Header Ads

Kiprah Politik Perempuan

Sampai saat ini ternyata masih sangat banyak kaum perempuan termajinalkan oleh kaum laki-laki. Untuk itu, sudah saatnya harus ada keterbukaan dan memberikan kesempatan berkarya bagi kaum perempuan untuk mengisi kemardekaan, dan membangun karakter generasi bangsa dari keterpurukan. Peran wanita terutama ibu dalam membangun karakter generasi bangsa sangat besar bukan hanya berperan sebagai domestik dan sosial tapi juga memiliki peran politik. Untuk itu, sudah sewajarnya para wanita memiliki ilmu pengetahuan agar didalam mendidik anak-anak mampu memberikan pendidikan dan pencerdasan anak bangsa demikian dikatakan oleh Fara Diana yang maju sebagai Caleg DPR RI dari Partai Gerindra dari daerah pemilihan Nanggroe Aceh Darrusalam 1. (dikutip kompas.com 4 Mei 2013)


Perbincangan tentang perempuan ibarat mata air yang tidak pernah kering, selalu menarik untuk dibahas. Manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan berbagai pandangan hidup yang dimilikinya senantiasa mencari jawaban tentang hakikat perempuan. Mengapa perempuan dianggap oleh sebagaian orang sebagai makhluk yang hina, sehingga ia ditindas oleh kaum laki-laki? Mengapa perempuan sering diperlakukan tidak adil dalam berbagai hal? Masih banyak lagi pertanyaan seputar perempuan yang menuntut jawaban yang tuntas tentangnya.

Persoalan perempuan memang kerap menjadi agenda penting untuk diperbincangkan, terlebih lagi ketika berkembang opini tentang ketidakadilan, ketertindasan atau eksploitasi terhadap kaum hawa ini. Peran dan hak-hak perempuan selama ini ‘dianggap’ masih berada pada posisi terpinggirkan. Perempuan dinilai hanya sebagai pelengkap atau sub-ordinat laki-laki, terutama jika memasuki pembahasan keluarga atau politik (kekuasaan). Yang kemudian dipersalahkan adalah sistem formal yang dianggap masih memihak kepada kepentingan laki-laki.

Sebagaimana telah kita pahami bersama bahwa perempuan – di samping sebagai hamba Allah, ibu dari anak-anaknya, istri dari seorang suami, serta anak dari ayah-bundanya – adalah bagian dari masyarakat seperti halnya laki-laki. Keberadaan laki-laki dan perempuan ditengah-tengah masyarakat tidak dapat dipisahkan satu sama lain, tetapi merupakan satu kesatuan yang utuh. Keduanya bertanggung jawab mengantarkan bangsanya untuk menjadi umat terbaik di dunia ini. Inilah salah satu aktivitas politik yang harus dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan secara bersam-sama dan berkesinambungan.

Tidak dapat dipungkiri, bahwa selama ini terdapat kesalah pahaman terhadap aktivitas politik dianggap tidak layak dan melanggar fitrah, seakan-akan politik bukan milik dan bagian perempuan. Pasalnya, dalam kacamata mereka, politik identik dengan kekerasan, kekuasaan, kelicikan atau tipu daya yang hanya pantas menjadi milik laki-laki saja atau bahkan dianggap tidak ada hubungannya dengan Islam. Pandangan seperti inilah yang akhirnya membuat Muslimah tidak mau berpolitik. Alih-alih melakukan aktivitas politik, memikirkannya pun tidak mau. Akhirnya, kaum perempuan hanya mencukupkan diri untuk memikirkan dan beraktivitas dalam urusan dirinya, anak-anaknya, dan keluarganya. Pada saat yang sama, mereka tidak tidak mau peduli dengan apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya.

Sebaliknya, disisi lain sebagian berpendapat bahwa justru perempuan harus berkiprah dan berperan aktif di segala bidang, sama dengan laki-laki tanpa pengecualian, termasuk dalam bidang politik. Hanya saja, politik yang mereka maksud terbatas pada aspek kekuasaan dan legislasi saja. Artinya, aktivitas politik mereka senantiasa diarahkan pada upaya untuk meraih peluang sebesar-besarnya untuk duduk di jabatan kekuasaan atau legislasi. Hal ini didukung oleh asumsi, bahwa jika kekuasaan ataupun penentuan kebijakan bukan perempuan atau minoritas perempuan, suara perempuan tidak tidak didengar dan tidak akan diperjuangkan. Akibatnya, menurut mereka, persoalan perempuan tidak pernah terselesaikan. Seolah-olah persoalan perempuan hanya bisa diselesaikan oleh perempuan. Wajar jika akhirnya kelompok ini berjuang mati-matian agar perempuan menguasai suara legislative ataupun langsung menduduki jabatan sebagai penentu kebijakan.

Sebagaimana diketahui, diskursus seputar isu disparitas gender, terutama yang terkait dengan masalah minimnya partisispasi politik dan representasi perempuan dalam penetapan kebijakan dan kekuasaan memang bukan hal yang baru. Bahkan wacana mengenai pemberdayaan peran politik perempuan akhirnya menjadi salah satu isu penting yang mencuat di tengah euphoria demokratisasi. Bahkan lebih jauh memunculkan tuntutan untuk melakukan reinterpretasi atas logika dasar penataan interaksi dan interrelasi antar perempuan, laki-laki dan dunia politik.

Selama ini dianggap, bahwa pola interaksi dan interrelasi antara perempuan, laki-laki dan politik sangat dipengaruhi oleh budaya masyarakat kita yang patriarkhis, dimana kekuatan dan kekuasaan, baik secara kultural maupun struktural terpusat pada laki-laki. Dalam tataran politis, struktur masyarakat seperti ini dianggap cenderung menjadikan peran politik perempuan berada pada posisi terpinggirkan dan senantiasa menjadi subordinat bagi peran politik laki-laki, terutama jika sudah masuk di lingkar kekuasaan dan legislasi. Kondisi inilah yang ditengarai menjadi penyebab utama bagi tetap langgengnya praktek-praktek penindasan dan diskriminasi struktural maupun kultural terhadap perempuan di seluruh aspek kehidupan, baik pada skala rumah tangga, masyarakat, maupun Negara. Mengingat dominasi laki-laki pada wilayah-wilayah strategis tadi sekaligus diduga akan menjadi alat legitimasi untuk lebih memarjinalisasi dan mengabaikan hak-hak asasi kaum perempuan, termasuk melakukan penindasan atas mereka.

Padahal pada hakikatnya kedudukan wanita adalah sama dengan laki-laki, dalam beberapa hal. Dalam hal asal kejadian, wanita dan laki-laki adalah sama. (An Nisa' : 1, Al Isra' : 70, Ali Imran : 195) Dan masih banyak juga ayat-ayat lainnya. Al-Qur'an berusaha mengikis habis dari segala pandangan yang membedakan antara laki-laki dan wanita. Khususnya dalam bidang kemanusiaan seperti yang terjadi pada beberapa budaya dan agama sebelum datangnya Islam. (An Nisa' ayat 32).

Dari ayat tersebut dapat difahami, bahwa Islam mendudukkan wanita sama dengan perempuan dan sebaliknya. Laki-laki dan perempuan memiliki hak dan bagian sesuai dengan yang mereka usahakan. Dalam persamaan hak untuk memperoleh pengetahuan Al-Qur'an dan Al Hadist juga memberikan hak yang sama antara laki-laki dengan perempuan.

Dalam ayat lain menerangkan, bahwa laki-laki dan wanita mempunyai hak yang sama dalam hal memperoleh pengetahuan. ( Al Alaq : 1-5). Dalam ayat-ayat ini terlihat bahwa, Al-Qur'an tidak membedakan antara laki-laki dengan perempuan dalam menuntut ilmu pengetahuan. Al-Qur'an juga tidak membedakan orang-orang yang terhormat, yang mempunyai jabatan, kedudukan tidak pernah dibedakan dengan rakyat jelata dalam hal menuntut ilmu pengetahuan. Ayat ini dilihat dari urutan turunnya adalah ayat yang pertama kali turun, walaupun kemudian tidak ditempatkan di surat permulaan dalam mushhaf Al-Qur'an. Tetapi kalau dilihat dari segi maknanya, memang ayat ini yang pas untuk turun pertama kali, karena kondisi dunia, peradaban dunia saat itu, menuntut dan tepat untuk turun lebih awal, untuk memberantas perbedaan hak dan kewajiban yang diterima oleh laki-laki dan perempuan pada zaman sebelum turunnya Al-Qur'an.

Sejarah mencatat bahwa yang berhak menuntut ilmu pengetahuan pada saat itu wanita di masa jahiliyah (sebelum diutusnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) pada umumnya tertindas dan terkungkung khususnya di lingkungan bangsa Arab, tetapi tidak menutup kemungkinan fenomena ini menimpa di seluruh belahan dunia. Bentuk penindasan ini di mulia sejak kelahiran sang bayi, aib besar bagi sang ayah bila memiliki anak perempuan. Sebagian mereka tega menguburnya hidup-hidup dan ada yang membiarkan hidup tetapi dalam keadaan rendah dan hina bahkan dijadikan sebagai harta warisan dan bukan termasuk ahli waris. Dan hanyalah bagi para pembesar negara, para penguasa dan para pembesar lainnya. Barangkali yang ada dalam pikiran para penguasa pada saat itu kalau rakyat diberi pendidikan, lalu mengerti hak dan kewajibannya, maka tentu akan menuntut kepada penguasa itu sendiri, atas ketidakpuasan terhadap pemimpin mereka. Begitu juga hak wanita yang dibuat tidak sama dengan perempuan dalam hal menuntut ilmu pada saat itu. Barangkali pikiran laki-laki saat itu biarlah para wanita itu bodoh, karena kalau permpuan diberi kesempatan menuntut ilmu dan pintar, mereka akan menuntut haknya kepada laki-laki.

Maka dengan turunnya ayat ini mengikis semua pandangan itu, dan menempatkan wanita pada kedudukan yang sama dalam hak menuntut ilmu. Hal ini juga diterangkan dalam hadis Riwayat Ibnu Majah, Al-Baihaqi, Ibnu Abdil Barr, dan Ibnu Adi, dari Anas bin Malik: “Mencari ilmu itu wajib bagi muslim dan muslimah”. Dalam sejarah tercatat bahwa wanita banyak yang terlibat langsung dalam aktivitas, yang biasanya dilakukan oleh laki-laki. Islam memberi kesempatan seluasluasnya kepada wanita untuk berkecimpung dalam dunia yang memungkinkan untuk dilakukan wanita. Tercatat nama-nama seperti Ummu Salamah, Shofiah, Laila Al Ghofariyah, Ummu Sinam al Aslamiyah dan lain-lainnya adalah tokoh wanita yang terlibat dalam peperangan. Imam Bukhori, juga membukukan bab-bab kitab tertentu dalam shahihnya, tentang keterlibatan perempuan dalam jihad. Di samping itu para perempuan pada masa Nabi aktif dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan, ada juga yang menjadi perawat, bidan dan sebagainya.

Mengenai peran politik, Islam memandang perempuan juga memiliki kewajiban mewujudkan kesadaran politik ditengah-tengah masyarakat. Hanya saja harus diluruskan, bahwa pengertian politik dalam konsep Islam tidak dibatasi pada masalah kekuasaan dan legislasi saja. Pengertian politik menurut pemeliharaan seluruh urusan umat di dalam negeri maupun diluar negeri, baik menyangkut aspek Negara maupun umat. Dalam hal ini Negara bertindak secara langsung mengatur dan memelihara umat, sedangkan umat bertindak sebagai pengawas dan pengoreksi pelaksanaan pengaturan oleh Negara. Karena itu, dalam Islam tidak menjadi masalah apakah posisi seseorang sebagai penguasa (penentu kebijakan) ataupun sebagai rakyat biasa. Keduanya memiliki kewajiban yang sama dalam memajukan Islam dan umat. Serta memiliki tanggung jawab yang sama dalam menyelesaikan seluruh problematika umat tanpa membedakan apakah problem itu menipa laki-laki atau perempuan. Keseluruhannya dianggap sebagai problematika umat yang harus diselesaikan secara bersama-sama. Ketika kaum muslim berupaya memfungsikan segenap potensi insaniahnya untuk menyelesaikan problematika umat, pada dasarnya isa sudah melakukan aktivitas politik.

Secara singkat dapat dikatakan bahwa Islam telah memberi kedudukan yang sama antara laki-laki dengan perempuan. Kaum perempuan dibenarkan untuk aktif dalam berbagai kegiatan, atau bekerja dalam berbagai bidang, di dalam maupun di luar rumah, secara mandiri, bersama orang lain. Di lembaga pemerintahan maupun swasta. Selama pekerjaan itu dilakukan dalam kondisi terhormat, sopan, serta dapat memelihara agamanya, terjamin keamannya dan dapat pula menghindarkan dampak-dampak negative terhadap diri dan lingkungannya. Dengan demikian, nyatalah bahwa sangat jauh berbeda antara perlakuan perempuan sebelum Islam dengan sesudahnya. [www.al-khilafah.org]

Oleh : Siti Mas Rini Andrianidewi Kusumastuti

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.