Header Ads

Bobroknya Legislasi dalam Sistem Demokrasi, Khilafah Solusinya

Dihadiri para ulama’, masyayikh dan asatidz se Jabodetabek, Dirasah Syar’iyyah Ammah edisi 23 dihelat oleh Lajnah Tsaqafiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Sabtu 27/4/2013 di Kantor  DPP HTI, Crown Palace, Jakarta. Ruangan lantai 2 Kantor DPP HTI itu pun penuh. Mereka antusias mengikuti paparan dan diskusi yang luar biasa.


Prof. Dr. Fahmi Amhar, pakar Geospasial, yang bersama rekan-rekannya di Bakorsutanal, pernah menjadi penyusun naskah akademik RUU di bidangnya,

menuturkan pengalamannya dalam menyusun UU. “Mulai dari proses awal hingga akhir, semuanya amburadul. Dalam pansus itu, yang peduli hanya sedikit. Sedangkan yang kompeten di bidang tersebut hanya satu orang, karena dialah satu-satunya alumni geologi. Bahkan, ada juga yang komentarnya ngaco.” katanya.
Dalam pembahasan UU di DPR kadang dilakukan secara terbuka, dan diliput wartawan. Biasanya, pembahasannya sangat alot, bahkan dalam sehari hanya satu pasal yang selesai. Tetapi, karena waktu tidak cukup, rapat pun berpindah ke hotel. “Nah, kalau sudah di hotel, rapat yang alot ketika di DPR itu akan berlangsung kilat. Karena, nggak ada wartawan.” pungkasnya.

Audien pun mendapat pembuktian dari rumor bobroknya proses legislasi dari orang yang memang pernah terlibat di dalamnya. “Ini membuktikan, bahwa sistem demokrasi, yang diklaim lebih baik daripada sistem Khilafah itu jelas bobrok.” demikian penegasan KH Hafidz Abdurrahman, pada sessi kedua. “Ini jelas jauh berbeda dengan legislasi di Negara Khilafah.” sambungnya.

Dalam sistem Khilafah, kewenangan legislasi hukum tidak diserahkan kepada Majelis Umat, tetapi diserahkan kepada Khalifah. Karena, Ijmak Sahabat menyatakan demikian. Khalifah pun, dalam penyusunan UU, harus berdasarkan sumber wahyu, jika terkait dengan UU Syariah. Yaitu, al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qiyas.

Selain itu, lanjutnya, “Baik hukum, pandangan dan pemikiran yang dijadikan UU harus dibangun berdasarkan akidah Islam atau terpancar dari akidah Islam. Juga tidak boleh bertentangan dengan Islam.” jelas Ketua Lajnah Tqaqofiyah DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini. Dalam prosesnya, Khalifah pun tidak mengadopsi hukum karena faktor mazhab, tetapi karena dalil yang paling kuat. Sedangkan dalam perkara yang terkait dengan pandangan, strategi dan sejenisnya diambil yang paling kuat berdasarkan aspek khibrah (keahlian). Dalam perkara operasional, dilaksanakan atau tidak, bisa diambil berdasarkan suara mayoritas.

Acara semakin hangat, setelah dibuka sessi tanya jawab. Berbagai pertanyaan tentang, “Tidakkah dengan begitu, Khilafah ini sama dengan Monarchi Absolut?” tanya salah seorang peserta. “Lalu, siapa yang akan meluruskan, jika Khilafah melenceng, menjadi negara mazhab?” dan masih banyak sejumlah pertanyaan, yang semuanya bisa dijelaskan, dan dikonfirmasi dengan jelas, lugas dan memuaskan. [][htipress/www.al-khilafah.org
 

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.