Header Ads

Statement Demokrasi Islam dan Allah Maha Demokratis = Berdusta atas nama Allah

Banyak orang beranggapan bahwa demokrasi sama dengan islam, bahkan beranggapan bahwa Allah Maha Demokratis. Hal ini disandarkan pada surat Al Baqarah ayat 30. Sehingga kita selaku muslim harus turut memperjuangkan minimal tidak menolak ide demokrasi tersebut.

Untuk mengecek kebenaran dari pendapat itu, maka kita harus meninjau ulang baik dari sisi definisi maupun dari tafsir ayat 30 dalam surat Al-Baqarah tersebut.

Definisi

Istilah demokrasi diperkenalkan kali pertama oleh Aristoteles (5 SM) sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu suatu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan banyak orang (rakyat). Cita-cita “luhur” demokrasi adalah mendobrak kekuasaan absolut para raja. Bila sebelumnya para raja menjadi satu-satunya pemegang kedaulatan, maka demokrasi mengalihkannya ke tangan rakyat.

Jargon vox populi vox dei (suara rakyat adalah suara Tuhan) adalah harga mutlak menggantikan slogan l'etat c'est moi (saya adalah negara). Kekuasaan, dalam sistem demokrasi dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif dan yudikatif. Sebagai cara untuk menjamin tidak terulangnya praktek otoriter seperti pada masa raja-raja Eropa dahulu. Legislatif berkuasa untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif meliputi penyelenggaraan undang-undang, dan yudikatif berkuasa untuk mengadili pelanggaran atas undang-undang. Selain berkuasa membuat undang-undang, legislatif –yang diwujudkan dalam wadah parlemen– juga berfungsi untuk mengontrol jalannya pemerintahan (eksekutif). Fungsi kontrol itu meliputi hak bertanya, interpelasi, hak angket, dan sebagainya.

Maka keberadaan pemerintah adalah implementasi dari kedaulatan rakyat, sebagai institusi resmi yang akan melaksanakan volontè gènèrale, keinginan rakyat. Pemerintah diangkat dengan kontrak sosial oleh rakyat (parlemen), sehingga apabila eksekutif tidak disukai atau sudah 'diluar jalur', mereka berhak memberhentikan eksekutif kapan saja. Itu adalah pencerminan bahwa rakyat di atas segalanya, dan rakyat adalah pihak yang memiliki kedaulatan tertinggi.

Legislatif diisi oleh banyak orang yang merupakan perwakilan dari rakyat untuk membuat hukum atau undang-undang. Para anggota legislatif dalam membuat hukum mereka melakukan musyawarah untuk mufakat agar dapat diambil kesimpulan hukum yang akan dijalankan oleh pihak eksekutif.

Sementara, Islam memandang bahwa kedaulatan itu berada di Allah, hanya Allah lah yang berhak membuat hukum. Seperti dalam surat Yusuf ayat 40

إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلاَّ لِلَّهِ

Sesungguhnya hukum itu berasal dari Allah.
Dari makna asalnya antara demokrasi dan islam sangat bertolak belakang, bagaikan dua kutub yang bersebrangan.

Namun seiring berjalannya waktu, makna demokrasi terjadi pembelokan dari makna aslinya. Demokrasi lebih sering dimaknai dengan musyawarah untuk mufakat. Kegiatan rapat apapun dari tingkat bawah maupun atas untuk menghasilkan kesepekatan maka dilakukanlah musyawarah untuk mufakat. Hal ini mereka namai dengan rapat yang demokratis. Dari sinilah pembelokkan makna demokrasi ini kemudian dikaitkan dengan Islam. Demokrasi sama dengan Islam, karena demokrasi itu terdapat musyawarah, sementara Islam juga terdapat syura. Kemudian dicarilah dalil-dalil yang ”sesuai” dengan demokrasi untuk memperkuat argumentasi bahwa demokrasi sama dengan islam.

Bahkan mereka menganggap (lebih tepatnya memaksakan) bahwa Allah Maha Demokratis. Ini didasarkan ketika Allah ingin menciptakan manusia di muka bumi dengan sebelumnya bermusyawarah kepada para malaikat seperti yang tertera dalam surat Al-Baqarah ayat 30. Allah yang sejatinya Maha Segalanya itupun melakukan musyawarah, maka manusiapun harus bersikap demokratis seperti Allah.

Sesungguhnya disinilah awal dari kesalahan demokrasi islam. Dengan tidak mengembalikan demokrasi kepada makna aslinya. Karena untuk mengetahui suatu kata, haruslah kita mengembalikannya kepada si empunya kata. Sebagai contoh, kata nyeleneh itu tidak akan bisa semua orang di dunia ini mengetahui kecuali orang jawa. Karena kata nyeleneh ini berasal dari jawa, sehingga semua orang di dunia ini harus merujuk kepada kamus jawa untuk mengetahui makna nyeleneh tersebut.

Begitu pula dengan demokrasi. Demokrasi berasal dari bahasa Yunani, untuk itu dalam mencari makna kata tersebut, maka kita harus merujuk kepada asal katanya. Arti dari demokrasi tersebut adalah kedaulatan ada di tangan rakyat, sehingga rakyat berhak membuat hukum sendiri. Itulah makna sebenarnya. Adapun pembelokan makna dengan hanya melihat unsur di dalam demokrasi adalah tidak tepat.

Menyamakan makna demokrasi dengan Islam dengan hanya melihat satu komponen yang terkandung dalam demokrasi juga tidak tepat. Dengan mengatakan bahwa demokrasi terdapat musyawarah, sementara dalam Islam juga terdapat syura. Dalam hal ini manusia dan kera sangatlah berbeda. Kita tidak bisa mengatakan bahwa manusia dan kera adalah sama, dikarenakan manusia dan kera sama-sama memiliki kaki. Atau contoh lain antara mobil dan becak. Kita tidak bisa mengatakan bahwa mobil dan becak adalah sama karena sama-sama memiliki roda. Sehingga menyamakan demokrasi dengan islam tanpa melihat makna demokrasi yang sebenarnya adalah tidak tepat.

Belum lagi jika dilihat antara musyawarah dalam demokrasi dengan syura dalam Islam amat sangat berbeda. Musyawarah memiliki makna sebuah metode partisipasi masyarakat dalam mengambil suatu keputusan. Aktifitas musyawarah dalam demokrasi dilakukan dalam segala hal. Sementara syura dalam Islam adalah memusyawarahkan perkara-perkara yang memiliki status hukum mubah. Syura tidak membahas perkara-perkara yang hukumnya bersifat qath’i (pasti). Sebagai contoh, Rasulullah tidak memusyawarahkan kewajiban berjihad (perang), tapi Rasulullah hanya memusyawarahkan tentang strategi dalam jihad yang hukumnya mubah.

Pandangan Allah Maha Demokratis
Pendapat tentang Allah Maha Demokratis, hal ini didasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 30, bahwa Allah bermusyawarah kepada malaikat dalam menciptakan manusia di muka bumi. Agar lebih jelas, mari kita tinjau ayat tersebut.


وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي اْلأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لاَ تَعْلَمُونَ


Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kalian ketahui.” (QS al-Baqarah [2]: 30)

Tafsir Ayat
Allah Swt. berfirman: Wa idz qâla Rabbuka li al-malâikah (Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat). Huruf idz merupakan zharf az-zamân (kata keterangan) untuk menunjukkan waktu lampau. Dalam konteks kalimat ini, huruf tersebut menyimpan kata udzkur (ingatlah). Khithâb-nya ditujukan kepada Rasulullah saw. Ini terlihat pada dhamîr mukhâthab ka pada kata Rabbuka yang menunjuk kepada beliau. Karena itu, Ibnu Katsir, al-Wahidi dan beberapa mufassir lain memaknainya: Ingatlah, wahai Muhammad, ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat. Seruan kepada Rasulullah saw. berarti juga seruan kepada umatnya.

Perkara yang diperintahkan untuk diingat adalah kisah awal kejadian manusia. Sebelum menciptakan manusia, Allah Swt. terlebih dulu memberitakannya kepada para malaikat. Kata al-malâikah merupakan bentuk jamak dari kata al-malak.

Kepada para malaikat itu Allah Swt. berfirman: Innî jâ’il[un] fî al-ardhi khalîfah (Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi). Kata jâ’il[un] bermakna khâliq[un]. Adapun al-ardh adalah seluruh bumi yang kini ditempati manusia. Di situlah Allah Swt. akan menjadikan khalîfah (wakil).

Kata khalîfah berasal dari kata khalîf (wazan fa‘îl). Tambahan huruf al-hâ’ berfungsi li al-mubâlaghah (untuk melebihkan). Kata khalîfah berarti suatu pihak yang menggantikan lainnya, menempati kedudukannya, dan mewakili urusannya. Secara bahasa, seluruh mufassirin sepakat, yang dimaksud dengan khalîfah di sini adalah Adam as. Namun, di antara mereka terdapat beberapa pendapat: khalîfah bagi siapakah Adam itu?

Pertama: khalîfah bagi jin atau banû al-jân. Alasannya, sebelum manusia diciptakan, penghuni bumi adalah banû al-jân. Namun, karena mereka banyak berbuat kerusakan, Allah Swt. kemudian mengutus para malaikat untuk mengusir dan menyingkirkan mereka. Setelah mereka berhasil disingkirkan sampai di pesisir dan gunung, Adam as. diciptakan untuk menggantikan kedudukan dan posisi mereka.

Kedua: khalîfah bagi malaikat. Demikian pendapat asy-Syaukani, an-Nasafi, dan al-Wahidi. Sebab, setelah berhasil menyingkirkan banû al-jân, malaikatlah yang tinggal di bumi. Karena itu, yang digantikan Adam as adalah malaikat, bukan jin atau banû al-jân.

Ketiga: disebut khalîfah karena mereka menjadi kaum yang sebagiannya menggantikan sebagian lainnya. Di antara yang berpendapat demikian adalah Ibnu Katsir. Pendapat ini didasarkan pada QS al-An‘am: 165, an-Naml: 62, az-Zukhruf: 6, dan Maryam 59.[9]

Keempat: menjadi khalîfah bagi Allah di bumi untuk menegakkan hukum-hukum-Nya dan menerapkan ketetapan-ketetapan-Nya. Pendapat ini dipilih oleh al-Baghawi, al-Alusi, al-Qinuji, al-Ajili, Ibnu Juzyi, dan asy-Syanqithi. Status ini bukan hanya disandang Adam as., namun juga seluruh nabi. Mereka semua dijadikan sebagai pengganti dalam memakmurkan bumi, mengatur dan mengurus manusia, menyempurnakan jiwa mereka, dan menerapkan perintah-Nya kepada manusia. Menurut al-Qasimi, kesimpulan ini didasarkan pada QS Shad: 26.

Di antara keempat penafsiran itu, penafsiran keempat tampaknya lebih dapat diterima. Penafsiran ketiga, meskipun tak bertentangan dengan fakta kehidupan, respon malaikat menunjukkan, kedudukan khalifah tak sekadar itu. Menurut para malaikat, khalifah di muka bumi itu haruslah ahl al-thâ‘ah, bukan ahl al-ma‘shiyyah. Jika kedudukan sebagai khalifah hanya merupakan siklus kehidupan, generasi digantikan dengan generasi berikutnya, tentu tak mengharuskan khalifah dari kalangan ahl al-thâ‘ah.

Alasan yang sama juga dapat digunakan untuk menolak penafsiran pertama dan kedua jika peristiwa itu benar-benar terjadi. Sebagai catatan, penafsiran pertama dan kedua didasarkan pada hadis mawqûf yang tidak dapat menghasilkan keyakinan.

Kesimpulan
Pendapat sebagian kalangan mengenai demokrasi itu sama dengan Islam didasarkan pada pengambilan satu komponen saja, itu tidaklah tepat. Suatu kata atau istilah haruslah kita kembalikan kepada si empunya kata atau istilah tersebut. Setelah kita lihat definisi dari kata tersebut, maka kemudian barulah kita lihat bagaimana Islam memandang hal ini, apakah sesuai dengan Islam atau bertentangan.

Mengenai surat Al-Baqarah ayat 30, bahwasannya ayat tersebut adalah seruan Allah kepada Rasulullah untuk memperhatikan kejadian masa lalu bahwa Allah memberitahukan kepada para malaikat ketika ingin menciptakan manusia di muka bumi ini sebagai khalifah. Ayat ini bukanlah seruan kepada Rasul untuk memperhatikan, bukan seruan untuk menegakkan khilafah. Dan dalam ayat ini pula yang Allah lakukan adalah mengabarkan kepada malaikat, bukan bertanya untuk meminta pertimbangan kepada malaikat sebagaimana musyawarah pada umumnya.

Dari sini jelas, bahwa penyamaan demokrasi Islam adalah suatu kesalahan yang sangat fatal. Dan pendapat mengenai Allah Maha Demokratis berdasarkan pada surat Al-Baqarah ayat 30 adalah suatu aktifitas kedustaan atas nama Allah yang nanti akan dimintai pertanggungjawaban kelak di yaumil hisab. Na’udzubillah. Wallahu a’lam.

Raden Mas Bejo

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.