat Indonesia. Kita yang punya kepedulian perlu terus mengawal bersama. MUI juga sudah sempat terjun kelapangan untuk mengawal investigasi Komnas HAM. Jadi sekarang perlu umat dan tokohnya konsolidasi merapatkan barisan untuk merumuskan langkah strategis berikutnya.

Perlukan lembaga seperti MUI mengeluarkan rekomendasi?
Ini kedzaliman yang tidak boleh lagi di tolerir dengan alasan apapun. MUI juga harus mengeluarkan rekomendasi, minimal mendukung langkah Komnas HAM untuk melanjutkan investigasinya dan melanjutkan kepada fase berikutnya. Yakni, menaikkan ke status kepelanngaran HAM berat sesuai UU nomor 26 Tahun 2000. Dan mendorong agar Komnas HAM berani memplenokan hasil investigasinya, dan membuat rekomendasi. Ini penting karena bisa dijadikan sebagai acuan untuk melakukan tindakan hukum berikutnya bahkan melakukan judicial review atas UU nomor 15 tahun 2003 (Penanggulangan terorisme) dan undang-undang derivate (turunan dan pelengkapnya).

Yang perlu di sadari, Komnas HAM tidak banyak punya kewenangan. Bahkan sangat mungkin di teror oleh oknum-oknum tertentu atas kasus ini, agar tidak bersuara keras. Mengingat Komnas sudah turun ke Poso sejak 22-31 Januari 2013, terkait dugaan penanganan teroris di Poso tidak sesuai prosedur. Seperti tertembaknya terduga pelaku terror pada tanggal 3 November 2012, dan kekerasan terhadap 14 warga saat menjalani pemeriksaan di kantor Polisi pada akhir Desember 2012 terkait tertembaknya Polisi di Desa Kalora-Poso.

Saya khawatir, kalau langkah berbagai element umat dan Komnas HAM gagal di tengah jalan maka akan melahirkan kekecewaan masyarakat Poso dan kelompok tertentu yang merasa terdzalimi di Poso. Dan dampaknya bisa ditebak, ibarat api dalam sekam maka Poso bisa meledak kapan saja. Dan justru saya melihat ada pihak yang tidak ingin drama perang melawan terorisme ini berakhir di Poso dan tempat lainya dengan terus mempertahankan pasukan teror Densus88.

Komisi III sempat mempertanyakan kerja Densus yang asal tembak?
Saya apresiasi, tapi masih butuh lebih dari itu. Political will dari Komisi III harus ada karena mereka punya “dosa” masa lalu. Densus 88 dan BNPT harus di evaluasi total dan di audit keuangannya. Selama ini dengan dana APBN dan hibah dari luar negeri untuk kepentingan kontra terorisme apa hasilnya apa?

Apakah sudah tepat strategi yang digunakan oleh Densus 88 dan BNPT yang lebih tampak dominan dan “heroik” dengan hard power-nya.Sementara banyak fakta di lapangan menjadi indikasi kuat penanganan atas orang-orang yang di tuduh teroris sarat dengan pelanggaran HAM berat. Mulai dari penetapan DPO, penangkapan, proses penyidikan, sampai pada kasus tewasnya terduga teroris hanya karena alasan kill or to be kill (membunuh atau dibunuh). Bahkan hak-hak keluarga korban juga sering diabaikan begitu saja.Umat Islam banyak yang resah, khusus para tokohnya dan dinamika ini tidak boleh diabaikan begitu saja.

Bagaimana peran DPR selama ini?
DPR dengan perannya bisa mengadvokasi keresahan ini untuk mengaborsi pelangaran-pelanggaran serius. Sekalipun banyak masyarakat yang pesimis dengan peran wakil rakyat yang mudah “masuk angin” ketika mengadvokasi kepentingan masyarakat. Lebih-lebih Komisi III yang melegislasi sejak awal payung hukum (regulasi/UU) untuk agenda perang melawan terorisme di Indonesia. Dan bahkan yang melegislasi anggaran untuk Densus dan BNPT, artinya mereka secara politik memberikan dukungan semua operasi kontra-terorisme. Tapi lemah kontrol dan bahkan cenderung tutup mata dan telinga atas tindakan-tindakan overacting dari aparat.

Hari ini banyak orang apatis, jangan sampai nasib umat Islam yang tragis dengan isu terorisme malah dijadikan modal “narsis” para politisi di parlemen, ujung-ujungnya kepentingan opuntunir mereka yang diraih.

Menurut Anda, apa pesan yang ingin disampaikan oleh pelaku teror Poso?
Yang bisa saya eja, minimal mereka ingin menunjukkan dua hal; pertama, menuntut keadilan  dan balas dendam atas kedzaliman yang berjalan di bawah bendera kontraterorisme. Dan kedua, ingin memberi pesan bahwa mereka masih eksis dan kapan saja akan melawan dengan segala resikonya jika sikap dan keputusan-keputusan politik selalu menyudutkan Islam dan umatnya.
[hidayatullah/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.