Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia terhadap buku “Hizbut Tahrir Dalam Sorotan” Karya Idrus Ramli
Ketua
Lajnah Tsaqafiyyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia
Iftira’atIdrus Romli
Banyak
tuduhan palsu, bahkan kebohongan dialamatkan kepada Hizbut Tahrir dan gagasan
yang diusungnya. Berikut ini, antara lain, tuduhan palsu dan kebohongan Idrus
Romli:
1-
Tuduhan 1: “Yang
diwajibkan bukan Khilafah tapi Imamah, yang artinya secara umum adalah kepemimpinan. Jadi tidak harus bernama
Khilafah. Buktinya Rasulullah saw tidak ber-istikhlaf (tidak memerintahkan
khilafah) sepeninggal beliau.” Ini didasarkan pada
pernyataan ‘Umar:
فَقَالَ: إنَّاللّهَعَزَّوَجَلَّيَحْفَظُدِينَهُ. وَإنِّيلَئِنْلاَأَسْتَخْلِفْفَإنَّرَسُولَاللّهِلَمْيَسْتَخْلِفْ.
وَإِنْأَسْتَخْلِفْفَإنَّأَبَابَكْرٍقَدِاسْتَخْلَفَ. قَالَ: فَوَاللّهِمَاهُوَإلاَّأَنْذَكَرَرَسُولَاللّهِوَأَبَابَكْرٍ.
فَعَلِمْتُأَنَّهُلَمْيَكُنْلِيَعْدِلَبِرَسُولِاللّهِأَحَداً. وَأَنَّهُغَيْرُمُسْتَخْلِفٍ.
“Berkata (‘Umar): ‘Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla menjaga agama-Nya.
Sekiranya aku tidak mengangkat putra mahkota, sesungguhnya karena Rasulullah
saw tidak mengangkatnya. Dan, sekiranya aku mengangkatnya, maka itu karena Abu
Bakar telah mengangkatnya.’ Berkata (Ibn ‘Umar): ‘Demi Allah, apa yang dilakukan
beliau (‘Umar) tak lain, karena beliau mengingat Rasulullah dan Abu Bakar. Saya
tahu, bahwa tidak akan pernah ada siapapun yang bisa menggantikan Rasulullah.
Dan, baginda saw. tidak mengangkat putra mahkota.’” (Muslim, Shahih Muslim, Kitab al-Imarah, 884)
Bantahan:
1-
Idrus Romli salah dalam
memahami makna lafadz, istikhlafyang disampaikan oleh Khalifah ‘Umar
maupun ‘Abdullah bin ‘Umar. Lafadz tersebut diartikan, “pengangkatan
Khilafah/Khalifah”, padahal maksudnya tidak begitu. Istikhlaf di sini
adalah pengangkatan putra mahkota, bukan pengangkatan Khalifah/Khilafah. Ini
diperkuat oleh riwayat yang dinukil oleh Imam as-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh
Khulafa’(156), ketika Marwan diutus Mu’awiyah ke Madinah untuk mengambil
bai’at dari penduduk Madinah kepada Yazid bin Mu’awiyah. Marwan berkata, “Amirul
Mukminin (Mu’awiyah) memandang perlu mengangkat anaknya sebagai putra mahkota
untuk (memimpin) kalian karena mengikuti tuntunan Abu Bakar dan ‘Umar.” ‘Abdurrahman
bin Abu Bakar berdiri, “Tidak, tetapi itu tuntunan Kisra dan Kaesar. Sebab,
Abu Bakar dan ‘Umar tidak menjadikan Khilafah untuk anak-anak mereka, juga
tidak untuk salah seorang anggota keluarganya.”
Jika lafadz istikhlaf di atas dipahami sepertiitu,
maka akan terjadi kontradiksi antara tindakan Nabi “tidak mengangkat Khalifah”
dengan Abu Bakar yang “mengangkat Khalifah”. Tetapi, jika dipahami sebagaimana
riwayat as-Suyuthi, maka perbedaan antara Nabi dan Abu Bakar hanya terletak
pada cara. Nabi tidak menunjuk putra mahkota, sedangkan Abu Bakar menunjuk,
setelah mengambil pendapat penduduk Madinah yang suaranya mengerucut pada
‘Umar.
2-
Menurut al-Khatthabi, dalam
kitabnya, Tharh at-Tatsrib fi Syarh at-Taqrib, (VIII/75), pernyataa
‘Umar dan ‘Abdullah bin ‘Umar di atas, tidak bisa diartikan, bahwa mengangkat
Khalifah tidak wajib:
قوله: (وإني إن لا أستخلف فإن رسول الله [صلم] لم يستخلف) قال الخطابي: معناه
لم يسم رجلا بعينه للخلافة، ولم يرد به أنه لم يأمر بذلك، ولم يرشد إليه، وأهمل
الأمر بلا راع يرعاهم وقد قال عليه الصلاة والسلام: الأئمة من قريش، فكان معناه
الأمر بعقد البيعة لإمام من قريش، ولذلك رأيت الصحابة يوم مات رسول الله [صلم] لم
يقضوا شيئا من أمر دفنه وتجهيزه حتى أحكموا أمر البيعة ونصبوا أبا بكر وكانوا
يسمونه خليفة رسول الله [صلم]، إذ كان فعلهم صادرا عنه ومضافا إليه وذلك من أدل
الدليل على وجوب الخلافة.
“Pernyataan ‘Umar, ‘Sesungguhnya aku,
jika aku tidak mengangkat putra mahkota, itu karena Rasulullah saw. juga tidak
mengangkat putra mahkota.’ Al-Khatthabi berkomentar, ‘Maknanya, seseorang tidak
disebut dengan sendirinya jabatan Khilafah, dan tidak berarti yang beliau
maksud adalah tidak memerintahkan, dan tidak menganjurkannya, serta membiarkan
urusan tersebut tanpa pengatur yang mengurusnya, sementara Rasulullah saw telah
bersabda, ‘Para imam itu berasal dari Quraisy.’ Maknanya adalah perintah untuk
membaiat seorang imam dari Quraisy. Karena itu, Anda melihat para sahabat
ketika hari wafatnya Rasulullah saw, mereka tidak menunaikan pemakaman baginda
dan menyiapkannya hingga mereka memastikan urusan baiat ini, dan berhasil
mengangkat Abu Bakar, dan mereka menyebutnya sebagai Khalifah Rasulullah saw,
karena tindakan mereka bersumber dari dan disandarkan kepada baginda. Itu
merupakan dalil yang paling jelas dan tegas tentang wajibnya mendirikan
Khilafah.”
3-
Sedangkan Imamah,
Khilafah dan Imaratu al-Mu’minin, menurut Imam an-Nawawi, dalam
kitabnya, al-Majmu’ Syarah al-Muhadzdzab(XXI/26):
وَالإِمَامَةُ وَالْخِلاَفَةُ وَإِمَارَةُ الْمُؤْمِنِيْنَ مُتَرَادِفَةٌ، وَالْمُرَادُ
بِهَا الرِّياَسَةُ الْعَامَّةُ فِي شُؤُوْنِ الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا
“Imamah, Khilafah dan Imaratu al-Mukminin adalah sinonim. Yang dimaksud
dengannya adalah kepemimpinan umum dalam urusan agama dan dunia.”
2-
Tuduhan 2: Bukankah sudah
diberitakan oleh Rasulullah saw bahwa kekhilafahan umat Islam hanya
berlangsung 30 tahun, setelah itu tidak ada lagi Khilafah dan
pemimpin umat Islam menjadi berjumlah banyak, jadi memperjuangkannya adalah
kesia-siaan.
Tuduhan ini didasarkan pada hadits Rasulullah saw dalamMusnad Ahmad bin
Hambal, haditz
nomor 22273, bahwa masa
kekhilafahan umat Islam hanya 30 tahun, setelah itu adalah kerajaan.
Bantahan:
1-
Pernyataan Idrus Romli,
bahwa setelah 30 tahun tidak ada Khilafah jelas keliru. Meski ini disandarkan
kepada redaksi hadits, tetapi hadits ini bukan satu-satunya. Ada hadits lain
yang menyatakan, bahwa Khilafah berjumlah 12 orang. Termasuk hadits yang
menyatakan secara umum, tanpa batas waktu dan jumlah orangnya, “Wa satakunu
khulafa’ fa yaktsuruna (Akan ada para Khalifah, hingga jumlah mereka banyak).”
(Hr. Muslim). Juga hadits yang mewajibkan umat ini harus mempunyai
Khalifah, dan haram hukumnya mati sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at,
“Man mata wa laisa fi ‘unuqihi bai’ah mata mitatan jahiliyyah (Siapa
saja yang mati, sementara di atas pundaknya tidak ada bai’at, maka dia mati
dalam keadaan jahiliyah).” (Hr. Ibn Hibban)
Karena itu, as-Suyuthi, sengaja mengemukakan hadits 30
Khilafah dan 12 imam ini sebelum mengawali pembahasan para Khalifah, satu per
satu, dengan menukil penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh:
لعلالمرادبالاثنيعشرفيهذهالأحاديثوماشابههاأنهميكونونفيمدةعزةالخلافةوقوةالإسلامواستقامةأمورهوالاجتماععلىمنيقومبالخلافةوقدوجدهذافيمناجتمععليهالناسإلاأناضطربأمربنيأميةووقعتبينهمالفتنةزمنالوليدبنيزيدفاتصلتبينهمإلىأنقامتالدولةالعباسيةفاستأصلواأمرهم.
“Barangkali maksud dua belas imam
(Khalifah) di dalam hadits-hadits itu dan yang sejenis adalah, bahwa mereka itu
berada dalam puncak kejayaan Khilafah, dan puncak kejayaan Islam, serta mulus
dan lurusnya perjalanan Islam, serta kesepakatan orang-orang di masa itu atas
kepemimpinan Khalifah tersebut. Sebab, memang ada masa dimana manusia sepakat
atas kepemimpinan mereka, hingga datanglah satu masa di mana kekuasaan Bani
Umayyah mulai goyah, yakni di masa al-Walid bin Yazid hingga terjadilah
kegoncangan sampai akhirnya berdirilah Daulah ‘Abbasiyyah, dan mereka mengikis
semua kekuasaan Bani Umayyah.” (as-Suyuthi, Tarikh
al-Khulafa’, 8)
As-Suyuthi juga menukil pendapat Ibn Hajar al-Asqalani,
menurutnya:
كلامالقاضيعياضأحسنماقيلفيالحديثوأرجحه
“Penjelasan al-Qadhi ‘Iyadh ini
merupakan penjelasan terbaik tentang hadits tersebut, dan saya menguatkannya..”
(as-Suyuthi, Tarikh al-Khulafa’, 9).
Dengan demikian, maka semua hadits dalam masalah ini, baik
yang membatasi dengan waktu (30 tahun), atau dengan jumlah imam (12
Khalifah/imam), maupun yang mutlak bisa dipertemukan. Tanpa menafikan satu pun
dalil yang menyatakan tentang masalah Khilafah ini. Inilah pendapat yang paling
tepat, sesuai dengan prinsip dalam ushul, “I’mal ad-dalilain aula min ihmali
ahadihima (Menggunakan dua dalil [yang tampak kontradiksi] lebih baik,
ketimbang mengabaikan salah satunya)”
Dengan reasoning seperti itulah, maka as-Suyuthi
kemudian menyusun kitabnya, Tarikh al-Khulafa’, dengan menyatakan:
فلهذهالأمورلمأذكرأحداًمنالعبيديينولاغيرهممنالخوارجوإنماذكرتالخليفةالمتفقعلىصحةإمامتهوعقدبيعته
“Karena itulah, saya tidak menyebut
seorang pun dari para emir ‘Ubaidiyah dan kelompok Khawarij yang lain, tetapi
saya hanya menyebutkan Khalifah yang disepakati keabsahan imamah dan akad
bai’atnya.” (Lihat, as-Suyuthi, Tarikh
al-Khulafa’, 5)
2-
Fakta saat ini, bahwa para penguasa
kaum Muslim jumlahnya banyak, memang benar. Tetapi, masalahnya, apakah fakta
ini dibenarkan oleh Islam? Dan, apakah memperjuangkan Khilafah untuk
menyatukannya sia-sia? Jelas tidak. Dengan tegas Imam an-Nawawi, dalam
kitabnya, Syarah Shahih Muslim(Juz XII/321), menyatakan:
واتفقالعلماءعلىأنهلايجوزأنيعقدلخليفتينفيعصرواحدسواءاتسعتدارالإسلامأملا. وقالإمامالحرمينفيكتابهالإرشاد:
قالأصحابنالايجوزعقدهاشخصين،
“Para ulama
bersepakat bahwa tidak boleh mengangkat dua khalifah dalam satu masa, baik wilayah Negara Islam luas maupun tidak. Imam al-Haramain berkata, dalam kitabnya, al-Irsyad, para ashhab kami
(Ahlusunnah-Syafii) menyatakan, ‘Tidak boleh memberikan jabatan Khilafah kepada
dua orang.”
Memang ada pendapat yang menyatakan kebolehan adanya lebih dari
satu imam (Khalifah). Pendapat ini dinyatakan oleh kelompok Karamiyyah,
sebagaimana dinukil oleh Imam as-Sinqithi (Ulama Sunni). Lihat, Adhwâ’ al-Bayân fî Îdhâh al-Qur’ân bi al-Qur’ân, Juz I/83:
قولالكراميةبجوازذلكمطلقًامحتجينبأنعليًّاومعاويةكاناإمامينواجبيالطاعةكلاهماعلىمنمعه،وبأنذلكيؤديإلىكونكلواحدمنهماأقومبمالديهوأضبطلمايليه.
“Pendapat Karamiyyah tentang secara
mutlak diperbolehkannya (adanya dua Khalifah) dengan argumen, bahwa ‘Ali dan
Mu’awiyah dua-duanya pernah menjadi imam (Khalifah) yang sama-sama wajib
ditaati, masing-masing oleh pengikutnya. Juga karena itu menyebabkan
masing-masing lebih lurus dalam menjalankan kekuasaannya, serta lebih kuat bagi
generasi berikutnya.”
Kelompok ini dinisbatkan kepada Muhammad bin Karam
as-Sajsatani (w. 255 H). Tetapi, ini bukan kelompok Ahlusunnah, melainkan Mujassimah.
Muhammad bin Karam as-Sajsatani, disebut oleh Ibn Hajar, “Saqith al-hadits
‘ala bid’atihi (Hadits gugur, karena bid’ahnya).” (Lihat, Ibn Hajar, Lisan
al-Mizan, Juz V/400)
Jadi, Idrus Romli jelas bukan pengikut Ahlussunnah, yang tidak
mengakui paham ta’addudulimamah, sebaliknya merupakan pengikut
Karamiyyah, yang dinyatakan oleh Ibn Hajar sebagai Ahli Bid’ah.
3-
Tuduhan 3:Asumsi bahwa
Khilafah ‘Ala Minhaj An-Nubuwwah ke-2 belum datang adalah salah, karena menurut
para ‘ulama yang dimaksud dalam hadits Ahmad adalah masa ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz
ra.
Al-Hafidh al-Baihaqi menukil penjelasan:
قال: فقدمعمر - يعني: ابنعبدالعزيز - ومعهيزيدبنالنعمانفكتبتإليهأذكرهالحديثوكتبتإليهإنيأرجوأنيكونأميرالمؤمنينبعدالجبرية،قال:
فأخذيزيدالكتابفأدخلهعلىعمرفسربهوأعجبه» .
“Berkata (perawi hadits): ‘Umar –maksudnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz— bersama
Yazid bin an-Nu’man berdiri, lalu aku (perawi hadits) menuliskan surat kepadany
untuk mengingatkannya akan hadits tersebut. Aku tuliskan, isinya, “Saya
berharap, dia adalah Amirul Mukminin (‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz) setelah era Jabariyyah.”
Berkata (perawi hadits), ‘Maka Yazid pun mengambil surat tersebut, dan
memasukkannya ke saku ‘Umar. Beliau pun senang dengannya, dan terkejut.” (Lihat, al-Baihaqi, Dalail an-Nubuwwah, Juz VI/491)
Pendapat al-Hafidh al-Baihaqi ini juga dikutip oleh kakek al-‘Allamah
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, al-‘Allamah Syaikh Yusuf an-Nabhani, dalam
kitabnya Hujjatu-Llah ‘ala al-‘Alamin fi Mu’jizat Sayyidi al-Mursalin, hal.
527.
Bantahan:
1-
Bahwa Khilafah ‘ala Minhaj
an-Nubuwwah yang disebut dalam hadits Ahmad adalah masa Khalifah Umar bin
Abdil ‘Aziz ra. merupakan asumsi seorang perawi bernama Habib bin Salim rahimahullaah.Karena
itu, ini jelas bukan hadits Rasulullah saw. Dalam penjelasannya, Habib bin
Salim rahimahullaah sendiri tidak bisa memastikan, bahwa yang dimaksud
dalam hadits tersebut adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Karena itu, beliau
menyatakan, “Arju an yakuna Amiru al-Mu’minin (Saya berharap dia adalah
Amirul Mukminin).” Kalaupun ada yang berpendapat demikian tentunya tidak berupa
keyakinan yang kemudian menafikan kemungkinan yang lainnya, karena landasannya
sebatas “harapan” seorang perawi.
2-
Menurut hadits Muslim nomor
2913: Akan ada kembali kekhilafahan:(a) Hadits menyebutkan munculnya khalifah
di akhir umat Nabi Muhammad saw.:
«يَكُونُفِيآخِرِأُمَّتِيخَلِيفَةٌيَحْثِيالْمَالَحَثْياً،لاَيَعُدُّهُعَدَداً».
“Di era akhir umatku kelak akan ada
seorang Khalifah yang mengumpulkan harta begitu melimpah, yang tidak terkira
jumlahnya.”
(b)
Keterangan dua orang perawinya, Abu Nadhrah dan Abu Al-’Ala’ saat ditanya oleh
Al-Jurairi:
قَالَقُلْتُلأَبِينَضْرَةَوَأَبِيالْعَلاَءِ: أَتَرَيَانِأَنَّهُعُمَرُبْنُعَبْدِالْعَزِيزِ؟فَقَالاَ:
لاَ.
Berkata (perawi), ‘Aku tanyakan kepada Abu Nadhrah dan Abu
al-‘Ala’, “Apakah Anda berdua berpendapat, bahwa yang dimaksud adalah ‘Umar bin
‘Abdul ‘Aziz?” Keduanya menjawab, “Tidak.”
Jelas yang dimaksud oleh hadits Muslim ini bukanlahKhalifah
‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz. Maka, pendapat Idrus Romli, atau yang lain, yang mengatakan
bahwa tidak akan ada lagi Khalifah, berarti mengingkari hadits shahih ini.
3-
Masih dari sumber yang sama,
yaitu hadits nomor 2914: “Akan muncul kembali Khalifah di akhir zaman”. Tentu
bukan Khalifah ‘Umar bin ‘Abdil ‘Aziz, karena beliau hidup dekat dengan masa
kenabian dan bukan di akhir zaman. Maka, mengatakan tidak akan ada lagi Khalifah
juga berarti mengingkari hadits shahih ini.
4-
Tuduhan 4: Kalaupun ada Khilafah di akhir zaman, itu adalah Khilafah yang
ditegakkan oleh Imam al-Mahdi, yang sudah dijanjikan kedatangannya oleh
Rasulullah saw di banyak hadits. Bukan Khilafah versi Hizbut Tahrir.
Abu Ya’la al-Maushili, dalam kitabnya, Musnad Abu Ya’laal-Maushili
(Juz XII/19), meriwayatkan hadits dari Abu Hurairah, bahwa Khilafah di akhir
zaman nanti adalah kekhilafahan Imam Mahdi. Itupun masanya sangat singkat,
yaitu tujuh tahun saja.
Bantahan:
1-
Imam Mahdi memang Khalifah
di akhir zaman, tapi dia bukan satu-satunya. At-Thabarani meriwayatkan hadits
shahih, bahwa Imam Mahdi nanti akan dibai’at menjadi Khalifah setelah Khalifah
sebelumnya wafat:
«يَكُونُاخْتِلافٌعِنْدَمَوْتِخَلِيْفَةٍفَيَخْرُجُرَجُلٌمِنْبَنِيهَاشِمٍفَيٌّاتِيمَكَّةَ،فَيَسْتَخْرِجُهُالنَّاسُمِنْبَيْتِهِبَيْنَالرُّكْنِوَالمَقَامِ..».
“Terjadi
perselisihan saat meninggalnya seorang Khalifah, lalu keluarlah seorang lelaki
keturunan Bani Hasyim hingga dia tiba di Makkah. Orang-orang pun memintanya
keluar dari rumahnya, antara Rukun (Hajar Aswad) dan Maqam (Ibrahim)..”
Itu artinya, sebelum Imam Mahdi sudah ada kekhilafahan, dan
sudah ada Khalifah yang dibai’at (Lihat, Majma’ Az-Zawaid, Juz
VII/433). Pertanyaannya, darimana datangnya Kkhilafah tersebut? Apakah
muncul dengan sendirinya? Jelas tidak.
Karena itu, hadits-hadits tentang akan datangnya Imam Mahdi
menjadi Khalifah tidak bisa menggugurkan kewajiban untuk mendirikan Khilafah,
dan mengangkat seorang Khalifah. Justru sebaliknya, Imam Mahdi itu tidak akan
pernah ada, jika sebelumnya tidak ada Khilafah. Hadits-hadits seperti ini
memang sering dijadikan justifikasi bagi mereka yang tidak mau atau malas
berjuang untuk menegakkan Khilafah.
5- Tuduhan 5: Kajian tentang Khilafah bukan
perkara penting, sehingga tidak perlu disikapi secara Ekstrem.
Mengutip pernyataan Hujjatul Islam,
Imam al-Ghazali, berkata dalam kitabnya, al-Iqtishad fi al-I’tiqad, hal. 200, “Kajian tentang khilafah tidak penting, dan
lebih selamat tidak mengkajinya.”
Bantahan:
1-
Idrus Romli, dalam hal ini
tidak jujur kepada Imam al-Ghazali. Dan seperti itulah caranya, memotong
penggalan kalimat, termasuk ketika mengutip kalimat al-‘Allamah Syaikh
Taqiyuddin an-Nabhani. Mari kita cermati pernyataan Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali:
النظرفيالإمامةأيضاًليسمنالمهمات،وليسأيضاًمنفنالمعقولاتفيهامنالفقهيات،ثمإنهامثارللتعصباتوالمعرضعنالخوضفيهاأسلممنالخائض،بلوإنأصاب،فكيفإذاأخطأ!
ولكنإذاجرىالرسمباختتامالمعتقداتبهأردناأننسلكالمنهجالمعتادفإنالقلوبعنالمنهجالمخالفللمألوفشديدةالنفار،ولكنانوجزالقولفيهونقول:
النظرفيهيدورعلىثلاثةأطراف:
“Berdebat tentang imamah bukanlah perkara penting,
juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang fiqih. Masalah ini juga menjadi
pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak membahasnya lebih selamat,
ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya. Itupun jika benar, lalu bagaimana
kalau membahasnya, ternyata salah? Namun, jika dirumuskan untuk mengakhiri apa
yang selama ini menjadi keyakinan, maka kami ingin menempuh metode yang lazim.
Sebab, biasanya hati sangat keras penolakannya terhadap metode yang
bertentangan.. Tetapi, kami ingin meringkas pendapat dalam hal ini, dimana
pendapat dalam hal ini berkisar pada tiga hal:
الطرفالأول: فيبيانوجوبنصبالإمام.ولاينبغيأنتظنأنوجوبذلكمأخوذمنالعقل،فإنابيناأنالوجوبيؤخذمنالشرعإلاأنيفسرالواجببالفعلالذيفيهفائدةوفيتركهأدنىمضرة،وعندذلكلاينكروجوبنصبالإماملمافيهمنالفوائدودفعالمضارفيالدنيا،ولكنانقيمالبرهانالقطعيالشرعيعلىوجوبهولسنانكتفيبمافيهمنإجماعالأمة،بلننبهعلىمستندالإجماع.
“Aspek
pertama: Penjelasan tentang kewajiban mengangkat seorang imam (Khalifah). Tidak semestinya ada asumsi,
bahwa kewajiban mengangkat imam (Khalifah) ditetapkan dengan akal. Karena itu,
kami tegaskan, bahwa kewajiban tersebut ditetapkan dengan syara’. Hanya saja,
kewajiban tersebut secara nyata boleh dijelaskan (reasoningnya), yang berisi
manfaat, dan jika meninggalkannya akan ada mudarat. Pada saat itu, kewajiban
menegakkan imam tersebut tidak boleh ditolak, karena berbagai faktor manfaat
yang ada, juga berbagai faktor terhindarkannya mudarat yang ada di dunia.
Namun, kami ingin membangun argumen yang qath’i dan syar’i mengenai
kewajibannya (mengangkat imam), tidak hanya dengan kesepakatan umat, tetapi
kami juga ingin mengingatkan pada sandaran kesepakatan tersebut.”
Al-Ghazali pun kemudian
banyak mengemukakan logika, hingga sampai pada kesimpulan berikut ini:
ولهذاقيل: الدينوالسلطانتوأمان،ولهذاقيل:
الدينأسوالسلطانحارسومالاأسلهفمهدومومالاحارسلهفضائع.
“Karena itu bisa
disimpulkan, bahwa agama dan kekuasaan (Imamah atau Khilafah) adalah dua
saudara kembar. Bisa juga disimpulkan, bahwa agama merupakan pondasi, sementara
kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai
pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga sesuatu yang tidak mempunyai penjaga,
juga pasti akan hilang.”
Karena
itu, pernyataan al-Ghazali yang menyatakan, “Berdebat tentang
imamah bukanlah perkara penting, juga bukan bidang logika. Ia merupakan bidang
fiqih. Masalah ini juga menjadi pemicu terjadinya fanatisme. Orang yang menolak
membahasnya lebih selamat, ketimbang orang yang melibatkan diri di dalamnya.
Itupun jika benar, lalu bagaimana kalau membahasnya, ternyata salah?” tidak berarti bahwa masalah
Khilafah ini tidak penting. Karena ini bertentangan dengan apa yang beliau
uraikan sendiri.
Jadi, konteks pernyataan ini
terkait dengan perdebatan yang terjadi di kalangan Ahli Kalam, yang tidak
berujung, sehingga akhirnya mengaburkan substansi kewajibannya itu sendiri.
Justru al-Ghazali menegaskan, bahwa menegakkan Khilafah ini merupakan kewajiban
sangat penting, hingga sampai pada kesimpulan, bahwa “Agama dan kekuasaan
(Imamah atau Khilafah) adalah dua saudara kembar.” Juga, kesimpulan, bahwa
“Agama merupakan pondasi, sementara kekuasan (Imamah atau Khilafah) adalah
penjaga. Sesuatu yang tidak mempunyai pondasi, pasti akan roboh. Demikian juga
sesuatu yang tidak mempunyai penjaga, juga pasti akan hilang.”
2-
Sebaliknya, semua ulama’ Ahlussunnah menyatakan,
bahwa masalah Khilafah ini merupakan kewajiban yang sangat penting (ahammu
al-wajibat). Ini bisa dilacak pada kitab-kitab muktabar, karya ulama’
Sunni, berikut ini:
a- Imam Hasan al-‘Aththar
(Ulama Sunni), dalam HasyiyahJam’u al-Jawami’, Juz II/487.
b- Muhammad bin Ahmad as-Safarinial-Hambali (Ulama Sunni), dalam
kitabnya,
Lawâmi’ al-Anwâr,Juz II/419.
c- Ibnu
Hajar al-Haitami (Ulama Sunni), dalam kitabnya,as-Shawâ’iq
al-Muhriqah, halaman 10.
d- Syamsuddinar-Ramli (Ulama Sunni), dalam Ghâyah al-Bayân: Syarhu Zubad Ibn Ruslân, halaman 23.
e- Muhammad al-Hashkifi al-Hanafi (Ulama Sunni),dalamad-Durr
Al-MukhtarSyarh Tanwiyr al-Abshar, halaman 75.
3-
Demikian juga, jika pendapat yang menyatakan
kewajiban menegakkan Khilafah atau Imamah ini dikatakan ekstrim, maka pendapat
ini jelas telah menyerang para sahabat ridhwanullah ‘alaihim:
a- Handzalah bin ar-Rabi’ ra.
(Sahabat sekaligus Jurutulis Rasulullah saw) menyebutkan, bahwa dengan tanpa
Khilafah,umat Islam bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani.Lihat,
at-Thabari, Taarikhu at-Thabari, hal. 776
f- ‘Umar bin Khaththab ra. memerintahkan untuk membunuh anggota
syura’ dari kalangan sahabat pilihan jika menghambat proses pemilihan khalifah,
dan para sahabat lainnya tidak ada yang menolak bertanda mereka setuju. Lihat,al-Kamil
fi at-Tarikh, Juz II/461.
g- ‘Umar bin Khaththab ra.
menyebutkan bahwa dengan meninggalkan Had Rajam saja umat bisa sesat! Tanpa
Khilafah banyak hudud ditinggalkan. Lihat,Shahih al-Bukhari,
hadits nomor 6829.
h- Imam Taqyuddin Abu Bakr al-Hishniy
(Ulama Sunni) menyebutkan bahwa menurut para ulama istighfar yang disertai
dengan diantaranya keridhaan tidak menerapkan hudud adalah terhitung sebagai
dosa! Lihat, Kifayatu al-Akhyar, hlm 242.
6-
Tuduhan 6: Bahwa penguasa yang
zalim dan sistem yang rusak adalah akibat kezaliman dan kerusakan masyarakat, sehingga merubahnya hedaknya dengan merubah
masyarakat, bukan dengan meraih
kekuasaan.
Idrus Romli menjustifikasi pendapatnya dengan mengutip pandangan Imam Fakhruddin al-Razi, dalam tafsirnya, al-Tafsir
al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib(Juz XIII/204), bahwa tampilnya seorang pemimpin yang zalim adalah
akibat kezaliman yang dilakukan oleh rakyat.
Bantahan:
1-
Hizbut Tahrir merubah sistem
dengan berdakwah di tengah-tengah dan bersama umat (masyarakat) sampai mereka
menjadikan Islam sebagai pandangan hidupnya, sehingga akhirnya mereka
sendirilah yang menuntut penerapan Syari’at dan Khilafah.
2-
Meski demikian, kekuasan
–seperti kata al-Ghazali—sangat penting untuk menerapkan syariah (agama). Tanpa
kekuasaan, syariah tidak akan mungkin bisa ditegakkan.
7-
Tuduhan 7:Menurut Ulama
Sunni tidak boleh menggulingkan pemerintahan.
Pandangan Idrus Romli ini dijustifikasi dengan pendapat Imam Abu Ja’far al-Thahawi (Ulama Sunni). Dalam
kitabnya,al-’Aqidah al-Thahawiyyah, beliau menyatakan, “Ahlussunnah wal Jama’ah tidak memiliki pandangan
menggulingkan pemerintahan yang sah,
meskipun mereka telah berbuat kezaliman.”
Bantahan:
1-
Pernyataan Abu Ja’far
at-Thahawi tepatnya sebagai berikut:
ولا نرى الخروج على أئمتنا وولاة أمورنا وإن جاروا، ولا ندعو على أحد منهم
ولاننزع يدا من طاعتهم، ونرى طاعتهم من طاعة الله عز وجل فريضة ما لم يأمروا
بمعصية
“Kami tidak berpendapat tentang
kebolehan memisahkan diri dari para imam kita, juga para penguasa kita,
sekalipun mereka bertindak zalim. Kami tidak semestinya melaknat siapapun di
antara mereka, juga tidak melepaskan tangan dari ketaatan terhadap mereka. Kami
menyatakan, bahwa mentaati mereka merupakan bentuk ketaatan kepada Allah ‘Azza
wa Jalla, yaitu fardhu, selama mereka tidak memerintahkan maksiat.” (Lihat, Syarah al-‘Aqidah
at-Thahawiyyah,hal. 110-111)
Dalam Syarah
al-‘Aqidah at-Thahawiyyah, al-‘Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq ‘Abdul Ghani (w
1298 H), menjelaskan, “Jika tidak demikian, maka tidak ada ketaatan kepada
mereka.” Beliau juga mengutip hadits Bukhari dari ‘Ubadah bin Shamit, “Baginda
Nabi saw berpesan kepada kami agar kami tidak merebut urusan tersebut dari yang
berhak, kecuali (pesan baginda saw) jika kalian menyaksikan kekufuran yang
nyata, sementara kalian mempunyai bukti yang kuat di hadapan Allah.”
Kekufuran yang
nyata (bawwah) di sini, dijelaskan dalam catatan kaki, sebagai tindakan
penguasa menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal (Lihat,
al-‘Allamah al-Faqih al-Muhaqqiq ‘Abdul Ghani, Syarah al-‘Aqidah
at-Thahawiyyah, hal. 112).
Konteks penjelasan
Abu Ja’far at-Thahawi di atas jelas terkait dengan sistem Khilafah yang masih
menerapkan seluruh hukum Islam. Bukan dalam konteks sistem Kufur sebagaimana
saat ini, dimana para penguasanya bukan hanya melakukan kezaliman terhadap
rakyatnya, tetapi juga telah jelas-jelas telah menghalalkan yang haram dan
mengharamkan yang halal, serta memaksa rakyatnya untuk tunduk dan patuh kepada
sistem tersebut.
2-
Selain itu, ini juga hanya
merupakan salah satu pendapat. Tetapi, ini tidak bisa menafikan pendapat
Ahlussunnah yang lain. Ibn Katsir (Ulama Sunni),menyatakan:
وقولهتعالى: ﴿أَفَحُكْمَٱلْجَـٰهِلِيَّةِيَبْغُونَۚوَمَنْأَحْسَنُمِنَٱللَّهِحُكْمًالِّقَوْمٍيُوقِنُونَ﴾ ينكرتعالىعلىمنخرجعنحكماللهالمحكمالمشتملعلىكلخير،الناهيعنكلشروعدلإلىماسواهمنالآراءوالأهواءوالاصطلاحاتالتيوضعهاالرجالبلامستندمنشريعةالله،كماكانأهلالجاهليةيحكمونبهمنالضلالاتوالجهالاتممايضعونهابآرائهموأهوائهم،وكمايحكمبهالتتارمنالسياساتالملكيةالمأخوذةعنملكهمجنكزخانالذيوضعلهمالياسق،وهوعبارةعنكتابمجموعمنأحكامقداقتبسهامنشرائعشتى:
مناليهوديةوالنصرانيةوالملةالإسلاميةوغيرها،وفيهاكثيرمنالأحكامأخذهامنمجردنظرهوهواه،فصارتفيبنيهشرعاًمتبعاًيقدمونهاعلىالحكمبكتاباللهوسنةرسولاللهصلىاللهعليهوسلّم،فمنفعلذلكمنهمفهوكافريجبقتالهحتىيرجعإلىحكماللهورسوله[صلم]،فلايحكمسواهفيقليلولاكثير..
“Siapa
saja yang melakukannya (mengganti hukum Allah dengan yang lain dan tidak
menerapkan syariat Islam) di antara mereka, maka dia Kafir yang wajib diperangi
hingga kembali kepada hukum Allah dan Rasul-Nya saw, dan tidak memerintah
dengan hukum yang lain, baik sedikit maupun banyak.”(Lihat, Ibn Katsir,Tafsir al-Qur’an al-‘Adhim [Tafsir Ibn Katsir],Juz
III/131)
8-
Tuduhan 8: Hizbut Tahrir
mengaggap bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan qadha’ (keputusan)
Allah SWT, padahal menurut ulama Sunni semua perbuatan manusia adalah ciptaan
Allah SWT.
Menurut Idrus Romli, Syaikh Taqiyyuddin
an-Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, dengan
mengadopsi pandangan Mu’tazilah,
menegaskan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/71 dan 72), bahwa perbuatan manusia tidak ada kaitannya dengan
keputusan Allah. Sementara Imam al-Hafidz al-Kabir Abu Bakar Ahmad bin
al-Husain al-Baihaqi (w. 458 H), berkata dalam kitabnya, al-I’tiqad ‘ala Madzhab
as-Salaf Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah, hal. 53-54, bahwa semua perbuatan
manusia adalah ciptaan Allah dan terjadi sesuai dengan keputusan Allah.
Bantahan:
1-
Ini hal yang sama yang
dituduhkan oleh al-Harari. Sebenarnya, kalau Idrus Romli maupun al-Harari,
mencermati dengan teliti penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani,
pasti tidak berkesimpulan demikian. Karena beliau menjelaskan dua kategori perbuatan
manusia: Pertama, Perbuatan yang menguasai manusia, baik yang menimpa
dirinya maupun dari dirinya. Kedua, Perbuatan yang dikuasai oleh
manusia.
2-
Kategori yang pertama inilah
yang masuk dalam wilayah Qadha’, sedangkan kategori yang kedua tidak.
9- Tuduhan 9: Hizbut Tahrir menyamakan Ahlussunnah
dengan Jabariyyah.
Merujuk pada penjelasan al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam
kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah(Juz I/73), bahwa “Ahlussunnah
sama dengan Jabariyyah.”
Bantahan:
1-
Yang dimaksud dengan
Ahlussunnah di sini adalah mazhab Ahlussunnah di bidang akidah, yaitu
Asy’ariyyah. Dalam pembahasan Qadha’ dan Qadar pada hakikatnya pendapat
keduanya (Ahlussunnah dan Jabariyyah) sama.Sama-sama menyatakan, bahwa
perbuatan manusia, baik taat maupun maksiat, adalah ketetapan dan ciptaan Allah
SWT. Bedanya, Asy’ariyyah mengenal apa yang dinamakan dengan Kasb Ikhtiyari,
yaitu manusia berkuasa memilih perbuatannya. Namun, yang terjadi tetap apa yang
telah ditetapkan Allah SWT, baik dipilih maupun tidak. Karena suatu perbuatan
akan terjadi manakala kuasa manusia sejalan dengan kuasa Allah SWT.
2-
Yang menyatakan bahwa
Asy’ariyyah memiliki kesamaan dengan Jabariyyah bukan hanya al-‘Allamah Syaikh
Taqiyuddin. Ibn ‘Abidin, dalam kitabnya, Hasyiyah Ibn ‘Abidin (Juz
VI/604), menyatakan:
والجبريةاثنتان: متوسطةتثبتللعبدكسباًفيالفعلكالأَشْعرية،وخالصةلاتثبتهكالجهمية
“Jabariyyah ada dua: Moderat yang
menetapkan bahwa manusia mempunyai usaha dalam bertindak, seperti Asy’ariyyah.
Ekstrem (Murni), yang tidak mengakui adanya usaha, seperti Jahmiyyah.”
Hal yang sama juga dinyatakan oleh Imam al-Iji (Ulama Sunni)
dalam kitabnya,al-Mawaqif, halaman 428, serta al-Jurjani (ulama’
Sunni), dalam kitabnya at-Ta’rifat, halaman 66.
10-
Tuduhan 10:Hizbut Tahrir mengingkari ta’wil atas nash-nash mutasyabihat
Idrus Romli mengutip penjelasan al-‘Allamah Syaikh
Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam
kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah(Juz
I/53), bahwa “Ta’wil pertama kali dilakukan oleh kalangan
teolog, bukan ulama salaf.”Sementara Imam as-Syaukani (Ulama Syiah Zaidiyah), berkata dalam kitabnya,Irsyad al-Fuhul, mengutip penjelasan Imam az-Zarkasyi (Ulama Sunni) dalam kitabnya,
al-Burhan fi ‘Ulum al-Qur’an, bahwa ta’wil terhadap Nushush Mutasyabihat
dilakukan oleh ulama salaf.
Bantahan:
1-
Hizbut Tahrir dalam konteks
ini, sebenarnya tidak sedang mengkritik ta’wil, melainkan mengkritik manhajkaum
Mutakallimin yang menjadikan akal sebagai asas dalam melakukan ta’wil, bukan
ayat al-Qur’an(Lihat, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/55-56)
2-
Bahkan, tidak ada satu pun
dalam kitab Hizbut Tahrir yang membahas tentang takwil.
11- Tuduhan 11: Hizbut Tahrir menisbatkan
kejelekan kepada Allah SWT
Idrus Romli menuduh, bahwa al-‘Allamah Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani menyatakan dalam kitabnya, as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah (Juz I/43), bahwa yang dimaksud
dengan “Qadar dalam hadits Jibril adalah ilmu
Allah”. Dengan demikian, berarti an-Nabhani
menisbatkan keburukan kepada AllahSWT. Sementara Syaikh Nawawi Banten, dalam
kitabnya,Kasyifat as-Saja Syarh Safinah al-Naja, halaman 12, menyatakan,
“Tidak boleh menisbatkan kejelekan kepada Allah.”
Bantahan:
1-
Pandangan, bahwa an-Nabhani menisbatkan keburukan kepada AllahSWT.sebenarnya
tidak pernah dinyatakan oleh al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani. Tetapi,
ini merupakan kongklusi dari premis yang dibangun oleh Idrus Romli sendiri.
2-
Adapun maksud dari iman
kepada Qadha’ dan Qadar, baik dan buruknya dari Allah SWT,“Mengimani bahwa
perbuatan yang bersumber dari manusia atau menimpanya, dan bersifat “memaksa”
dan khashiyyat yang ada pada benda-benda adalah dari Allah SWT, bukan dari
Manusia, dan tidak ada peranan manusia di dalamnya.”(Lihat, as-Syakhshiyyah
al-Islaamiyyah, Juz I/ 94). Jadi tidak ada satu pun penjelasan beliau
yang menisbatkan kejelekan kepada Allah SWT.
12- Tuduhan 12: Hizbut Tahrir mengaggap bahwa
para Nabi dan Rasul tidak ma’shum sebelum kenabian dan kerasulan mereka.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya,as-Syakhshiyyah al-Islamiyyah, Juz I/132, menyatakan, bahwa“Para Nabi dan Rasul itu ma’shum setelah menjadi Nabi dan Rasul. Sedangkan sebelum menjadi Nabi dan Rasul, mereka
tidak ma’shum.”
Imam Muhammad ad-Dasuqi (Ulama Sunni), dalam kitabnya, Hasyiyah
‘ala Ummi al-Barahin, halaman 163, mengatakan, “Para Nabi itu terjaga
dari dosa besar dan kecil, sengaja maupun tidak sengaja, sebelum dan sesudah
menjadi Nabi.”
Bantahan:
1-
Imam al-Amidi (Ulama Sunni),
menurut Qadhi Abu Bakar bin al-‘Arabi (Ulama Sunni) dan jumhur ulama madzhab
kami (Ahlussunnah), serta banyak dari kalangan Mu’tazilah, bahwa para Nabi bisa
saja melakukan maksiat sebelum menjadi Nabi, baik dosa besar maupun kecil.Bahkan
bisa saja, orang yang sebelumnya Kafir menjadi Rasul. Lihat, al-Ihkam fi
Ushuli al-Ahkam, Juz I/227.
2-
Sedangkan ar-Razi, dalam
kitabnya, Tafsir ar-Razi (Juz XVII/424), menyatakan:
إلاأنالمعتبرعندناعصمةالأنبياءعليهمالسلامفيوقتحصولالنبوة. وأماقبلهافذلكغيرواجبواللهأعلم.
“Hanya saja pendapat yang diakui menurut
kami, bahwa kemaksuman Nabi ‘alaihissalam terjadi pada waktu diperolehnya
nubuwwah. Adapun sebelumnya, tidak ada keharusan. Wallahu a’lam.”
Jadi, pendapat al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani ini
bukan hal baru, dan bukan pendapat beliau seorang. Karena banyak ulama’ lain
yang menyatakan pendapat seperti itu.
13-
Tuduhan 13:Hizbut Tahrir
beranggapan bahwa ijtihad itu mudah dan masih membolehkan ijtihad, padahal para
ulama sepakat pintu ijtihad sudah ditutup.
Syaikh Taqiyyuddin an-Nabhani, dalam kitabnya,at-Tafkir, halaman 149,
menyatakan, bahwa “Siapa saja mampu berijtihad.”Sementara, kakeknya sendiri, Syaikh
Yusuf bin Ismail an-Nabhani,
ulama’ Sunni, dalam kitabnya,Hujjatu-Llah ‘ala al-’Alamin, halaman 773, bahwa “Ijtihad telah terputus
sejak ratusan tahun yang lalu.”
Bantahan:
1-
Imam az-Zarkasyi (ulama
Sunni),“Nukilan, bahwa ada kesepakatan atas
sudah tertutupnya pintu ijtihad adalah hal aneh, karena perkara ini
termasuk masalah khilafiyyah. Ulama Hanbali berpendapat, tidak boleh ada suatu
masa yang kosong dari keberadaan seorang mujtahid. Pendapat ini ditegaskan oleh
Abu Ishaq dan az-Zubairi. Ibn Daqiq, menyatakan,“Ini pendapat pilihan kami!”Lihat,
Irsyad al-Fuhul, halaman 1037.
2-
Yang menyatakan, bahwa
ijtihad lebih mudah dilakukan di masa sekarang bukan hanya Syaikh Taqyuddin an-Nabhani.
As-Syaukani berkata, ijtihad bagi kalangan Mutaakhkhirin(ulama’
belakangan) lebih gampang dan mudah daripada ijtihad bagi kalangan Mutaqaddimin(ulama’
dahulu). Lihat, Irsyad al-Fuhul,halaman 1039.
14- Tuduhan 14:Hizbut Tahrir membolehkan berjabattangan dengan wanita ajnabiyyah.
Idrus Romli menyatakan, Syaikh
Taqiyyuddin an-Nabhani, berkata dalam kitabnya, an-Nizham al-Ijtima’i fi al-Islam, halaman 57, bahwa “Laki-laki boleh menyalami perempuan dan sebaliknya tanpa
tabir antara keduanya.”
Bantahan:
1-
Membolehkan bersalaman
dengan wanita ajnabiyyah selama tidak khawatir menimbulkan fitnah
bukanlah pendapat asing, bahkan inimerupakan pendapat mayoritas ulama di luar mazhab
Syafi’i. Lihat,Wahbah Az-Zuhailiy,al-Fiqh al-Islaami wa Adillatuhu, Juz
III/567.
2-
Hal yang sama juga
dinyatakan oleh Syaikh Yusuf al-Qaradhawi.
3-
Tuduhan 15: Hizbut Tahrir
membolehkan berciuman dengan wanita.
Idrus Romli menyatakan, bahwa naskah
asli fatwa Hizbut Tahrir halaman 226, menyatakankebolehan laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, dan
bukan suami-istri, asal tidak bermaksud berzina.
Bantahan:
1-
Hizbut Tahrir mengeluarkan
fatwa membolehkan nonton film porno adalah tuduhan keji. Menurut Syaikh Taqiyuddin
an-Nabhaniy gambar porno (baik yang bergerak maupun tidak) adalah gambar
terlarang, karena bertentangan dengan peradaban Islam.Lihat,Nidzam al-Islam,
hlm 68.
2-
Amir Hizbut Tahrir sekarang
(Syaikh ‘Atha’ Abu Rusythah) saat ditanya tentang hukum melihat film porno,
beliau menegaskan bahwa melihat film porno hukumnya haram, karena bisa menjadi
wasilah kepada keharaman. Lihat,Ajwibah As’ilah:http://www.hizb-ut-tahrir.info/arabic/index.php
/HTAmeer/QAsingle/1543/ (16/02/12)
4-
Tuduhan 16: Hizbut Tahrir membolehkan bekerja menjadi agen negara kafir
Idrus Romli juga menyatakan, naskah
asli fatwa Hizbut Tahrir halaman 78, membolehkan bekerja menjadi agen negara Kafir.
Bantahan:
1-
Menjadi agen
(kaki-tangan/mata-mata) negara Kafir menurut Hizbut Tahrir adalah haram, dari
sisi memberi jalan kepada kaum Kafir untuk menang, dan keharaman aktivitas
memata-matai kaum Muslim. [www.al-khilafah.org]Download versi Microsoft Word Disini
Tidak ada komentar