Untuk Penanganan Banjir, Dari Mana Khilafah Mendapatkan Dana ?
Di tengah musibah banjir yang melanda berbagai daerah di tanah air,
termasuk DKI Jakarta, terbetik kabar bahwa selama ini ternyata
pemerintah menangani persoalan banjir dengan utang luar negeri. Pada
tahun 2009, pemerintah mengajukan pinjaman senilai USD135,5 juta untuk
menangani banjir terkait dengan program Jakarta Emergency Dredging
initiative atau JEDI.
Kemudian tahun 2010, Kementerian Pekerjaan Umum mengajukan pinjaman untuk Jakarta Urgent Flood Mitigation Project 2011 sebagai kelanjutan proyek pengerukan 13 sungai di Jakarta menggunakan dana Bank Dunia senilai USD 150 juta.
Adapun tahun 2012, Bank Dunia memberikan uang untuk Jakarta Urgent Flood Mitigation Project senilai USD 139,64 juta. Saat yang sama, Kementerian PU juga mendapatkan persetujuan pinjaman dari World Bank sebesar Rp 200 miliar untuk program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).
Kalangan pragmatis mungkin akan berkata; habis darimana lagi uangnya? Mindset kaum pragmatis ini sudah menjadikan kapitalisme – dengan basis sekulerisme/memisahkan agama dari kehidupan – sebagai problem solving untuk setiap persoalan. Termasuk mengandalkan utang meski berlumuran riba.
Padahal hutang luar negeri yang berbasis ribawi itu mendatangkan segudang persoalan. Permasalahan transparansi alokasi dana utangan tersebut yang rawan penyimpangan, dan yang paling krusial serta fundamental adalah riba. Ya, riba. Kita semua, kaum muslimin sudah semestinya meyakini dan mengamalkan hukum keharaman riba. Riba itu terkategori dosa besar. Nabi saw. sampai mengatakan bahwa dosa yang teringan dari riba itu seperti menzinahi ibu kandungnya sendiri. Na’uzubillahi min dzalik!
Nabi saw. juga mengatakan bahwa jika riba sudah merebak maka sama dengan mengundang bencana dari Allah yang Mahakuasa.
“Jika telah nampak zina dan riba di satu negeri, maka sungguh telah penduduk negeri itu menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab Allah Azza wa Jalla.”(HR. Hakim).
Ironi, negeri yang mayoritas muslim tapi tak ada rasa gentar mempraktekkan riba. Malah ia dijadikan sebagai tumpuan harapan penyelesaian masalah.
Solusi Khilafah
Lalu bagaimana solusi dana bagi negara jika bencana datang? Di dalam syariat Islam sudah diatur bagaimana negara khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk penanganan bencana, yakni:
[www.al-khilafah.org]
Kemudian tahun 2010, Kementerian Pekerjaan Umum mengajukan pinjaman untuk Jakarta Urgent Flood Mitigation Project 2011 sebagai kelanjutan proyek pengerukan 13 sungai di Jakarta menggunakan dana Bank Dunia senilai USD 150 juta.
Adapun tahun 2012, Bank Dunia memberikan uang untuk Jakarta Urgent Flood Mitigation Project senilai USD 139,64 juta. Saat yang sama, Kementerian PU juga mendapatkan persetujuan pinjaman dari World Bank sebesar Rp 200 miliar untuk program Jakarta Emergency Dredging Initiative (JEDI).
Kalangan pragmatis mungkin akan berkata; habis darimana lagi uangnya? Mindset kaum pragmatis ini sudah menjadikan kapitalisme – dengan basis sekulerisme/memisahkan agama dari kehidupan – sebagai problem solving untuk setiap persoalan. Termasuk mengandalkan utang meski berlumuran riba.
Padahal hutang luar negeri yang berbasis ribawi itu mendatangkan segudang persoalan. Permasalahan transparansi alokasi dana utangan tersebut yang rawan penyimpangan, dan yang paling krusial serta fundamental adalah riba. Ya, riba. Kita semua, kaum muslimin sudah semestinya meyakini dan mengamalkan hukum keharaman riba. Riba itu terkategori dosa besar. Nabi saw. sampai mengatakan bahwa dosa yang teringan dari riba itu seperti menzinahi ibu kandungnya sendiri. Na’uzubillahi min dzalik!
Nabi saw. juga mengatakan bahwa jika riba sudah merebak maka sama dengan mengundang bencana dari Allah yang Mahakuasa.
إِذَا ظَهَرَ الزِّنَا وَالرِّبَا فِي قَرْيَةٍ ، فَقَدْ أَحَلُّوا بِأَنْفُسِهِمْ عذاب الله
“Jika telah nampak zina dan riba di satu negeri, maka sungguh telah penduduk negeri itu menghalalkan bagi diri mereka sendiri azab Allah Azza wa Jalla.”(HR. Hakim).
Ironi, negeri yang mayoritas muslim tapi tak ada rasa gentar mempraktekkan riba. Malah ia dijadikan sebagai tumpuan harapan penyelesaian masalah.
Solusi Khilafah
Lalu bagaimana solusi dana bagi negara jika bencana datang? Di dalam syariat Islam sudah diatur bagaimana negara khilafah mendapatkan sumber pemasukan untuk penanganan bencana, yakni:
- Pos fa’iy (harta rampasan perang) manakala negara khilafah melakukan futuhat atau penaklukan guna penyebaran Islam. Devisa negara yang berasal dari pos fa’iy sebagian dialokasikan untuk penanganan bencana alam.
- Pos kharaj (pungutan atas tanah kharajiyyah), setiap negeri yang masuk Islam melalui jalan peperangan/futuhat seperti Irak atau Mesir, juga negeri-negeri lain, telah ditetapkan oleh hukum syara sebagai tanah kharaj. Tanah ini akan dipungut biayanya yang disebut uang kharaj, dimana besarannya diserahkan kepada pendapat/ijtihad khalifah. Devisa negara dari tanah kharaj ini terbilang besar, seperti yang diperoleh dari tanah Irak di masa Kekhilafahan Umar bin Khaththab. Dari pos kharaj ini sebagian akan dialokasikan untuk pos penanganan bencana.
- Pos milkiyyah ‘ammah (kepemilikan umum). Di dalam negara khilafah berbagai kepemilikan umum seperti barang tambang migas, mineral, batu bara akan dikelola negara dan hasilnya menjadi milik umum. Keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan ini sebagian akan dialokasikan untuk menangani bencana alam.
- Pos dlaribah (pungutan atas kaum muslimin). ini bukan pajak. Bila dalam sistem kapitalisme pajak dijadikan urat nadi pereekonomian, termasuk dalam penanganan bencana, Islam menolak jauh-jauh konsep ini. Haram bagi negara memungut pajak dari rakyat. Akan tetapi manakala kas negara dalam keadaan minim sedangkan kebutuhan ri’ayah (mengurus) rakyat harus tetap berjalan, maka ada pungutan yang dinamakan dlaribah. Perbedaannya dengan pajak adalah obyeknya. Dlaribah hanya diambil dari warga muslim yang mampu/kaya, tidak dipungut dari yang menengah apalagi yang tidak mampu. Warga nonmuslim bahkan sama sekali tidak diambil dlaribah-nya. Dalilnya adalah keputusan Rasulullah saw. yang beberapa kali meminta kaum muslimin untuk mengalokasikan hartanya untuk keperluan umum. Seperti Beliau saw. memotivasi kaum muslimin untuk membeli sumur Raumah dari pemiliknya, seorang Yahudi. Hal itu perlu dilakukan karena saat itu Madinah kekurangan air bersih. Akhirnya Utsman bin Affan ra. mewaqafkan tanahnya untuk membeli sumur itu. Rasulullah saw. pun memuji sikap Utsman bin Affan ra.
[www.al-khilafah.org]
Tidak ada komentar