Header Ads

Jubir HTI: “Bantahan Mabes Polri terhadap Video Itu tidak Mengurangi Arti Kekerasan Aparat”

Meski pihak Mabes Polri menyatakan pelaku kekerasan dalam ‘video itu’ bukan Densus 88 tetapi Brimob Poso, Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia Muhammad Ismail Yusanto tetap keukeuh meminta pemerintah membubarkan detasemen anti teror Polri tersebut.


“Bantahan Mabes Polri terhadap video itu tidak mengurangi arti kekerasan aparat terhadap korban yang disebut teroris atau terduga teroris. Kita mempunyai data, tindakan-tindakan Densus itu selalu demikian,” ungkapnya kepada mediaumat.com, Jum’at (8/3).

Lagian, lanjut Ismail, Densus 88 juga kebanyakan dari Brimob.

Ismail pun menegaskan, dasar untuk menilai Densus 88 untuk dibubarkan itu bukan hanya video itu. Buktinya, dirinya bersama perwakilan ormas-ormas Islam lain dan Tim Pengacara Muslim ketika audiensi dengan Komisi III DPR pada Selasa (19/2) mendesak agar Densus 88 dibubarkan dan petingginya dihukum, sama sekali tidak menyinggung video itu.

“Dasarnya adalah peristiwa-peristiwa sepanjang tahun 2007-2013. Itu yang kita lihat. Yang tidak kita lihat mungkin sama atau malah lebih. Karena peristiwa itu kan selalu berulang,” tegasnya.

Bubarkan Densus
Ismail pun menyanggah pernyataan pihak Mabes Polri yang menyebut “berlebihan kalau Densus dibubarkan karena masih diperlukan.”

Menurut Ismail, mungkin kata-kata “masih memerlukan” Densus 88 untuk pemberantasan teroris hanya berlaku di tahun-tahun awal dulu. Meski itu pun masih debatable, terkait definisi teroris, apakah betul bahwa mereka itu melakukan tindakan teror, apakah mereka itu bukan fabricated terrorism (teroris yang sengaja dibuat agar proyek pemberantasan teroris tetap ada). Tetapi anggaplah iya ada teroris, tapi itu kan dulu. Nah, terakhir-terakhir ini kan arah pemberantasan teroris itu semakin tidak jelas.

Bahwa setiap operasi, Densus 88 itu tidak terarah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi itu publik tidak pernah tahu. Yang publik tahu Densus menangkap ini, menangkap itu, semua dikatakan sebagai terduga teroris.  Kalau dulu kan ada cerita mau menangkap Nurdin M Top, mau menangkap Dr Azahari, dan sebagainya. Kalau sekarang ini tidak jelas, tahu-tahu  ada penggerebekan lalu ada yang disebut terduga teroris.

Dari penggerebekan – penggerebekan itu ternyata banyak yang salah tangkap, dan ketika salah tangkap Densus 88 tidak pernah menjelaskan, tidak pernah minta maaf. Begitu penangkapan disiarkan secara luas bahkan siaran langsung. Tetapi begitu ketahuan salah tangkap mereka diam saja.

Nah, kenyataan-kenyataan ini membuat publik tidak percaya lagi, tidak merasa Densus itu diperlukan, apalagi pada terakhir-terakhir ini melihat begitu banyak korban. “Seperti yang saya sampaikan ke Komisi III itu ada yang salah tangkap seperti di Poso, seperti salah tembak di Dompu, Mataram. Sebelumnya ada kasus di Solo, Cibubur, Cawang, Medan. Itu semua kan membuat kita berkesimpulan bahwa Densus 88 sudah tidak diperlukan lagi. Karena tidak diperlukan ya harus dibubarkan,” pungkasnya.

Ismail pun sepakat tindak terorisme itu tidak boleh ada dan harus dihentikan. “Ia betul, terorisme itu harus dihentikan,” tegasnya.

Tetapi, lanjutnya, tindakan yang menimbulkan teror kepada masyarakat itu juga harus dihentikan. Apakah dengan alasan pemberantasan terorisme, lalu Densus 88 bisa bertindak semena-mena melakukan penangkapan, penyiksaan, penculikan. “Apakah seperti itu? Kan tidak boleh,” nilainya.

Kalau kemudian beralasan sehingga boleh melakukan itu, berarti ini kejahatan yang dilindungi atau kejahatan yang dilakukan oleh negara terhadap warganya. “Ini harus dilawan!” pungkasnya. [mediaumat/htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.