Header Ads

Kasus Teror Papua Bukti Kegagalan Kapitalisme

Belakangan ini sejumlah kasus penembakan terjadi berturut-turut di beberapa wilayah di Papua. Tragedi Penembakan terjadi pada Kamis (21/2) di Tingginambut Puncak Jaya dan Sinak Puncak Jaya, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menpolhukam), Djoko Suyanto menduga kuat, Penembakan yang terjadi pada Kamis (21/02) di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua, itu merupakan penyerangan yang dilakukan kelompok Gerakan Pengacau Keamanan (GPK) pimpinan Goliath Tabuni. Sementara penembakan yang terjadi di Distrik Sinak diduga dilakukan kelompok bersenjata pimpinan Murib. (kompas.com, 26/2). Penembakan yang terjadi di Papua ini diindikasikan adalah gerakan separatis kelompok yang dulu menamakan diri sebagai Organisasi Papua Merdeka (OPM). OPM ditengarai sering melakukan aksi kekerasan dan melakukan penyerangan bersenjata terhadap warga sipil termasuk TNI dan Polri di berbagai wilayah Papua untuk menciptakan ketidakstabilan.


Oleh karena itu, Markas Besar Polri mengirimkan sejumlah tim dari Badan Reserse dan Kriminal Polri untuk mengusut sejumlah peristiwa tersebut. Namun tidak disebutkan jumlah tim yang dikirim ke Papua. Tewasnya delapan anggota TNI dan empat warga sipil membuat pemerintah cukup khawatir. Kejadian ini merupakan kesekian kalinya aksi teror yang dilakukan oleh sekelompok orang yang ada di Papua.

Dalam kasus tersebut terdapat tiga kelompok yang membuat kisruh berupa konflik dan berujung pada penembakan, kelompok-kelompok tersebut antara lain Kelompok Tabuni, Kelompok Yambi dan Kelompok Murtib. Seperti sebelumnya, apabila dilihat dari aksi penyerangan yang dilakukan, senjata yang mereka gunakan adalah senjata laras panjang, laras pendek dan senjata tajam. Melihat kejadian ini, kelompok-kelompok tersebut nampakya telah terorganisi. Sebagian pihak menduga munculnya aksi teror ini diduga karena motif separatis yang merupakan kumpulan orang yang ingin menginginkan “merdeka” dari pemerintah.
Anggota DPR Komisi I DPR Romahurmuziy menduga bahwa ada kemungkinan pihak asing terlibat dalam kasus penyerangan oleh kelompok separatis di Papua sehingga pemerintah harus tetap waspada selama menangani kasus tersebut. Menurutnya, dalam setiap konflik bernuansa separatisme yang berlangsung lama, kekuatan kelompok separatis cenderung didukung pihak luar dan tidak mungkin berdiri sendiri. Oleh karena itu, dia meminta pemerintah meningkatkan upaya intelijen untuk memastikan pihak-pihak asing yang `bermain` dalam kasus penyerangan oleh kelompok separatis.

Antara Separatisme dan Diskriminasi

Papua merupakan wilayah Indonesia yang kaya akan sumber daya alam seperti migas dan batubara, kekayaan alam yang melimpah ruah tersebut sejatinya menjadi potensi dan aset berharga milik masyarakat yang harus dikelola dengan baik oleh Negara dan didistribusikan seluas-luasnya kepada masyarakat. Namun fakta yang terjadi di negeri yang pernah mendapatkan penghargaan sebagai negara paling demokratis di dunia ini justru menjadikan masyarakat papua hidup dalam penderitaan yang berkepanjangan. Dibalik kemegahan gedung-gedung anggota dewan dan pencakar langit di lazuardi ibukota, terdapat kaum yang masih menggunakan koteka.

Keberadaan mereka bukan karena kebodohan terstruktur, tetapi memang kebodohan itulah yang sengaja dipelihara dan diabadikan sebagai salah satu ‘kebudayaan’ Indonesia. Sungguh ironis! Suatu hal yang wajar jika akhirnya kemarahan masyarakat papua memuncak dan terjadi tindak kekerasan terorisme yang alamiahnya ditujukan kepada pemerintah sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas nasib rakyat yang dipimpinnya.

Aksi-aksi penyerangan bersenjata yang terjadi di Papua selama ini terlihat dilakukan secara terorganisir, menggunakan senapan laras panjang, laras pendek, dan senjata tajam. Aksi-aksi penyerangan terorganisir itu selain dilakukan terhadap anggota TNI dan Polri, juga terhadap warga sipil. Naifnya, banyak pihak yang menganggap bahwa kekerasan-kekerasan yang terjadi selama ini bukanlah masalah politis melainkan hanya merupakan reaksi atas pemilihan kepala daerah yang baru saja dilangsungkan. Motiv separatisme tidak bisa dinafikan dalam kasus terakhir.

Tampak ada kegamangan pemerintah menyatakan bahwa di balik kasus penyerangan bersenjata itu ada motiv separatisme. Padahal melihat data-data yang ada, motiv itu jelas tidak bisa dinafikan. Entah apa yang mendasari sikap gamang pemerintah itu. Terlepas dari semua itu, aksi-aksi tersebut jelas merupakan aksi teror dan memenuhi semua kriteria tindak pidana terorisme. Aksi-aksi itu juga jelas menimbulkan suasana teror di masyarakat. Namun pemerintah justru hanya menilainya sebagai tindak kriminal biasa dan pelakunya hanya disebut Gerakan Pengacau Keamanan (GPK). Padahal sudah jelas menembaki aparat menggunakan senapan laras panjang dan pendek, bahkan mereka memastikan korban tewas dengan menembaknya dengan senapan laras pendek atau dengan memastikannya menggunakan senjata tajam. Helikopter yang akan mengevakuasi jenazah korban pun juga ditembaki hingga menyebabkan korban luka. Sikap pemerintah seperti itu juga ditunjukkan terhadap aksi-aksi penyerangan bersenjata termasuk menggunakan senapan laras panjang yang diduga dilakukan oleh OPM. Pemerintah juga tidak menyebut OPM sebagai kelompok teroris. Disinilah seolah terjadi “pembiaran” dan tidak ada tindakan sepadan dan tegas sehingga masalah itu terus terjadi. Disinilah seolah terjadi “pembiaran” dan tidak ada tindakan sepadan dan tegas sehingga masalah itu terus terjadi.

Anehnya, sikap seperti itu jauh sekali dari sikap aparat (pemerintah) terhadap orang Islam yang diduga menjadi bagian dari “aksi terorisme”. Baru terduga saja sudah ditangkap, ada yang disiksa, bahkan ditembak mati di tempat tanpa dibuktikan terlebih dahulu di pengadilan. Lebih ironis lagi, ada yang ditembak usai shalat atau pengajian di Masjid. Padahal di antara mereka tidak melakukan apa-apa. Sementara yang jelas-jelas menembaki aparat dan warga sipil, menyebabkan 12 orang tewas, menimbulkan suasana teror, tetap saja tidak disebut teroris dan tidak ditindak tegas seperti yang dilakukan terhadap para terduga teroris.

Menyingkap Akar Permasalahan dan Solusinya

Salah satu penyebab disintegrasi papua ini adalah keamanan, ketidakmerataan pembangunan, kesejahteraan terutama di daerah-daerah pedalaman, pegunungan dan daerah tertinggal. Bahkan di wilayah-wilayah terisoloasi aspek pelayanan pembangunan itu sama sekali tidak bisa dirasakan, padahal kekayaan alam papua yang sangat banyak namun dikuasai oleh Freepot. Disanapun telah lama didirikan Namru 2 (Naval Medical Research Unit) oleh Amerika Serikat, namun hingga kini tidak ada sedikitpun manfaat yang dirasakan oleh rakyat Papua. Otonomi khusus yang diberikan kepada Papua dengan menggelontorkan dana milyaran rupiah tidak menjadi solusi, sebab dana tersebut lari ke kantong-kantong pribadi para pejabat. Dana itu lebih banya dinikmati oleh para elit. Salah satu faktor utama penyebabnya adalah sistem politik demokrasi yang korup dan sarat modal.

Menyelesaikan masalah Papua, selain masalah keamanan adalah dengan mewujudkan keadilan dan pemerataan pembangunan dan kesejahteraan. Hal itu hanya bisa diwujudkan melalui penerapan syariah Islam secara total. Dalam hal pengelolaan ekonomi dan kekayaan, Islam menetapkan bahwa hutan dan kekayaan alam yang berlimpah depositnya seperti tambang tembaga dan emas yang dikuasai Freeport, dan gas Tangguh yang dikuasai British Petroleum, merupakan harta milik umum seluruh rakyat tanpa kecuali. Kekayaan itu tidak boleh dikuasakan atau diberikan kepada swasta apalagi asing. Kekayaan itu harus dikelola oleh negara mewakili rakyat dan keseluruhan hasilnya dikembalikan kepada rakyat, diantaranya dalam bentuk berbagai pelayanan kepada rakyat.

Dalam hal perlakuan kepada rakyat, Islam mewajibkan berlaku adil kepada seluruh rakyat bahkan kepada semua manusia. Dalam Sistem Islam tidak boleh ada diskriminasi atas dasar suku, etnis, bangsa, ras, warna kulit, agama, kelompok dan sebagainya dalam hal pemberian pelayanan dan apa yang menjadi hak-hak rakyat. Islam pun mengharamkan cara pandang, tolok ukur dan kriteria atas dasar suku bangsa, etnis, ras, warna kulit dan cara pandang serta tolok ukur sektarian lainnya. Islam menilai semua itu sebagai keharaman dan hal yang menjijikkan. Semua itu hanya bisa diwujudkan dengan syariah Islam yang diterapkan dalam bingkai Khilafah Islamiyah.[] [www.al-khilafah.org]

Fida Hafiyyan Nudiya
Mahasiswa Fakultas Peternakan
Universitas Padjadjaran
Bandung


Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.