Syiah Dalam Kitab Resmi Hizbut Tahrir
Seperti tahun-tahun sebelumnya tanggal 10 Muharram oleh kelompok Syia’ah dijadikan momentum peringatan terbunuhnya Imam Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib di Karbala. Momentum ini pula yang dimanfaatkan oleh para da’I untuk menjelaskan kesesatan Syi’ah. Nah, dalam konteks inilah banyak pihak yang bertanya pandangan Hizbut Tahrir terkait Syi’ah. Kami tidak pada posisi menjelaskan pandangan HT tentang tema ini. Kami hanya mengutipkan beberapa kutipan terkait dari beberapa kitab resmi (mutabannat) yang dikeluarkan HT tanpa memberikan komentar sedikit pun. Semoga bermanfaat untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz I disebutkan:
وأما الشيعة فقد خالفوا أصول الشافعي مخالفة كبيرة. فإنهم جعلوا أقوال الأئمة دليلاً شرعياً كالكتاب والسنة، وهي عندهم معتبرة حجة تلي حجة الكتاب والسنة على الأقل، ويجعلون كلام الأئمة مخصِصاً للسنّة …
فالشيعة الإمامية يضعون أئمتهم بجوار السنة. والاجتهاد عندهم مقيد بالمذهب، فلا يجوز للمجتهد أن يخالف آراء المذهب، أي لا يجوز للمجتهد أن يجتهد بما يخالف أقوال الإمام الصادق. وقد رفضوا الأحاديث إلا إذا كانت عن طريق أئمتهم. وهم لا يأخذون بالقياس، وقد تواتر عن أئمتهم كما يروون في كتبهم أن الشريعة إذا قيست محق الدين
“Adapun Syî’ah, pertentangannya dengan ushul Syafi’i amat besar. Mereka telah menjadikan (menganggap) seluruh perkataan Imam (mereka) sebagai dalil syara’, sama seperti al-Kitab dan Sunnah. Paling tidak perkataan-perkataan para Imam dianggap sebagai hujjah setelah hujjah al-Kitab dan Sunnah. Mereka menjadikan perkataan para Imam sebagai takhsish terhadap Sunnah. … Syî’ah Imamiyah meletakkan Imam-imam mereka sejajar dengan Sunnah. Dan ijtihad menurut mereka terkait dengan mazhab, sehingga tidak boleh seorang mujtahid bertentangan pendapat-pendapat mazhabnya. Artinya seorang mujtahid tidak boleh berijtihad dengan sesuatu yang bertentangan dengan perkataan-perkataan seorang Imam yang shadiq (benar). Dan mereka menolak hadits kecuali yang melalui jalur para Imam mereka. Mereka juga tidak mengambil qiyas. Imam-imam mereka sepakat sebagaimana yang mereka riwayatkan dalam kitab-kitabnya bahwa syariat apabila diqiyaskan akan melenyapkan agama.”[1]
ونشأ جماعة أخرى من المسلمين أحبوا علي بن أبي طالب رضي الله عنه وأحبوا ذريته، ورأوا أنه وذريته أحق بالخلافة من كل أحد. وأنه هو الوصي الذي أوصى إليه الرسول – صلى الله عليه وسلم – بالخلافة من بعده. وقد ردوا أحاديث كثيرة رواها عن الرسول- صلى الله عليه وسلم – جمهور الصحابة. ولم يعوِّلوا على أراء الصحابة وفتاويهم، وعوَّلوا فقط على الأحاديث التي رواها أئمتهممن آل البيت، والفتاوى التي صدرت عنهم، وكان لهم فقه خاص، وهؤلاء هم الشيعة
Masih pada kitab yang sama disebutkan:
“Kemudian muncul kelompok lain dari kaum Muslim yang mencintai Ali bin Abi Thalib ra dan keturunannya. Mereka menganggap bahwa Ali beserta keturunannya lebih berhak memegang kekhilafahan dari pada yang lainnya. Ali adalah orang yang diberi wasiat oleh Rasul untuk menjadi Khalifah setelah beliau. Mereka menolak banyak hadits yang diriwayatkan dari Rasulullah oleh jumhur sahabat. Mereka tidak menyandarkan kepada pendapat-pendapat dan fatwa para sahabat. Mereka hanya bersandar kepada hadits-hadits yang diriwayatkan oleh imam-imam mereka dari ahlul bait dan fatwa-fatwa yang bersumber dari mereka. Mereka memiliki fiqih tersendiri. Mereka ini adalah kelompok Syî’ah.”[2]
Dalam kitab Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah juz II disebutkan:
القول بأن الرسول صلى الله عليه وآله وسلم عين شخصاً معيناً يكون خليفة بعده يناقض نصوص الشريعة، والقول بأن الرسول عليه السلام عين الأشخاص الذين يكونون خلفاء بعده إلى يوم القيامة أكثر مناقضة لنصوص الإسلام.
“Pendapat yang menyatakan baha Rasul saw menentukan person tertentu sebagai khalifah sesudahnya adalah pendapat yang bertentangan dengan nash-nash syariat. Demikian pula pendapat yang menyatakan bahwa Rasul saw menentukan person-person yang menjadi para khalifah sesudahnya hingga hari kiamat banyak pertentangannya dengan nash-nash Islam”.[3]
Dalam kitab Amwal fi Daulah Al-Khilafah disebutkan
“Adapun individu-individu atau kelompok-kelompok yang awalnya berislam kemudian mereka murtad, dan mereka ada sampai saat ini, maka dilihat terlebih dahulu fakta keberadaan mereka yang ada. Apabila mereka dilahirkan oleh murtad dan bukan kemauan mereka sendiri (untuk murtad), melainkan orang-tua atau nenekmoyang mereka yang murtad, seperti golongan Syi’ah Ad-Duruz, pengikut Al-Bahaiyyah, Al-Ismailiyyah, An-Nushairiyyah, yang menuhankan Ali bin Abi Thalib, maka mereka tidak diperlakukan sebagai murtad, akan tetapi mereka diperlakukan sebagaimana perlakuan terhadap Majusi dan Shabi’ah. Ditarik dari mereka jizyah, sembelihan mereka tidak dimakan, wanita-wanita mereka tidak dinikahi, kecuali jika mereka mau memperbaharui keislaman mereka, dan mengulangi masuk Islam, maka berlaku bagi mereka hukum terhadap kaum muslimin.”[4]
Wallahu ta’ala’alam bi ash-shawab
Al faqiir ila taufiqiLLAH Wahyudi Ibnu Yusuf
Banjarmasin, 11 Muharram 1435 H
[1] Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol I, hlm 362
[2] Ibid, vol I hlm 376
[3] Taqyuddin An-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah Al-Islamiyyah (thab’ah mu’tamadah – 2003), vol II, hlm 54
[4] Abdul Qadi Zallum, Amwal fi Daulah Al-Khilafah (thab’ah mu’tamadah – 2004), hlm64.
Sumber http://
Tidak ada komentar