Header Ads

Makna Pengakuan SBY Sebagai Kepala “Salesperson”

Pernyatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono  dihadapan peserta APEC CEO Summit di Nusa Dua, Bali, Minggu (6/10) penting untuk disimak. Saat menyampaikain pidato pembukaan, Presiden SBY menyatakan dirinya adalah Kepala Penjualan Perusahaan Indonesia  (Chief Salesperson of Indonesia Inc).

 
Pernyataan ini bisa dikatakan jujur, karena memang sesuai dengan realita. Sekaligus membuktikan memang rezim SBY adalah rezim Liberal. Apa yang disampaikan SBY mencerminkan pradigma liberal dalam bernegara selama ini.  Hubungan antara rakyat dan pengusaha seperti hubungan bisnis antara pemilik modal dan konsumen.

Sebagai Chief Salesperson, SBY memang getol menjual kekayaan alam Indonesia kepada asing dengan murah. Parahnya lagi yang digetol dijual oleh kekayaan alam yang sesungguhnya kalau dalam pandangan Islam merupakan pemilikan umum (milkiyah ‘amah) yang merupakan milik rakyat.

Kekayaan alam yang harus dikelola dengan baik oleh negara dan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Lihatlah hampir sebagian besar minyak , gas, emas, batu bara, dan barang-barang tambang penting  kita dimiliki dan dikuasai oleh asing.

Anggapan bahwa Indonesia adalah sebuah perusahaan, sebagaimana yang disebut oleh presiden SBY sebagai Indonesia Inc., merupakan pradigma liberal yang sangat berbahaya. Rakyat kemudian dianggap sebagai konsumen, sementara negara sebagai pebisnis.

Pradigma Indonesia Inc., membuat negara selalu berpikir mencari untung. Tidak peduli apakah rakyatnya bisa menjangkau atau tidak. Pelaku negara menganggap pelayanan yang sifatnya gratis kepada rakyat, tidak menguntungkan secara bisnis.

Pameo “Kalau bisa bayar kenapa gratis” pun dijadikan pegangan. Negara menganggap pemberian subsidi  kepada rakyat, merugikan ‘bisnis’, hingga  harus dikurangi hingga titik nol. Meskipun  sebenarnya itu merupakan milik dan  hak rakyat.

Rakyat dianggap sebagai konsumen yang harus membeli barang dan pelayanan yang dijual oleh negara. Tentu dengan harga yang menguntungkan yang kerap kali berarti mahal.  Tidak mengherankan kalau  pelayanan pendidikan, dan kesehatan semakin mahal.  Biaya Listrik dan Air terus  meningkat. Untuk meraup keuntungan yang lebih besar dari rakyat , negara menjadi pemalak dengan menarik pajak dari rakyat.

Hanya saja SBY tidak sendiri, pemimpin-pemimpin sebelumnya juga berprilaku sama. Dan perlu dicatat, semuanya dilegitimasi oleh UU pesanan asing yang dibuat oleh lembaga DPR yang berkali-kali mendapat predikat lembaga terkorup.

UU No.22/2001 tentang Migas menjadi dasar pengokohan perampokan kekayaan alam Indonesia, tidak hanya sektor hulu tapi juga hilir.  Lima kontraktor asing  Exxon Mobil, Shell Penzoil, Total Fina EIf, BP Amoco Arco, dan Chevron Texaco, yang menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80%.

Upaya menjual Indonesia kepada asing (Indonesia for Sale), tampak jelas pada Naskah akademik RUU Perdagangan yang disusun dan diajukan Kementerian Perdagangan ke DPR . Dalam catatan Revrisond Baswir, ekonomi UGM, isi naskah akademik RUU Perdagangan terhadap berbagai kesepakatan liberalisasi perdagangan internasional cenderung sangat ramah. Pembahasan pun tidak hanya dilakukan secara mendalam, tetapi dilakukan dengan penuh simpati dan penghormatan.

Pembahasan mengenai hierarki berbagai kerja sama perdagangan internasional sebagaimana dilakukannya dalam Bab III.B.3. Posisi tertinggi diduduki Organisasi Perdagangan Dunia, menyusul Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), Forum Regional ASEAN (ARF) yang bersifat mendukung APEC, ASEAN+3, dan ASEAN+1. Akhirnya, di bawah ASEAN+1 terdapat berbagai kerja sama perdagangan yang bersifat bilateral.

Sikap hormat berlebihan itu dapat disimak pula ketika berbicara mengenai harmonisasi kebijakan perdagangan. Menurut naskah akademik RUU Perdagangan: “Pemerintah mengatur perdagangan dengan tidak melanggar hal-hal yang sudah disepakati dalam perjanjian internasional: WTO, GATS, ASEAN Economic Community, dan lain-lain.”

Masih menurut Kepala Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan UGM itu,  pradigma liberalisasi sangat vulgar  terlihat sejak halaman pertama. Pada Bab I.A.1 butir g mengenai Landasan Filosofis yang mendasari penyusunan NA RUU Perdagangan. Menurut NA RUU Perdagangan: “Market mechanism is the best mechanism for the economy.”

Pradigma liberal ini bertolak belakang dengan Islam. Dalam Islam penguasa adalah khodimul ummah (pelayan rakyat) yang tugasnya adalah melayani kepentingan umat  dan ar-rain (pengatur/pengurus) urusan ummat.

Rosulullah Saw mengambarkan pemimpin sebagai ar ro’in (pengatur/penggembala) yang mengatur urusan-urusan umat berdasarkan syariah Islam. Negara dalam hal ini harus menjamin kebutuhan pokok tiap individu rakyat dan menjamin pendidikan dan kesehatan gratis untuk rakyat. Termasuk keamanan rakyat. Semua ini merupakan kewajiban negara dan tanggung jawab negara.

Adapun untuk kekayaan alam yang merupakan pemilikan umum seperti air dan listrik harus dipastikan bisa diperoleh oleh masyarakat sebagai layanan publik bukan barang dagangan atau penjualan jasa dengan logika bisnis.

Demikian juga barang tambang yang jumlahnya melimpah seperti tambang emas, batu baru, timah, merupakan milik rakyat. Negara harus mengelolanya dengan baik untuk kepentingan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkan pemilikannya kepada individu (swasta) apalagi kepada asing. Untuk bisa menerapkan sistem Islam ini semua tentu saja membutuhkan Khilafah Islam sebagai institusi politiknya. (Farid Wadjdi)[htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.