Header Ads

Tidak Kere Versi Ani Yudhoyono Vs Sejahtera Versi Islam

Oleh: Arini Retnaningsih

Politikus Partai Demokrat, yang juga First Lady Indonesia Ani Yudhoyono berkampanye soal capaian pemerintahan di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, suaminya. Sepanjang pidatonya di Lapangan Kujon, Borobudur, Kabupaten Magelang, Ani Yudhoyono mengklaim Indonesia di bawah pemerintahan SBY menjadi negara yang maju, sejahtera dan dihormati banyak negara.


Karenanya, juru kampanye Partai Demokrat ini bertanya kepada massa yang hadir, soal kepuasaan masyarakat terhadap kondisi ekonomi saat ini. Menurut dia, kondisi perekonomian pun terus membaik. Kemiskinan dan pengangguran diklaim berkurang. “Benarkah negara kita tak ada kemajuan sama sekali? “ kata Ani Yudhoyono, Ahad 16 Maret 2014. “ Benarkah hidup rakyat semakin sengsara? Coba siapa punya HP?”

Ribuan simpatisan Demokrat yang hadir ada yang menyahut, ada pula yang tunjuk tangan. “Nah kan, bohong kalau enggak,” kata Ani Yudhoyono.

Menurut Ani, ini bukti perekonomian Indonesia tumbuh tinggi dalam 10 tahun terakhir. Indonesia , klaim Ani Yudhoyono, berada pada peringkat ke -16 di dunia dan berkembang masuk sebagai anggota G-20.

” Jadi Sopo sing kere (Siapa yang sengsara?)” kata Ani Yudhoyono lagi.

Pertanyaan Ani Yudhoyono dijawab ratusan simpatisan yang hadir di sebelah panggung. Mayoritas dari mereka, adalah anak-anak muda berkaos biru. “ Saya yang kere, “ mereka berteriak.

Ani Yudhoyono pun berbalik. Ia mengulangi pertanyaannya,”Jadi siapa yang kere?” dan berulang kali dijawab. Ani pun mengeluarkan petuahnya. “ Jangan begitu ah Mas.. Nanti Allah Marah. Pakaiannya kan bagus-bagus, Jadi tak seperti itu ya…” kata Ani Yudhoyono (Tempo.co.id, 17-03-2014).

Spontan apa yang terjadi di panggung kampanye Ani Yudhoyono tersebut menuai berbagai tanggapan di masyarakat. Salah satunya Esther Lina yang menulis di Kompasiana, 17 Maret 2014. Ia menceritakan sosok tetangganya, Ibu Pipi, seorang dukun beranak. Ibu Pipi tinggal di rumah liar yang dibangun di atas bekas lapangan badminton di area komplek. Suaminya tukang ojek serabutan – menggunakan motor sewaan – dengan pendapatannya tak menentu.

Untuk menunjang usahanya, ibu Pipi menggunakan hp, beli bekas seharga Rp.50.000,-. Bisa untuk terima sms, namun tidak bisa digunakan untuk menelepon maupun menjawab panggilan telepon.

Ibu Pipi tidak mampu membeli kompor gas. Akibatnya, tabung gas pembagian pemerintah dijualnya untuk membeli makanan. Ibu Pipi menerangkan, karena harga minyak tanah mahal, Rp 15 ribu per liter, untuk minum ia menggunakan air tanah yang diendapkan. Tidak dimasak.

Keluarga seperti ibu Pipi ini, menurut ibu Ani Yudhoyono tidak bisa dikategorikan miskin, karena punya hp. Padahal Ibu Pipi tidak sendirian. Di masyarakat, banyak yang punya hp untuk kepentingan kerja. Para pembantu yang gajinya tiap bulan hanya 500 ribu rupiah, punya hp, kadang hp bekas dari majikannya biar mudah berkomunikasi. Tukang ojek juga punya agar mudah dihubungi pelanggan. Begitu pula tukang beca, para kuli dan loper koran. Mereka punya hp, tapi tidak mampu membeli rumah yang layak, makanan cukup, menyekolahkan anak dan berobat ke rumah sakit. Dalam pandangan Bu Ani, mereka tidak miskin, hanya semata-mata karena punya hp. Layakkah hp menjadi standar sejahtera?

Standar Sejahtera Yang Tidak Proporsional

Garis kemiskinan yang digunakan BPS saat ini sekitar Rp 8 ribu perorang perhari atau Rp 240 ribu perorang perbulan. Artinya, seseorang yang pengeluarannya perhari lebih dari Rp 8 ribu, misalnya saja Rp 9 ribu, maka orang tersebut sudah dianggap tidak miskin. Tentu saja ini sangat tidak rasional, bagaimana seseorang bisa memenuhi kebutuhan pokoknya perhari secara layak dengan uang Rp 9 ribu? Dengan standar semacam inilah Ani Yudhyono mengklaim penduduk Indonesia sudah tidak kere.

Kriteria BPS tersebut sangat jauh di bawah standar yang dikeluarkan Bank Dunia, yakni sebesar US$2 perorang perhari atau sekitar Rp 22 ribu perorang perhari. Apabila menggunakan standar Bank Dunia ini maka penduduk miskin di Indonesia bisa mencapai di atas 100 juta jiwa atau 40,8% dari jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah sekitar 245 juta jiwa (Dr.Ir. Kusman Shadiq, 2012).

Punya hp, bagi sebagian penduduk perkotaan adalah kebutuhan. Ini tidak bisa menjadi standar kesejahteraan. Apalagi ,mengingat sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di daerah pedesaan, di mana angka kemiskinan lebih tinggi. Kalau Ani Yudhoyono berkampanye di pelosok-pelosok kampung, tentu tidak banyak orang yang memiliki hp.

Standar Kesejahteraan dalam Pandangan Islam

Islam memiliki kriteria sendiri dalam merumuskan apa yang dimaksud dengan kesejahteraan dan bagaimana mewujudkannya bagi masyarakat, Kesejahteraan dalam pandangan Islam tidak hanya dinilai berdasarkan ukuran material, namun juga dinilai dengan ukuran non-material, seperti terpenuhinya kebutuhan spiritual, terpeliharanya nilai-nilai moral, dan terwujudnya keharmonisan sosial. Karena itu masyarakat dikatakan sejahtera apabila terpenuhi dua keadaan tersebut, yaitu terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu rakyat, baik pangan, sandang, papan, pendidikan, maupun kesehatannya; serta terjaga dan terlidunginya agama, harta, jiwa, akal dan kehormatan manusia. Begitu pula ia telah mampu untuk memenuhi sebagian kebutuhan sekundernya dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan standar kehidupan masyarakat di mana ia tinggal (An Nabhani, 2010, Sistem Ekonomi Islam)

Pemenuhan kebutuhan rakyat dipenuhi oleh negara secara langsung dengan bebas biaya. Sementara kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang dijamin pemenuhannya oleh negara menggunakan tahapan tertentu dengan menggunakan mekanisme ekonomi dan non ekonomi.

Islam memerintahkan agar setiap laki-laki bekerja untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kebutuhan orang-orang yang berada di bawah tanggungannnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika kemudian pemenuhan kebutuhan pokok dia dan keluarganya belum terpenuhi, baik karena ia tidak bisa bekerja atau pendapatannya tidak cukup, maka kerabatnya, mulai yang terdekat, diwajibkan untuk turut menanggungnya (QS. al-Baqarah [2]: 233). Jika belum terpenuhi juga maka tanggungjawab itu beralih menjadi kewajiban baitul mal (negara). Rasul saw bersabda:

« اَنَا أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ، مَنْ تَرَكَ مَالاً فَلِأَهْلِهِ، وَمَنْ تَرَكَ دَيْنًا أَوْ ضِيَاعًا، فَإِلَيَّ، وَعَلَيَّ »

Aku lebih utama dibandingkan orang-orang beriman daripada diri mereka, siapa yang meninggalkan harta maka bagi keluarganya, dan siapa yang meninggalkan hutang atau tanggungan keluarga, maka datanglah kepadaku, dan menjadi kewajibanku. (HR. an-Nasai dan Ibnu Hibban)

Ketika Islam mewajibkan laki-laki untuk bekerja, saat yang sama Islam mewajibkan negara untuk menyediakan lapangan kerja. Untuk itu negara bisa langsung menciptakan lapangan kerja melalui pelaksanaan berbagai proyek pembangunan khususnya yang padat karya. Lapangan kerja justru lebih banyak bisa dibuka oleh masyarakat melalui kegiatan usaha mereka. Disinilah negara wajib mewujudkan iklim usaha yang kondusif.

Untuk itulah syariah Islam mengharuskan negara untuk menjamin agar hukum-hukum syara’ terkait ekonomi dan transaksi diterapkan secara baik, konsekuen dan konsisten. Negara juga harus menjamin terlaksananya mekanisme pasar sesuai syariah, diantaranya dengan menghilangkan berbagai distorsi, penimbunan barang dan penimbunan uang/modal -kanzul mal- (QS at-Taubah [9]: 34), riba, monopoli, penipuan, persaingan tidak sehat, dsb. Disamping itu, syariah melarang negara memungut berbagai pungutan, retribusi, cukai, pajak yang permanen, dan pungutan terlarang lainnya. Dalam hal impor/ekspor negara juga dilarang memungut bea dari para pedagang warga negara.

Syariah pun mengharuskan negara menjadi negara pelayan (daulah ri’âyah) dan tidak boleh menjadi negara pemalak (daulah jibâyah). Negara juga harus mengembangkan sistem birokrasi dan administrasi yang sederhana dalam aturan, cepat dalam pelayanan, dan profesional. Rasul saw pernah bersabda:

« يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا، وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا »

Permudahlah jangan kalian persulit, gembirakanlah dan jangan buat orang lari (takut dan sedih) (HR al-Bukhari, Muslim, Ahmad)

Sistem ekonomi Islam juga akan menghapus sektor non riil dan hanya mengembangkan perekonomian riil. Sehingga setiap pertumbuhan akan berupa pertumbuhan riil dan menghasilkan pembukaan lapangan kerja seluas-luasnya.

Dalam hal moneter, Islam menetapkan mata uang haruslah mata uang berbasis emas dan perak atau dinar dan dirham. Dengan begitu akan tercipta kestabilan perekonomian dan kekayaan masyarakat juga terjaga.

Semuanya itu ditopang oleh pilar sistem ekonomi Islam yaitu ketentuan tentang kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara; pengelolaan kepemilikan; dan pendistribusian harta di tengah masyarakat. Termasuk berupa penetapan kepemilikan umum, di antaranya penetapan kekayaan alam tambang dengan jumlah besar, hutan, laut, sungai dan sebagainya sebagai milik seluruh rakyat; negara yang wajib mengelolanya dan seluruh hasilnya dikembalikan kepada rakyat.

Dengan penerapan Sistem Ekonomi Islam, pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, papan dan sandang) dan kebutuhan dasar (pelayanan kesehatan, pendidikan dan keamanan) akan dijamin oleh negara. Setiap orang juga akan memiliki kemungkinan dan peluang yang sama dan terbuka luas untuk bisa memenuhi kebutuhan sekunder dan tersiernya. Dengan itu kesejahteraan tidak akan menjadi problem dan sekedar mimpi. Sebaliknya kesejahteraan akan benar-benar nyata dan bisa dirasakan oleh seluruh rakyat, muslim maupun non muslim.

Hanya saja semua itu tidak akan bisa sempurna diwujudkan kecuali dengan penerapan syariah Islam secara total dan menyeluruh dalam bingkai Khilafah Rasyidah ‘ala manhaj an-nubuwwah. Tidak mungkin kesejahteraan semacam ini diwujudkan dalam sistem kapitalis seperti yang dianut penguasa saat ini. Sudah saatnya kita bangkit berjuang mengubah sistem.[] [htipress/www.al-khilafah.org]

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.