Header Ads

Siapa Idolamu?

Oleh: Muhamad Nur Irfan
Jurnalistik UNPAD 2012

Ketika ada sebuah pertanyaan muncul “siapakah idolamu?”, kebanyakan dari mereka pasti menjawab orang atau tokoh terkenal yang sering nongol di media massa. Terlebih lagi anak-anak dan remaja yang memang sedang mencari jati diri mereka.

Tokoh idola biasanya menjadi panutan dan patokan bagi kita dalam menjalankan aktivitas sehari-hari. Panutan ini juga menjadi tolak ukur mau menjadi seperti apa kita kelak. Tokoh atau orang yang kita idolakan biasanya sudah tertanam sejak kita masih kanak-kanak. Terkadang orang tualah yang terobsesi, anak mereka akan menjadi seperti siapa. Selain dari keluarga, munculnya tokoh idola pada diri seseorang juga karena faktor lingkungan.


Kita bisa melihat fakta di lapangan. Coba saja kita bertanya kepada anak-anak atau remaja tetangga kita tentang siapa idolanya. Kebanyakan jawaban dari mereka, tidak jauh dari tokoh-tokoh yang ada di televisi. Yang menjadi permasalahan di sini adalah, konten-konten di media televisi hakikatnya bukan untuk kalangan remaja apalagi anak-anak. Kebanyakan, konten program di media sekarang ini merujuk ke Barat yang notabene mengedepankan kebebasan, dari mulai gaya hidup, aktivitas keseharian, dll. Program berita, yang sejatinya untuk menambah informasi dan wawasan, kini malah kriminalitas yang mendominasi konten berita.

Hasilnya pun bisa kita rasakan saat ini. Aktvitas pemuda yang seharusnya membawa angin segar perubahan, kini malah terbawa oleh zaman. Bermain video game yang membuat mereka malas, Asik dengan aktivitasnya di dunia maya, Mengejar cinta yang sebenarnya belum waktunya. Situasi ini tentunya berbeda 180 derajat dengan zaman-zaman sebelumnya, terlebih ketika peradaban Islam masih eksis. Para permuda waktu itu disibukan dengan berkaraya, baik untuk Islam atau pun yang berkaitan dengan science seperti Imam Syafi’i yang membuat banyak sekali kitab, Ibnu Sina yang berhasil menemukan ilmu dibidang kesehatan, Muhamad Al-Fatih yang berhasil memimpin pasukan perang, dan masih banyak lagi.

Banyak faktor yang membuat fenomena ini bisa terjadi. Yang pertama, faktor pribadi para pemuda saat ini. Kebanyakan dari mereka dididik atas dasar untuk mengejar materi belaka. Pendidikan Islam yang hendaknya diajarkan sejak dini, kini malah dinomor duakan. Para orang tua lebih memilih mengeleskan anakanya matematika, dibandingkan denga belajar membaca Al-Qur’an. Ibu yang hakekatnya menjadi pendidik yang pertama bagi anaknya, kini malah disibukan mengutamakan karir kerjanya.

“Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang ta’at kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An Nisa’: 34)

Ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai peran masing-masing yang saling melengkapi. Laki-laki sebagai suami sekaligus kepala rumah tangga bertanggung jawab memberi nafkah istri dan anak-ananknya. Sedangkan Istri bertugas mendidik anak-anak serta melayani suaminya. Laki-laki dan perempuan sudah mempunyai proporsinya masing-masing yang di atur oleh Islam, sehingga kehidupan keluarga pun akan berjalan harmonis dan membuat generasi penerus yang cemerlang.

Yang kedua, lingkungan yang sudah jauh dari suasana Islami. Media Massa yang sudah menjadi candu bagi masyarakat, membangun lingkungan yang kebarat-baratan. Kita sudah tidak asing lagi melihat perempuan mengumbar-ngumbar auratnya, pemuda yang tidak lepas dari aktivitas pacaran, nongkrong yang hanya membuang-buang waktu. Anehnya kalau pemuda yang tidak melakukan aktivitas tadi dianggap kuper, cupu, jadul atau yang lainnya. Pemuda yang rajin ke masjid malah dianggap sok suci, sok alim, yang lebih ekstrimnya dianggap teroris.

Ketiga, tidak adanya aturan baku yang mengatur kehidupan sosial bermasyarakat. Dengan asas kebebasan, sebuah negara tidak berhak mengatur kehidupan pribadi masyarakat. Padahal kehidupan pribadilah yang akan menjadi pondasi untuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Dengan tidak mencegah peredaran minuman beralkohol, pemerintah secara tidak langsung membebaskan masyarakatnya untuk mengonsumsi alkohol. Dan sebagian besar konsumennya adalah kalangan pemuda. Contoh lain pada sistem pendidikan. Pemerintah tidak mengedepankan agama dalam kurikulum yang dibuat mereka. Pemerintah kurang peduli terhadap akhlak para pelajar, dan lebih mementingkan nilai materi belaka.

Jika ketiga faktor ini tidak dilalaikan, niscaya kehidupan Islami akan terwujud. Generasi yang sekarang jauh dari kata baik, niscaya akan tercipta generasi yang cemerlang dengan dukungan lingkungan yang Islami. Apakah kita tidak rindu ketika bertanya kepada anak-anak “siapa idolamu?”, jawaban meraka adalah Rosulullah SAW, Umar bin khatab, Abu Bakar, Ustman, Ali, dan sahabat lainnya. Wallahua’lam bissawab [www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.