Header Ads

Inflasi Meroket, Janji Pemerintah Semu

Kompensasi kenaikan harga BBM kepada rakyat miskin yang pemerintah luncurkan yang hanya empat bulan bakal tak banyak bermanfaat.


Pemerintah akhirnya terkena batunya juga. Optimisme pemerintah mampu mengendalikan laju inflasi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) ibarat janji semu untuk rakyat pasca kenaikan BBM akhir Juni, langsung mendongkrak angka inflasi pada Juli lalu.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai inflasi pada Juli 2013 sebesar 3,29 persen. Nilai lebih tinggi dari perkiraan Bank Indonesia (BI) yang hanya sebesar 2,87 persen. Kepala BPS Suryamin mengakui, kenaikan inflasi di Juli 2013 ini karena imbas dari kenaikan harga BBM yang berlaku sejak 22 Juni 2013 lalu.

Bahkan angka inflasi Juli ini tertinggi sejak tahun 2008. Meski, nilai inflasi Juli ini lebih rendah ketimbang Juli 1998 yang mencapai 8,56 persen saat terjadi krisis moneter. Kenaikan inflasi di Juli ini, ternyata merupakan efek domino dari kenaikan harga BBM.

Naiknya harga BBM, premium dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.500/liter dan solar dari Rp 4.500 menjadi Rp 5.500/liter secara tidak langsung mendorong kenaikan ongkos transportasi, biaya produksi hingga merembet ke kenaikan harga komoditas. Seperti diketahui, sejak pemerintah menaikan harga BBM, harga produk pangan juga terkerek naik.

Apalagi kemudian dipicu efek psikologis pasar dengan masuknya bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri. Beberapa komoditas pangan yang menjadi pemicu inflasi tinggi adalah bawang merah, bawang putih, cabai dan daging. BPS mencatat, kenaikan harga terjadi pada kelompok bahan makanan sebesar 5,46 persen dan kelompok transpor, komunikasi, dan jasa keuangan sebesar 9,6 persen. “Jika dilihat, dampak kenaikan harga BBM di Juni itu baru sepertiga. Tapi pada Juli sudah mencapai dua pertiganya,” kata Suryamin.

BPS juga mencatat, inflasi tahun kalender (Januari-Juli 2013) mencapai 6,75 persen. Sedangkan inflasi tahunan (year on year) 8,61 persen. Bahkan dari 66 kota Indeks Harga Konsumen (IHK) yang BPS catat hampir seluruhnya terjadi inflasi. Laju inflasi tertinggi di Ternate (6,04 persen) dan Sorong (5,09 persen). Sementara inflasi terendah di Singkawang 1,36 persen. Artinya, dampak kenaikan harga BBM sangat dirasakan masyarakat.

Sebelum pemerintah menetapkan harga BBM baru, sebenarnya Bank Indonesia (BI) sempat memprediksi bahwa kebijakan tersebut akan mendongkel inflasi di atas 2 persen. Sebab, kenaikan harga BBM akan memicu kenaikan harga barang di pasar.

Saat itu Gubernur BI, Agus Martowardojo memperkirakan lonjakan inflasi bulanan akibat respons kenaikan harga BBM bersubsidi ini akan berjalan selama tiga bulan ke depan. “Dengan adanya kenaikan harga BBM ini, inflasi bulanan akan naik di tiga bulan pertama. Mulai Juni akan ada inflasi di atas 2 persen,” kata Agus.

Bank Dunia juga memprediksi hal yang sama. Ekonom utama Bank Dunia, Ndiame Diop pada awal Juli lalu juga memperkirakan kenaikan harga BBM bersubsidi dapat meningkatkan laju inflasi pada akhir tahun hingga 9 persen (yoy). “Harga BBM yang lebih tinggi pada awalnya akan membawa dampak yang besar terhadap inflasi, dengan meningkatkan rata-rata inflasi tahunan 2013,” katanya.

Kebijakan pemerintah dengan menaikkan harga BBM memang harus dibayar cukup mahal dengan laju inflasi yang terus menanjak sejak Juni lalu. Bukan hanya itu, kini imbas tingginya inflasi, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pun melemah. Dari sebelumnya masih sekitar Rp 9.000-an, kini sudah berada di atas Rp 11 ribu/dolar AS.

Tingginya inflasi yang disusul melemahnya nilai tukar rupiah tersebut pada akhirnya akan menurunkan daya beli masyarakat. Kompensasi kenaikan harga BBM kepada rakyat miskin yang pemerintah luncurkan yang hanya empat bulan bakal tak banyak bermanfaat.

Rakyat miskin akan tetap miskin, bahkan rakyat yang hampir miskin bisa ikut terperosok menjadi miskin. Semua ini menjadi tanggung jawab pemerintah. [islampos/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.