Header Ads

Benarkah Hizbut Tahrir Indonesia Mendukung Partai Politik Tertentu di tahun 2014 nanti ?

Oleh : Abu Rumaisha (Salah satu aktivis partai politik Islam Trans-Nasional )
 
Tahun 2013dikenal oleh sebagian pengamat politik sebagai sebuah tahun politik. Dimana diperkirakan semua partai politik yang terdaftar untuk pemilu 2014 nanti akan melakukan konsolidasi internal untuk menghadapi Pemilu 2014 tersebut. Politisi di berbagai tingkatan, akan melancarkan manuver untuk menghadapi konsolidasi ini.


Berkenaan dengan hal tersebut, beberapa media cetak maupun elektronik juga menyebutkan bahwa Hizbut Tahrir Indonesia juga akan menyalurkan suaranya di pemilu 2014 nanti. Benarkah demikian?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tentu harus ada yang dibahas terlebih dahulu, yakni pertama tentang Hizbut Tahrir itu sendiri, kedua pandangan Hizbut Tahrir tentang Pemilu & Demokrasi.

Apa itu Hizbut Tahrir?

Hizbut Tahrir adalah partai politik Islam ideologis. politik adalah aktivitasnya, dan Islam sebagai ideologinya. Didirikan oleh al-Imam al-’Allamah as-Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani pada 14 Maret 1953 M.[1] Kenapa harus berupa partai? Dan kenapa aktivitasnya harus politik?

Terlebih dahulu, penting untuk didudukkan apa hakikat partai politik (hizbun siyasiy) dalam sudut pandang Islam. Secara bahasa, kata hizb dipakai dalam beberapa ayat al-Quran. Di antaranya, Imam Jalalain dalam memaknai kata ’hizb (hizbullah)’ dalam surat al-Maidah ayat 56 dan Mujadilah ayat 22 sebagai atba’uhu (pengikutnya) serta orang-orang yang mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Imam al-Qurthubiy dalam tafsirnya memaknai kata hizb dalam surat al-Maidah ayat 56, Al-Mukminun ayat, 53 dan Mujadilah ayat 19 sebagai penolong, sahabat, kelompok (fariq), millah, kumpulan orang (rohth). Sementara itu, dalam kamus Al-Muhit, disebutkan: “Sesungguhnya partai adalah sekelompok orang. Partai adalah seorang dengan pengikut dan pendukungnya yang punya satu pandangan dan satu nilai’’. Imam Ar-Razi dalam tafsirnya Mafatih Al-Ghaib berkata, “Partai adalah kumpulan orang yang satu tujuan, mereka bersama-sama bersatu dalam kewajiban partai untuk mewujudkan tujuannya”.

Adapun terkait makna politik (siyasah) disebutkan dalam kamus Al-Muhit bahwa As-Siyasah (politik) berasal dari kata: Sasa –Yasusu – Siyasatan bi ma’na ra’iyatan (pengurusan). Al-Jauhari berkata: sustu ar-raiyata siyasatan artinya aku memerintah dan melarang kepadanya atas sesuatu dengan sejumlah perintah dan larangan). Wa as-siyasah maksudnya: al-qiyamu ‘ala syaiin bima yashluhuhu (siyasah/politik adalah melakukan sesuatu yang memberi mashlahat padanya) (Lisanul Arab, Ibn Mandzur). Dengan demikian, politik/siyasah bermakna mengurusi urusan berdasarkan suatu aturan tertentu yang tentu berupa perintah dan larangan.

Rasulullah SAW menggunakan kata siyasah (politik) dalam sabdanya:

“Adalah Bani Israil, urusan mereka diatur (tasusuhum) oleh para Nabi. Setiap seorang Nabi wafat, digantikan oleh Nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada Nabi sesudahku, dan akan ada para khalifah yang banyak “(HR. Bukhari).

Di dalam kitab Fath al-Bariy, pada syarah hadits ini , dijelaskan makna siyasah (politik):

“(Mereka diurus oleh para Nabi), maksudnya, tatkala tampak kerusakan di tengah-tengah mereka, Allah pasti mengutus kepada mereka seorang Nabi yang menegakkan urusan mereka dan menghilangkan hukum-hukum Taurat yang mereka rubah. Di dalamnya juga terdapat isyarat, bahwa harus ada orang yang menjalankan urusan di tengah-tengah rakyat yang membawa rakyat melewati jalan kebaikan, dan membebaskan orang yang terzalimi dari pihak yang zhalim”

Berdasarkan makna hizbun (partai) dan siyasah (politik) tadi, maka dapat disebutkan bahwa partai politik (hizbun siyasiy) merupakan suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai, cita-cita dan tujuan yang sama dalam rangka mengurusi urusan rakyat. Dengan kata lain, partai politik adalah kelompok yang berdiri di atas sebuah landasan ideologi yang diyakini oleh anggota-anggotanya, yang ingin mewujudkannya di tengah masyarakat. [2]

Kenapa dinamakan sebagai Hizbut Tahrir (Partai pembebas)? 

Sebagaimana yang kita fahami bersama, pasca runtuhnya Khilafah di turki pada 03 Maret 1924, umat Islam mengalami berbagai macam keterpurukan di segala bidang. Sistem yang digunakan pun tidak lagi sistem Islam yakni sistem Khilafah, melainkan sistem yang berasal dari akal manusia yakni demokrasi yang merupakan buah dari idelogi kapitalisme-sekulueris.

Sejak saat itu umat Islam menjadikan sistem dan perudangan-undangan kufur sebagai aturan yang mengatur hidup mereka. Padahal Islam melarang akal manusia dijadikan sebagai sumber hukum.

Oleh karena itu kemudian Hizbut Tahrir bermaksud membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan yang amat parah, membebaskan umat dari ide-ide, sistem perundang-undangan, dan hukum-hukum kufur, serta membebaskan mereka dari cengkeraman dominasi dan pengaruh negara-negara kafir. Hizbut Tahrir bermaksud juga membangun kembali Daulah Khilafah Islamiyah di muka bumi, sehingga hukum yang diturunkan Allah Swt dapat diberlakukan kembali.

Pandangan Hizbut Tahrir tentang Pemilu & Demokrasi.

Tidak ada demokrasi tanpa pemilu. Karena pemilu merupakan stempel demokrasi.

Sementara itu, sikap ideologis terhadap pemilu mengharuskan kita, pertama-tama harus memahami fakta pemilu itu sendiri, agar kita tahu hukum syara’ yang terkait dengan pemilu ini.

Sistem demokrasi berdiri di atas dua pilar, yaitu: kedaulatan di tangan rakyat dan rakyat sebagai sumber kekuasaan. Pilar pertama, dan ini yang terpenting, bahwa yang berhak dalam membuat hukum dan perundang-undangan yang digunakan negara mengurus urusan rakyat adalah rakyat itu sendiri. Pilar kedua, rakyat juga dijadikan sebagai pemilik hak dalam memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya bahkan mencopotnya dalam sebagian sistemasi.

Karena rakyat tidak mungkin melakukan peran ini secara langsung, kecuali pemilu kepala negara dalam banyak sistem, maka sistem ini menetapkan, bahwa rakyat mewakilkan kepada wakil-wakil yang mereka pilih untuk melaksanakan wewenang tersebut. Jadilah, parlemen sebagai wakil rakyat dalam hal legislasi dan penetapan perundang-undangan yang disebut sebagai kekuasaan legislatif. Demikian pula parlemen mewakili rakyat dalam memonitor dan mengoreksi kekuasaan eksekutif. Dalam sebagian sistem, parlemen mewakili rakyat dalam memilih kepala negara.

Inilah sistem yang oleh sebagian pihak dinilai sebagai sistem modern yang dijalankan oleh banyak bangsa dan umat sebagai metode termodern yang berhasil dicapai umat manusia untuk melangsungan kehidupan politik, yaitu kehidupan masyarakat, negara dan pembuatan hukum. Berkembang dan diterapkannya sistem ini di seluruh negara di dunia, baik secara formalis maupun riil, tidak lebih karena dominasi peradaban Barat yang telah menyerang umat Islam sejak dua abad lalu. Mereka yang diserang peradaban tersebut dengan berbagai pemikiran dan sistemnya adalah dunia Islam, termasuk negeri Indonesia.

Islam dan Pemilu

Adapun sistem yang dijadikan pedoman umat Islam karena telah diwajibkan kepada mereka oleh keimanan mereka kepada akidah Islam, sesungguhnya sistem tersebut berbeda dengan sistem demokrasi di atas, baik dari aspek akidah Islam, maupun pilar yang menjadi pondasi tegaknya sistem dan rinciannya.

Pilar terpenting yang menjadi pondasi sistem pemerintahan Islam adalah kedaulatan di tangan syara’. Pilar ini dinyatakan oleh ayat-ayat al-Qur’an yang bersifat qath’i ad-dalâlah. Sebagaimana firman Allah:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

“Keputusan (hukum) itu hanyalah kepunyaan Allah.” (Q.s. Yûsuf [12]: 40)

Keputusan di sini maknanya adalah tasyrî’ (legislasi), yaitu perintah, larangan dan kemubahan. Bukan dalam konteks kekuasaan dan pelaksanaan politik. Allah juga berfirman:

وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُوْلَئِكَ هُمْ الْكَافِرُوْنَ

“Siapa saja yang tidak menghukumi dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah maka ia termasuk orang-orang yang kafir.” (Q.s. al-Mâidah [5]: 44)

وَلا تَقُولُوا لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَذَا حَلالٌ وَهَذَا حَرَامٌ لِتَفْتَرُوا عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللَّهِ الْكَذِبَ لا يُفْلِحُونَ

“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (Q.s. an-Nahl [16]: 116)

Masih banyak ayat yang lain. Semuanya menunjukkan makna yang sama. Dengan begitu di dalam sistem Islam tidak ada yang namanya kekuasaan legislatif, sebagaimana dalam sistem demokrasi yang sedang diterapkan (secara formal) di sebagian besar dunia Islam. Tetapi sumber legislasi dalam sistem Islam adalah nash-nash al-Quran dan as-Sunnah, dan penggalian (istinbath)-nya yang dilakukan oleh para mujtahid.

Hak mengadopsi hukum yang bersifat ijtihadi yang di dalamnya para mujtahid berbeda pendapat adalak wewenang kepala negara yang dipilih oleh umat sebagai wakil mereka dalam menerapkan sistem Islam dan mengurusi urusan mereka. Kepala negara berpijak kepada ijtihad yang dipandang paling kuat dalilnya, yang dituntut oleh kewajiban mengurus urusan umat. Ini berdasarkan firman Allah:

أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الأَمْرِ مِنْكُمْ

“Taatilah Allah dan taatilah Rasul, dan ulil amri dari kalian.” (Q.s. an-Nisâ [4]: 59)

Berdasarkan hal itu, dalam sistem Islam, majelis umat yang mewakili rakyat, tidak memiliki apa yang disebut kekuasaan legislatif. Karena kedaulatan dalam Negara Khilafah ada di tangan syara’. Kepala negara, Khalifah, adalah pihak yang diberi wewenang untuk mengadopsi hukum syara’ dan undang-undang yang bersifat administratif yang menjadi tuntutan dalam mengurus urusan rakyat.

Hanya saja tidak berarti, bahwa dalam sistem Islam tidak ada pemilu. Pilar kedua yang menjadi pondasi tegaknya sistem pemerintahan Islam adalah kekuasaan milik umat. Pilar ini menegaskan, bahwa umat merupakan pemilik hak dalam memilih kepala negara yang akan mengurusi urusan mereka. Tidak boleh seorang pun menjadi kepala negara, kecuali dengan mendapatkan mandat dari umat melalui baiat yang sah secara syar’i.

Meski begitu, umat tetap bertanggung jawab menjalankan haknya dengan monitor, menasehati dan mengoreksi penguasa, setelah dia dibai’at, jika lalai atau bertindak buruk atau zalim. Wewenang yang dimiliki umat ini membutuhkan sarana, agar bisa diaktualisasikan. Ini tidak bisa diwujudkan, terlebih ketika umat sudah sedemikian tersebar luas dan jumlahnya terus bertambah, kecuali dengan pemilu.

Karena itu, pemilu ini sesungguhnya merupakan sarana praktis untuk memilih seseorang yang layak mendapatkan bai’at dari umat. Begitu pula pemilu ini merupakan sarana praktis untuk memilih para wakil umat yang mewakili mereka dalam mengoreksi penguasa, memonitor negara dan mengungkapkan tuntutan dan pengaduan umat. Para wakil umat itu adalah anggota Majelis Ummat (ahlul halli wal ‘aqdi). Mereka juga mungkin diberi wewenang untuk membatasi calon kepala negara, atau bahkan memilih kepala negara sendiri itu.

Atas dasar itu, maka perbedaan mendasar pemilu dalam sistem demokrasi dan pemilu dalam sistem Islam adalah, bahwa pemilu dalam sistem demokrasi bertujuan untuk melaksanakan legislasi dan itu merupakan perkara yang diharamkan oleh Allah SWT terhadap manusia. Sedangkan pemilu dalam sistem Islam adalah sebagai representasi, dimana umat memberikan kekuasaan (kepala negara) kepada orang yang mereka pilih untuk mengurusi urusan mereka, atau dengan pemilu itu umat mewakilkan kepada orang yang akan mewakilinya dalam mengoreksi dan menyampaikan pendapat.

Sedangkan pemilu legislatif di Indonesia, jauh dari keberadaannya sebagai pemilu legislatif sebagaimana dalam sistem demokrasi, meski secara teoritis sekalipun. Pemilu di Indonesia juga berjalan sesuai dengan konvensi dan perundang-undangan yang keberadaannya sangat jauh dari melaksanakan politik dalam pengertian yang sesungguhnya. Tidak ada program politik riil pada diri orang-orang yang bersaing untuk menduduki kursi parlemen. Setiap program politik yang ditawarkan oleh mereka yang saling bersaing hanyalah sketsa di atas kertas.

Watak mendasar di dalam pemilu Indonesia ini adalah persaingan antara berbagai kelompok yang membagi negeri di antara mereka dalam konteks pertarungan lokal, yang terkait dengan perannya dalam konstalasi politik global. Jika satu kelompok memperoleh mayoritas kursi, maka kutub lokal yang ada di belakangnya juga menjadi pemenang. Sebaliknya jika kelompok lain yang menang, maka yang menang secara lokal adalah kutub-kutub yang ada di belakang kelompok lain itu. Pada dua kondisi tersebut, keputusan politik di Indonesia tetap tergadaikan pada kepentingan global tertentu.

Tidak ada kebijakan politik riil di dalam negeri Indonesia. Keputusan-keputusan politik yang ada sesungguhnya datang dari kekuatan transnasional. Dengan demikian pemilih yang pergi ke tempat pemungutan suara perannya tidak lebih hanya mengokohkan penguasaan salah satu keputusan politik yang datang dari luar tapal batas negerinya. Masing-masing dari dua kepentingan politik yang datang dari asing itu tidak peduli kepada pemilih, kemaslahatan, masalah utamanya atau masalah skundernya. [3]

Tahun 2014, apakah Hizbut Tahrir akan menyalurkan suaranya kepada partai Islam?


Pasca acara Muktamar Khilafah yang diselenggarakan sukses oleh Hizbut Tahrir Indonesia, dimana peserta yang hadir lebih dari 100 ribu massa, yang dihadiri tidak hanya dari Indonesia melainkan ada utusan dari 14 negara dimana hizbut tahrir aktif di dalamnya (Hizbut Tahrir sendiri aktif mendakwahkan ide Syariah dan Khilafah di lebih dari 40 negara), beberapa media cetak dan elektronik menyebutkan bahwa tahun 2014 nanti Hizbut Tahrir akan menyalurkan aspirasi politiknya kepada partai Islam.

Perlu difahami bahwa, kalau kita mengikuti setiap bayanat yang dikeluarkan Ustadz Ismail Yusanto selaku Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, tidak pernah ada seruan kepada kader atau masyarakat untuk memilih partai politik tertentu, ataupun sebaliknya, tidak pernah ada seruan kepada kader hizbut tahrir di seluruh Indonesia untuk golput atau tidak memilih partai politik tertentu.

Kita tentu masih ingat, dulu Hizbut Tahrir pernah diisukan akan merapat ke salah satu partai Islam. Beberapa waktu yang lalu muncul pemberitaan di sejumlah media yang menyebutkan bahwa HTI akan mendukung Partai Persatuan Pembangunan di pemilu 2009. Sontak saja berita itu mengejutkan banyak pihak termasuk anggota dan simpatisan HTI di sejumlah daerah. Timbul pertanyaan dari mereka tentang kebenaran isu tersebut. Dan kemudian hal tersebut diklarifkasi oleh Ismail Yusanto selaku juru bicara resmi HTI.

Beliau sampaikan bahwa apa yang ditulis oleh media itu tidak benar. Yang benar adalah bahwa Hizbut Tahrir tidak berada pada posisi mendukung satu kekuatan politik tertentu. Hizbut Tahrir sendiri itu adalah partai politik, meski sampai sekarang tidak atau belum menjadi peserta pemilu. Tapi tidak berarti juga Hizbut Tahrir menganjurkan golput (golongan putih). Tidak pernah dalam pernyataan resmi yang dikeluarkan Hizbut Tahrir, ada seruan kepada masyarakat untuk golput.

Beliau juga menambahkan bahwa yang benar adalah Hizbut Tahrir sebagaimana menjelang Pemilu 2009 akan mengeluarkan bayan atau penjelasan kepada masyarakat tentang pemilu ini. Intinya memilih itu adalah hak. Bukan kewajiban. Sebagai sebuah hak, maka penggunaan hak itu baik digunakan untuk memilih maupun tidak memilih, itu akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Swt. kelak di akhirat. Karena itu Hizbut Tahrir menyerukan kepada masyarakat untuk memanfaatkan hak itu sebaik-baiknya, yaitu dengan cara memilih partai politik yang baik.

Lalu berkenaan pertemuan dengan Partai Persatuan Pembangunan ini dalam rangka apa?

Beberapa waktu lalu DPP Hizbut Tahrir Indonesia memang menerima surat undangan dari PPP untuk silaturahim. Sebagai sesama muslim, undangan itu tentu kita sambut dengan senang hati. Maka kita datang pada hari itu ke PPP. Tujuan dari silaturahim tiada lain adalah untuk meningkatkan komunikasi dan informasi sesama komponen umat. Dalam pertemuan itu tidak ada pembicaraan khusus mengenai masalah dukung mendukung. Tidak ada. Kita dalam pertemuan itu, mengingatkan kepada pimpinan Partai Persatuan Pembangunan untuk konsisten, jelas dan tegas serta berpegang pada prinsip-prinsip Islam. Kita mengatakan pada saat itu, hanya dengan bertindak konsisten, tegas dan jelas itu saja maka umat akan terus mendukung PPP. Sebaliknya kalau sudah tidak konsisten, tidak jelas dan tidak tegas maka percayalah umat akan meninggalkannya. Itulah yang disampaikan kami pada waktu itu.

Usai acara kemudian datang para wartawan. Mereka bertanya, di antaranya tentang bayan itu. Ada yang menanyakan apakah itu bisa dikatakan sebagai dukungan terhadap PPP. Saya bilang, jelas tidak spesifik seperti itu. Apakah partai politik Islam yang dimaksud itu seperti PPP, ya itu masyarakat bisa saja mengartikan seperti itu. Tapi bisa juga masyarakat mengartikan partai politik Islam yang lain. Atau bisa juga masyarakat mengatakan tidak ada partai politik yang memenuhi kriteria semacam itu. Nah kemudian mereka tulis seolah-olah Hizbut Tahrir memberi dukungan kepada PPP. [4]

Nah, saya melihat, ini pula yang terjadi pasca muktamar Khilafah, dimana media mengutip apa yang beliau sampaikan secara tidak utuh atau menyimpulkan secara sepihak bahwa tahun 2014 nanti Hizbut Tahrir akan menyalurkan suaranya di tahun 2014 tersebut kepada partai politik Islam, sebagaimana judul yang tertera di okezone http://news.okezone.com/read/2013/06/02/339/816336/hti-salurkan-suaranya-ke-partai-islam-di-pemilu-2014.

Jadi kesimpulan yang benar bagaimana? Yang benar adalah pertama, Ismail Yusanto menegaskan bahwa HTI sendiri tidak pernah sekalipun menyerukan kepada anggotanya untuk tidak memilih alias golput. Karena memilih itu sendiri adalah hak, bukan kewajiban. Kedua, HTI tidak pernah menginstruksikan kepada kader atau masyarakat luas agar tahun 2014 nanti untuk memilih partai politik Islam tertentu, semisal apakah PBB, PPP, mungkin ini PAN, PKS,atau lainnya., yang ada adalah Hizbut Tahrir meminta kepada kader dan masyarakatnya untuk menggunakan hak pilik itu dengan sebaik-baiknya, tentu dengan memilih pilihan yang baik pula. Pilihan yang baik itu bagaimana?

Satu, yang berasas Islam. Kedua, bertujuan bagi tegaknya syariah dan khilafah. Ketiga, tercermin dari konsepsi atau fikiran-fikirannya. Empat, tampak pada peran atau perilaku anggota-aggotanya, juga tampak dalam kinerjanya di parlemen kalau dia sudah masuk parlemen dan seterusnya. pertanyaannya kemudian, apakah syarat-syarat yang dikeluarkan oleh Hizbut Tahrir tersebut telah dimiliki oleh partai politik yang mengaku sebagai partai Islam sekarang? Wallahu A’lam.[]

Catatan Kaki
[1] http://hizbut-tahrir.or.id/tentang-kami/
[2] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/07/30/partai-politik-dalam-islam/
[3] http://hizbut-tahrir.or.id/2013/05/24/menjadi-caleg-dalam-sistem-demokrasi/
[4] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/21/ismail-yusanto-hti-tidak-mendukung-satu-kekuatan-politik-tertentu/
[www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.