Header Ads

Masih Perlukah Pemilu 2014?


@roziArkom, Peneliti Politik di Arkom Research Center
***

Maraknya kasus dugaan suap dan korupsi yang melibatkan hampir semua parpol di negeri ini tidak hanya mengecewakan kita, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar di benak kita, masih adakah parpol yang bersih? lantas, masih perlukah Pemilu 2014 digelar? Pertanyaan ekstrem di atas wajar saja muncul jika dua parpol yang  selama ini terdepan 'menepuk dada' sebagai partai bersih, Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera,  ternyata dirundung dugaan skandal suap dan korupsi. 


Belum reda keterkejutan kita atas nasib sejumlah pimpinan teras Demokrat yang ditetapkan sebagai tersangka  kasus Hambalang oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, tiba-tiba publik dikagetkan oleh penangkapan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq. Seperti ramai diwartakan, Luthfi dijadikan tersangka oleh KPK dalam kasus dugaan suap impor daging sapi yang otoritasnya berada di tangan Menteri Pertanian Suswono, kader PKS lainnya.

Skandal suap dan korupsi impor daging sapi semakin ramai bukan hanya lantaran tersangka Ahmad Fathanah, sahabat sekaligus “broker” Luthfi dengan otoritas Kementerian Pertanian, diduga mengalirkan rezeki haram ke sejumlah perempuan sosialita, tetapi juga turut menyeret PKS. Sebagai parpol yang mengusung semboyan “bersih dan  peduli”, skandal suap daging sapi yang menyeret Luthfi jelas mencoreng citra bersih PKS. 

Terlepas dari soal bahwa skandal ini hanya melibatkan Luthfi secara personal, namun jelas mustahil bagi Luthfi mempunyai akses untuk memperoleh kuota impor daging sapi dari Menteri Pertanian jika dia bukan dalam posisi sebagai pemimpin tertinggi PKS. Dengan kata lain, citra buruk partai adalah risiko yang harus diterima setiap parpol jika petinggi parpol yang bersangkutan tersangkut kasus hukum. 

Nila Setitik Kasus Demokrat dan PKS semakin membuka mata kita betapa sulitnya menemukan parpol yang benar-benar bersih dari skandal korupsi di negeri ini. Ironisnya, kasus suap dan korupsi bukan hanya dilakukan  politisi parpol berlatar belakang sekuler-nasionalis, melainkan juga partai-partai "agama" dan berbasis agama. 
Dari segi posisi terhadap kekuasaan, politisi korup bukan hanya berasal dari parpol koalisi, melainkan juga dari  oposisi. Sementara dari segi klaim subjektif, hampir tidak ada perbedaan antara parpol yang mengusung haluan sebagai parpol bersih, dan parpol yang sejak awal memang tidak berani gegabah menepuk dada seperti itu. 

Oleh karena itu, tidak mengherankan jika tingkat kepercayaan publik terhadap parpol-parpol parlemen cenderung terus merosot dari waktu ke waktu. Angka golput di beberapa pilkada yang menyentuh angka 43% mengidikasikan anjloknya kepervayaan masyarakat terhadap parpol. Di luar musim pemilu (dan juga pemilihan  kepala daerah), publik hanya disuguhi perilaku korup politisi parpol yang ironisnya tidak kunjung berkurang kendati intensitas pemberantasan korupsi oleh KPK, kepolisian, dan kejaksaan juga cukup meningkat. Sudah tentu tidak semua politisi berperilaku demikian, namun ibarat kata pepatah, “(karena) nila setitik maka rusaklah susu sebelanga”. 

Barangkali inilah  problem besar negeri ini saat ini, destruksi politik yang kian parah. Hal ini ditandai dengan regresi demokrasi dan perilaku desruktif parpol dan politisi status quo. Jika perilaku oportunistis dan koruptif  parpol dan politisi  tidak berkurang -dan mirisnya, sebagian besar politisi busuk tadi diajukan kembali sebagai calon anggota legislatif dalam pemilu  mendatang- lantas siapa lagi  yang harus dipilih?

Masalah Sistemik
Berbagai kasus suap dan korupsi  yang melibatkan hampir semua parpol membuktikan ada yang salah dengan sistem kapitalis-demokrasi yang diberlaku di negeri ini. Secara Faktual tidak ada perbedaan  mendasar antara parpol  nasionalis-sekuler dan partai  agama (Islam) dalam soal korupsi. Ini mengindikasikan bahwa sistem demokrasi menyeret orang dan partai yang awalnya idealis serta memiliki standar moralitas tinggi terjerembab dalam kubangan korupsi dan penyalahgunaan jabatan.

Besarnya Biaya operasional demokratisasi yang harus dikeluarkan oleh para politisi dan parpol peserta pemilu ditengarai sebagai motif utama marakya korupsi untuk modal kontestasi dalam pesta demokrasi. Yang lucu adalah begitu skandal  korupsi terungkap, para petinggi  parpol secara berapi-api  membela parpol mereka, seolah-olah partai secara institusi  tidak terkait, seakan-akan korupsi  bisa berlangsung tanpa fasilitas,  dukungan, infrastruktur, dan kedudukan strategis sebagai pengurus parpol. Juga seakan-akan parpol bisa membiayai diri tanpa dana-dana haram yang dicuri dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan anggaran daerah  (APBD). 

Itulah sekilas potret buruk parpol dan politisi kita menjelang Pemilu 2014, yakni parpol-parpol dan para politisi yang hanya  siap berkuasa namun tidak siap bertanggung jawab, apalagi berkorban bagi rakyat dan negaranya.  Mereka menebar pesona dan menabur janji-janji 'surga' demi dukungan dan mandat politik melalui pemilu, namun kemudian mencampakkan nasib rakyat hanya sebagai alas kaki syahwat kekuasaan. Barangkali di sinilah urgensi revolusi (bukan sekedar reformasi) sistem politik. sistem pemilu dan skema keterwakilan rakyat harus disederhanakan dan ditata ulang supaya outputnya bisa bekerja efektif dan akuntable. allahu a'lam [fr]

*Dikutip dari catatan Prof. Syamsudin Haris

[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.