Pemilu yang Semakin Memilukan
Oleh : Muhammad Asnawi, Analis Politik Independen, tinggal di Kalteng
Akankah pemilu 2014 akan menghasilkan pemerintahan yang lebih baik ?
Tanpa bermaksud pesimistis, kualitas pemerintahan mendatang bisa
dipastikan akan sama buruk atau bahkan lebih buruk dari periode
sebelumnya. Penyebabnya beragam mulai dari aspek personal, teknis hingga
filosofis. Pertama, sebanyak 90,5% para kandidat yang maju menjadi
anggota DPR RI periode 2014-2019 adalah para caleg petaha (yang menjabat
saat ini). Partai partai peserta pemilu masih pede mengandalkan para
politisi wajah wajah lama meski terbukti memiliki kinerja buruk dan
integritas yang rendah. Hal ini ditunjukkan dengan kualitas dan
kuantitas produk perundang undangan DPR yang lebih buruk dari periode
sebelumnya.
Secara kualitas, produk undang undang yang dihasilkan sangat kental
dengan semangat liberalisme dan pro pemodal asing seperti UU Minerba,
UU SJSN dan UU SDA. Dari sisi jumlah, produk UU yang dihasilkan saat ini
masih kalah dengan kinerja DPR periode sebelumnya. Ironisnya, anggaran
untuk plesiran (dengan kedok studi banding), tunjangan kinerja dan
fasilitas serba wah bagi para anggota dewan justru semakin menggiurkan.
Sayangnya, dimanjakan dengan gaji dan fasilitas yang selangit ternyata
tak mampu membuat integritas anggota dewan menjadi semakin baik.
Terbukti, masih banyak oknum anggota dewan yang malas ngantor, makan
gaji buta, selingkuh hingga terjebak pada praktik korupsi. Sudahlah stok
lama anggota dewan meragukan, stok baru tak kalah memprihatinkan.
Bukannya memilih para caleg dari kader sendiri, partai politik justru
lebih senang menggaet para caleg dari luar partai seperti para artis,
pengusaha dan kerabat dekat yang belum jelas kualitas dan kapabilitasnya
dalam dunia politik. Semua itu dilakukan oleh partai politik secara
sadar serta terencana bukan dalam rangka pengabdian kepada masyarakat.
Namun, semata mata untuk mendongkrak elektabilitas (meraih suara
pemilih) dan memenuhi syahwat kekuasaan. Alhasil, keberadaan ideologi
dan proses kaderisasi partai politik menjadi kian terkikis dan berujung
pada stagnasi. Partai juga terancam konflik internal karena mandegnya
proses kaderisasi dan kehilangan kader kader yang potensial. Pada saat
bersamaan, mekanisme demokrasi telah sukses menumbuh suburkan nepotisme
kekuasaan termasuk di Kalteng. Tengok saja, para caleg dan kepala daerah
yang maju saat ini tak sedikit merupakan kerabat dekat seperti saudara
kandung, anak, istri, keponakan atau rekan bisnis yang belum teruji
kualitasnya.
Kedua, partai partai politik mengalami disfungsi sebagai media
perubahan ke arah yang lebih baik karena terjebak pada pragmatisme
politik. Dalam kondisi semacam ini, mustahil partai mampu berperan
sebagai kekuatan penyeimbang dalam mendorong lahirnya pemerintahan yang
bersih, adil dan pro rakyat. Hal ini disebabkan kiblat partai politik
sudah bergeser dari nilai nilai perjuangan partai (ideologi) kepada
kepentingan partai, materi atau kekuasaan. Kondisi ini menjadikan partai
tidak lagi objektif dan kritis terhadap berbagai kebijakan pemerintah.
Sehingga, ketika pemerintah berencana menaikkan harga BBM, hampir
seluruh partai partai koalisi satu suara mendukung kebijakan anti rakyat
tersebut. Padahal, naiknya harga BBM akan menjadikan beban ekonomi
masyarakat semakin berat. Di sisi lain, kebijakan bantuan sementara
langsung tunai (BLSM) tak sebanding dengan laju kenaikan harga kebutuhan
pokok dan sekunder lainnya. Minusnya lagi, BLSM rentan menjadi alat
kepentingan politik partai penguasa jelang pemilu. Namun, partai politik
yang ada sepertinya tutup mata dan mendasarkan sikap pada kompromi
atau kompensasi politik. Di daerah setali tiga uang.
Tak sedikit proyek proyek mercusuar dengan anggaran yang besar dan
bukan merupakan prioritas mendapat lampu hijau dari legistatif. Ujung
ujungnya adalah menaikkan citra si kepala daerah dan kompensasi materi
dalam bentuk kapling proyek bagi para anggota dewan. Dosa partai politik
semakin bertambah karena tidak melakukan proses pembinaan dan
penyadaran politik di tengah tengah masyarakat. Hal ini menjadikan
konstituen (masyarakat pemilih) gampang di bodohi dan menjadi korban
kezaliman politik penguasa. Ternyata, slogan pemimpin pro rakyat atau
partai wong cilik hanya sekedar pemanis bibir ketika kampanye. Ketika
pilkada usai, anggota dewan dan pemimpin terpilih seketika menjadi lupa
dengan janji saat kampanye karena sudah dibuang ke tong sampah.
Ketiga, ongkos politik yang mahal. Sudah menjadi rahasia umum,
setiap caleg yang ingin maju menjadi anggota dewan, harus menyediakan
mahar/setoran bagi partai pengusung sebagai kendaraan politik. Jumlahnya
terbilang besar. Mulai 300 juta bagi anggota dewan di kabupaten hingga 3
miliar bahkan lebih untuk anggota DPR pusat. Sedangkan untuk pemilihan
kepala daerah atau presiden jumlahnya jauh lebih besar. Dana politik
biasanya digunakan untuk kegiatan kampanye dari legal sampai yang ilegal
seperti serangan fajar money politic. Jadilah pemilu/pemilukada sebagai
ajang pertarungan uang dan bukan kompetisi kandidat. Dengan ongkos
politik yang selangit, gaji plus tunjangan jabatan selama lima tahun
bagi seorang anggota dewan atau kepala daerah terpilih tidak akan mampu
mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan. Sehingga, tak sedikit
anggota DPR, DPRD, dan kepala daerah yang harus menjadi pesakitan karena
menjadi tersangka korupsi. Kalaulah ada yang belum menjadi tersangka,
kemungkinannya tiga. Pertama, anggota dewan atau kepala daerah tersebut
memang bersih, jujur dan anti korupsi. Namun, kemungkinan ini
persentasenya sangat kecil meski tetap ada. Yang paling banyak adalah
model kedua dan ketiga. Yang kedua, si pejabat publik tersebut memang
korupsi, hanya saja mampu bermain dengan cantik sehingga praktik korupsi
tersebut tidak terdeteksi oleh aparat. Kemungkinan ketiga, bisa jadi
ada indikasi korupsi, namun si pejabat/anggota dewan bisa bermain mata
dan kongkalikong dengan oknum aparat sehingga tetap aman dan bebas dari
jeratan hukum.
Dan terakhir, carut marut panggung politik di negeri ini
sesungguhnya merupakan manifestasi dari nilai nilai demokrasi yang
berorientasi pada kedaulatan rakyat. Siapa saja yang berhak menjadi
pemimpin atau wakil rakyat haruslah atas persetujuan mayoritas rakyat
melalui pemilu/pemilukada. Secara filosofis, demokrasi lahir dari
ideologi sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) yang menjadikan
panggung politik nihil dari nilai nilai ketakwaan. Siapapun bisa dan
berhak berkuasa dengan menghalalkan segala cara. Inilah yang menjadi
cacat bawaan demokrasi karena ternyata pilihan rakyat tak selalu benar
dalam sistem politik yang “serba kotor”. Bisa dikatakan sampai kapanpun
mustahil demokrasi akan mampu menghasilkan pemimpin yang bersih, amanah
dan adil. Mencuatnya kasus suap impor daging sapi yang melibatkan mantan
petinggi partai dawah moralis menjadi contoh benderang rapuhnya sistem
demokrasi. Lantas, haruskah kita tetap percaya demokrasi ?[][htipress/www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar